SASANA DAN WEWENANG ORANG SUCI


A.    Wewenang para diksa secara umum
Seorang yang telah didiksa, maka ia berstatus sebagai orang suci atau dibali disebut dengan Sulinggih. Diberi gelar sesuai dengan wangsanya atau keturunannya dan mempunyai wewenang untuk nglokaparacraya artinya yaitu sebagai orang/tempat umat memohon petunjuk kerohanian dan sebagai orang yang dimohon untuk menyelesaikan (muput) suatu upacara/upakara agama.

Latihan Moral (Moral Training) dalam Yoga

Moralitas adalah dasar dari ketinggian spiritual, namun bukanlah puncak tujuan hidup rohani, dengan dasar pijakan moral yang luhur serta melanjutkan tujuan perjuangan mencapai kesadaran tertinggi akan diraih (Kamajaya, 1998: 45). Yama (keseimbangan sosial) dan Niyama ( Penyatuan pribadi) merupakan prasyarat yang sangat diperlukan dalam yoga sebagai latihan moralitas sebagai unsur kemurnian “suci nirmala tan keneng papa klesa”.

Cara Weda Diwahyukan

Tidak ada satu uraian tepat bagaimana wahyu itu diturunkan kecuali melalui penafsiran atau keterangan tak langsung dari berbagai ulasan yang dapat kita himpun dari berbagai buku. Perlunya mengetahui bagaimana Weda itu diwahyukan karena dijelaskan pada mulanya bahwa Weda adalah Wahyu Tuhan yang diyakini oleh umat Hindu dan kebenaran akan Wahyu itu tidak boleh dibantah lagi. Karena Weda itu adalah Wahyu, maka adalah wajar pula kalau kita bertanya dan mencari jawahan atau penjelasan yang dapat mengungkapkan bagaimana wahyu itu diturunkan.

Bahasa Dalam Weda



Sebelum Weda mulai diselidiki, Bhagawan Panini mulai menyusun tata bahasa Sanskerta, pada th. 700 SM. dan menamakan bahasa yang dipakai didalam Weda dengan nama "Daiwi Wak” (Bahasa Dewata). Baru dalam tahun 200 S.M. bahasa itu mulai dikenal dengan nama Sanskerta. setelah Patanjali menulis kitab Bahasa, pada abad II S.M.

Pengertian Weda

Sumber: Buku Ajar "WEDA", oleh Bapak I Wayan Sumertha

Menurut arti kata Weda berarti pengetahuan. Tetapi bila ditulis dengan huruf ã (panjang) berarti kata-kata yang diucapkan dengan aturan-aturan tertentu. Jadi Weda adalah kata-kata yang diucapkan, dinyanyikan atau dilagukan. Dan pengertian ini akhirnya di pergunakan istilah “Mantra”.

ATMAN SETELAH KEMATIAN

            Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu sifat Atman bahwa Atman adalah sumber kehidupan yang bersifat abadi dan tidak akan pernah mengalami fase kematian. Atman akan terus hidup baik itu di dalam maupun di luar makhluk hidup. Sebagaimana kalau berada di dalam tubu makhluk hidup atman disebut dengan istilah yang berbeda, sebutan untuk Jiwatman untuk yang bersemayam pada tubuh manusia, sebutan Janggama jika bersemayam pada binatang dan sebutan Stavara untuk yang bersemayam pada tumbuh-tumbuhan. Keabadian Atman memang tidak akan terlihat ketika Atman telah berada di dalam makhluk hidup karena dipengaruhi oleh unsur Panca Maha Butha sebagai penyusun tubuh yang akan memberikan sifat maya pada Atman itu sendiri. Begitupula ketika Atman yang semula bersemayam pada tubuh makhluk hidup kemudian pergi meninggalkan tubuh itu karena adanya fase kematian pada badan kasar tersebut maka Atman akan mengalami suatu keadaan setelah kematian itu yang tentunya tidak mampu diketahui oleh manusia normal tanpa memiliki kekuatan supra natural.

PROBLEMA KUANTITAS PENDIDIKAN

A.      Pengertian
Indonesia dikenal sebagai negara berkembang yang besar jumlah penduduknya. Menurut sensus penduduk 1990 M, penduduk Indonesia berjumlah 179.321.641 jiwa. Komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia muda yang dianggap sebagai usia produktif, jika dibandingkan dengan penduduk usia tua dan anak-anak termasuk bayi yang dianggap sebagai usia non-produktif. Jumlah penduduk sebesar itu bisa menjadi modal dasar bagi pembangunan nasional, manakala dapat diarahkan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam hal ini, pendidikan sebagai alat perekayasaan manusia dan masyarakat jelas memiliki peran yang penting dan menentukan.
Dan terkait problema kuantitas pendidikan dapat dimaknai sebagai ketidakmampuan lembaga-lembaga pendidikan formal menampung seluruh calon peserta didik.

PERANAN PINANDITA DALAM UPACARA YADNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Agama Hindu adalah salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Dalam menjalankan keyakinannya umat Hindu terlihat paling sering melakukan ritual keagamaan di bandingkan dengan agama yang lain. Ritual dalam agama hindu sering disebut dengan pelaksanaan yadnya, yang mana secara konsep pelaksanaan yadnya dibedakan menjadi dua yaitu nitya karma dan naimitika karma. Nitya karma memiliki pengertian sebagai yadnya yang dilakukan setiap hari oleh umat hindu, sedangkan naimitika karma adalah yadnya yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu yang dianggap memiliki nilai kesucian melebihi hari yang lain. Contoh pelaksanaan nitya karma antara lain; yadnya sesa, tri sandhya, kramaning sembah dan lainnya, sedangkan yang dikategorikan ke dalam golongan naimitika karma seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Tumpek, Budha Kliwon dan lainnya.

MANFAAT YOGA LEBIH DARI SEKEDAR "SEHAT"



            Manfaat Yoga (Asanas) yang paling sering kita dengar adalah manfaatnya pada kesehatan. Hal ini berkaca dari hasil yang dinikmati setelah menekuni Yoga, seperti menjaga dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menjaga dan meningkatkan stamina, memperbaiki dan meningkatkan sistem pencernaan, memperbaiki dan meningkatkan sistem pernafasan, memperbaiki dan memperlancar metabolisme, membersihkan dan memperlancar sirkulasi darah, menyegarkan otak, meningkatkan kelenturan tubuh, memperkuat persendian dan otot-otot tubuh, serta mengurangi lemak berlebih.

PANCARAN KEBERAGAMAAN TERHADAP PERILAKU MANUSIA

Judul Buku    : Psikologi Agama Seimbangkan Pikiran, Jiwa, dan Raga
Pengarang      : Suasthi dan Suastawa
Tahun terbit  : 2008
Halaman         : 10 - 20
Diresume oleh: I Wayan Rudiarta

Related Post:


BAB V
PANCARAN KEBERAGAMAAN TERHADAP PERILAKU MANUSIA

1.        Kondisi Psikologis dan Sikap Keagamaan
Agama adalah kebenaran dan kebaikan. Orang-orang yang berpegang teguh padanya akan terimbas oleh kebenaran dan kebaikan agama. Imbas itu dapat diketahui dari pengetahuan keagamaan yang semakin meningkat, keyakinan agama semakin menguat, perilaku agama semakin konsisten, serta pengamalan keagamaan yang semakin intensif. Sehngga kekuatan pengaruh agama terhadap diri manusia terlihat dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Ada beberapa faktor yang dapat membentuk sikap keagamaan, yaitu sebagai berikut:

ARJUNA WIWAHA

Sumber Gambar: http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2012/08/ARJUNA-WIWAHA.gif


Cerita Arjuna Wiwaha yang tertulis dalam postingan ini sebenarnya saya peroleh sebagai hasil searching juga di dunia maya, hanya saja pada beberapa segmen saya sedikit ubah kata-katanya karena cerita ini saya jadikan lakon dalam membuat Tugas Estetika "Pementasan Karya Seni" bersama teman-teman di Kelas ketika masih berada pada semester VI. Dengan cerita ini kami sepakat membuat Sendratari yang mengisahkan Arjuna ketika memproleh anugrah Panah Pasupati di Gunung Indrakila oleh dewa Siwa. Langsung saja, ini ceritanya:
Kisah Cerita:
            Pada suatu saat, Duryodhana merampas segala hak pandava atas kerajaan Hastina dalam sebuah permainan dadu. Maka sebagai hasilnya para pandava harus tinggal di hutan selama beberapa tahun. Ketika mereka berada di dalam hutan, rsi Vedavyasa datang untuk mengunjungi para pandava. Vedavyasa menyarankan mereka agar memuja Siva. Namun karena menganggap Arjuna adalah yang terbaik di antara para pandava itu, maka

PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN LANJUT USIA

Judul Buku    : Buku Ajar Psikologi Agama
Pengarang      : Dr. I Made Titib dan Drs. I Ketut Mardika
Tahun terbit  : 2004
Halaman         : 48 - 64



A.      MACAM-MACAM KEBUTUHAN
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial, dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia mampu untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Selanjutnya manusia disebut juga sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya.
Para ahli psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia menjadi: 1) masa pre-natal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pre-pubertas; 5) masa dewasa; 6) masa usia lanjut. Setiap masa perkembangan memiliki ciri-ciri tersendiri, termasuk perkembangan jiwa keagamaan. Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dalam perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian perkembangan jiwa keagamaan juga akan terlihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.
Dalam bukunya pengantar Psikologi kriminal Drs. Gerson W. Bawengan,SH. Mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J.P Gulford, sebagai berikut:
1.      Kebutuhan Individual terdiri dari:
a.       Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyelesaian diri dengan lingkungan.
b.      Regulasi temperatur, penyesuaian tubuh dengan dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan.
c.       Tidur, kebutuhan manusia perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d.      Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh.
e.       Seks; kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis. Tidak terpenuhinya kebutuhan seks akan mendatangkan gangguan-gangguan kejiwaan dalam bentuk prilaku seksual yang menyimpang (abnormal) seperti:
1)      Sadisme, kepuasan nafsu seks dengan jalan menyakiti lawan jenisnya.
2)      Mosochisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menyakiti diri sendiri.
3)      Exhibitionisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menunjukkan daerah orogeen seksual pada orang lain.
4)      Scoptophilia, pemuasan nafsu seksual dengan mengintip lakon seks.
5)      Voyeurisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip atau melihat bentuk tubuh tanpa busana.
6)      Troilisme atau trolisme, pemuasan nafsu seksual denagn cara saling mempertontonkan lakon seks.
7)      Transvestisme, pemuasan nafsu seksual dengan memakai baju lawan jenisnya.
8)      Transsevualisme, kecenderungan pemuasan nafsu seksual dengan cara ganti kelamin.
9)      Sexualorisme, pemuasan nafsu seksual dengan memadukan mulut (oral) dengan alat kelamin. Pada laki-laki disebut fellatio dan pada wanita disebut cunnilingus.
10)  Sodomy (Non vaginalcoitus)
Selanjutnya kelainan seksual inipun dapat menyebabkan orang memuaskan nafsu seksualnya dengan menggunakan obyek lain. Diantara jenis kelamin itu meliputi:
1)      Homosesksualitas, pemuasan nafsu seksual antara sesama laki-laki. Sesama perempuan disebut lesbian.
2)      Pedophilia, pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai obyeknya.
3)      Bestiality, persetubuhan dengan binatang.
4)      Zoophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengelus-elus binatang.
5)      Neeroplolia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengadakan hubungan kelamin dengan mayat.
6)      Pornography, pemuasan nafsu seksual dengan melihat gambar atau membaca buku cabul.
7)      Obscenety, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengeluarkan kata-kat kotor.
8)      Fetishisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan simbol seks dari lawan jenisnya terutama pakaian.
9)      Frottage, memuaskan nafsu seksual dengan cara meraba orang yang disenangi.
10)  Soliromanis, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotoro lambang seksual orang yang disenangi.
11)  Goronto seksuality, pemuasan nafsu seksual dengan wanita berusia lanjut atau sebaliknya.
12)  Ineest, pemuasan nafsu seksual dengan mengadakan hubungan kelamin dengan kerabat.
13)  Wife-wapping, pemuasan nafsu seksual dengan cara menukar pasangan.
14)  Mysophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan benda kotor.
15)  Masturbasi, pemuasan nafsu seksual dengan zinah tangan.  
f.       Melarikan diri yaitu: kebutuhan manusia akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan rohani. Usaha menghindarkan diri dari bahaya atau sesuatu yang dianggap berbahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha proteksi.
g.      Pencegahan yaitu: kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h.      Ingin tahu (curitoxity) yaitu: kebutuhan manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya.
i.        Humor yaitu: kebutuhan manusia untuk mengedorkan beban kejiwaan yang dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan. Sigmund Freud membagi humor atas:
1)      Aggresive Wit, yaitu humor yang menyinggung orang lain.
2)      Harmsless Wit, yaitu humor yang tidak menyinggung orang lain.

2.      Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya binatang. Kebutuhan sosial kepada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini terdiri dari:
a.       Pujian dan hinaan
Setiap manusia normal membutuhkan pujian dan hinaan. Kedua unsur ini merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji sedangkan hinaan menyadarkan manusia dari kekeliruan dan pelanggaran etika sosial.
b.      Kekuasaan dan mengalah
Kebutuhan kekuasaan dan mengalah tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak henti-hentinya dalam kehidupan.
c.       Pergaulan
Kebutuhan mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai Homosocius (makhluk bermasyarakat) dan Zoon-politicon (makhluk yang berorganisasi).
d.      Imitasi dan meniru
Kebutuhan manusia dalam pergaulan yang tercermin dalam bentuk meniru dan mengadakan respon-emosional. Tindakan tersebut menurutnya adalah sebagai akibat adanya kebutuhan akan imitasi dan simpati.
e.       Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang terdapat pada setiap individu. Besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Selanjutnya Dr. Zakiah Darajat (1970) dalam bukunya Peranan Agama dalam Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas 2 kebutuhan pokok:
1)      Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah, seperti makan, minum, seks, dan lainnya yang secara fitrah tanpa dipelajarai.
2)      Kebutuhan sekunder atau kebutuhan rohaniah. Jiwa dan sosial kebutuhan ini hanya di dapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil. Yang mana dibagi menjadi 6, yaitu:
·      Kebutuhan akan rasa kasih sayang
·      Kebutuhan akan rasa aman
·      Kebutuhan akan rasa harga dir
·      Kebutuhan akan rasa bebas
·      Kebutuhan akan rasa sukses
·      Kebutuhan akan rasa ingin tahu.
3.      Kebutuhan Manusia akan Agama
Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan di atas, masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan, yaitu kebutuhan terhadap agama. Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Walaupun para ahli belum sependapat tentang kemutlakan naluri beragama atau naluri keagamaan pada diri manusia, namun hasil penelitian mereka sebagian besar membenarkan eksistensi naluri itu. Bermacam istilah mereka pergunakan namun pada dasarnya istilah dimaksud adalah berupa dorongan yang menyebabkan manusia cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supernatural).

B.       SIKAP KEBERAGAMAAN PADA ORANG DEWASA
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas dan periode adolesen dengan semboyan yang merupakan ungkapan bathin mereka. Di periode prapubertas oleh Chalotte Buchler diungkapkan dengan kata-kata “perasaan saya tidak enak tetapi tidak tahu apa sebabnya”. Untuk periode pubertas dilukiskan dengan “saya ingin sesuatu, tetapi tidak tahu ingin akan apa”. Adapun dalam periode adolesen ia mengemukakan dengan kata-kata “saya hidup dan saya tahu untuk apa”. (Crijns dan Resosiswojo; 2000: 11)
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memeberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pokoknya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika perlu terjadi  perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, jka seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari norma-norma non agama, itupun akan dipertahankan sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang anti agama, bila menurut pertimbangan akal sehat (common sense)-nya terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap anti agama seperti itu diperlihatkan dalam bentuk sikap menolak hingga ke tindakan memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Kenyataan seperti itu terlihat dari peristiwa sejarah gerakan yang dilancarkan Parta Komunis Indonesia (PKI) dimasa jayanya. Melalui indroktrinnya partai ini telah mampu menanamkan sikap anti agama di kalangan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Dan ketika peristiwa berdarah G30 S/PKI para Pemuda Rakyat dan Gerwani ini sanggup mempertahankan idiologi komunis yang mereka jadikan pandangan hidup itu dengan menukar nyawa mereka.
Sebaliknya jika nilai-nilai agama yang mereka pilih untuk dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka untuk secara mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Sehingga tak jarang sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena itu, sikap keberagamaan seseorang dewasa  cenderung didasarkan atas pemilihan terhadapa ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan bathin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keragamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderungya bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman agama.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersifat lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehngga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan berorganisasi sosial agama sudah berkembang.

C.       MANUSIA USIA LANJUT
Perkembangan manusia dapat digambarkan dalam bentuk garis sisi sebuah trapesium. Sejak usia-usia bayi hingga mencapai kedewasaan jasmani digambarkan dengan garis-garis miring menanjak. Garis itu menggambarkan bahwa selama periode tersebut terjadi perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan secara cepat hingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu usia dewasa (22-24 tahun).
Perkembangan selanjutnya digambarkan oleh garis lurus sebagai gambaran kemantapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia kedewasaan hngga usia 50 tahun perkembangan fisik manusia boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Barulah di atas usia 50 tahun terjadi penurunan perkembangan yang drastis hingga mencapai usia lanjut. Oleh karena itu umumnya garis perkembangan pada periode ini digambarkan menurun. Periode ini disebut sebagai periode regresi (penurunan).
Sejalan dengan penurunan tersebut, maka secara psikis terjadi berbagai perubahan pula. Perubahan-perubahan gejala psikis ini ikut mempengaruhi berbagai aspek kejiwaan yang terlihat dan pola tingkah laku yang diperlihatkan. Tingkat perkembangan dibagi menjadi delapan tahap, yaitu: 1) tahun-tahun pertama; 2) tahun kedua; 3) tahun ketiga; 4) tahun keenam hingga pubertas; 5) adolesen; 6) kedewasaan awal; 7) kedewasaan menengah; dan 8) tahun-tahun terakhir (usia lanjut). Pembagian ini didasari atas adanya berbaga perubahan perkembangan fisik maupun psikis yang berbeda untuk setiap tahap perkembangan pada sekitar usia-usia tersebut.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini, sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun (Robert H Thouless; 108).
Berbagai latar belakang yang menjadi peneyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut, yaitu:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang  kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia.

6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat.

SEJARAH SINGKAT PURA KAPRUSAN

Tulisan ini merupakan hasil studi lapangan dalam menyelesaikan tugas kuliah Tattwa yang diajar oleh ibu Dewi Rahayu Aryaningsih, S.Ag.,M.Ag. Informasi pura ini diproleh dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang memiliki keterlibatan dengan keberadaan Pura selain ditambah dengan beberapa informasi dari sumber yang lain. Baik langsung saja simak tentang sejarah Pura Kaprusan ini. 
Sejarah:
Menurut beberapa sumber yang saya dapat, perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan lanjutan dari perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap berpindah-pindah tempat. Di awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan, Blambangan, terus ke kawasan Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun Çaka 1411).
Selain mengelilingi pantai selatan Pulau Bali, beliau melanjutkan perjalanan spiritual ke kawasan Bali Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok Batu. Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Lombok, ditempat yang terakhir itulah Dang Hyang Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok, perjalanan Dang Hyang Dwijendra  dari Pojok Batu (Bali) menuju ke pulau Lombok dan beliau berlabuh di daerah malingbu, kata malingbu berasal dari kata “malbhu” yang berarti melabuh. Setelah itu beliau berjalan menyusuri pinggiran pantai menuju kearah selatan dan beliau melihat laut yang muncrat ditebing pinggir pantai lalu beliau melakukan semadhi ditempat pura tersebut dan kemudian beliau menepatkan batu di pojok selatan areal pura, batu tersebut disebut batu kapurusa. Setelah itu baru di bangunlah pura kaprusan tersebut oleh masyarakat di sana terutama Mangku Nanggeng dan Mangku Wayan Arta. Mangku Arta salah satu yang merupakan pemangku yang sehari-hari siap melayani umat tangkil ke pura itu. Kata beliau, keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra yang usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu Rauh. Kemudian beliau melanjutkan perjalananya sampai di Batu Belong, pertama kali memasuki kawasan Tanjung ukur dan  Kapurusan. Dan melanjutkan ke lingsar dan suranadi.
Ikhwal  yang  paling  menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam bentuk Padmasana sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Pencipta). Dikatakan berbeda peruntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa. Disamping mengenai sejarahnya, mangku arta juga mengatakan bahwa pura kaprusan telah melakukan pembugaran dengan dipelaspas oleh perande Ketut Rai. Pada tahun 2010 dilakukan perenovasian untuk pelinggih gunung agung yang di puput oleh perande Subali Tegeh.
 Pada pura kaprusan ini ada beberapa pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna Asta atau Pelinggih Dang Hyang Dwijendra, pelinggih Gunung Agung, Linggam, pelinggih tempat Pertirtaan, dan pelinggih tempat Pelukatan. Selain terdapat pelinggih tersebut juga terdapat adanya Bale Pekemitan atau Pesandegan dan Bale Pawedaan. Untuk dapat masuk ke pura kaprusan kita harus melewati anak tangga yang menurun panjang dari candi pelawangan menuju utama mandala. Sebelum masuk utama mandala terdapat pelinggih yang di sebut pelinggih Pertirtaan dan dibawah pinggir pantai terdapat pelinggih Pelukatan. Setelah masuk ke utama mandala terdapat  tiga pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna Asta atau Pelinggih Dang Hyang Dwijendra, pelinggih Gunung Agung dan Linggam. Bangunan lain yang terdapat di utama mandala yaitu Bale Pawedaan dan Bale Pekemitan. Pura Kaprusan  ini diempon oleh empat dusun yaitu Dusun Kerandangan, Batu Layar, Tanah Embet Barat dan Tanah Embet Timur.

Pujawali atau piodalan di pura kaprusan jatuh pada purnamaning sasih sada yang dilaksanakan  satu  tahun sekali. Dimana satu hari sebelum acaranya, masyarakat disana membuat atau menghias penjor dan membersihkan pura tersebut. Kemudian pada puncak acaranya yaitu pagi mesesapun atau melukat dan memargiang prayascita dan jam 4 melaksanakan nuhur tirta setempat, lalu melakukan persembahyangan pujawali dan ngelukar atau ngeluarkan yang  di puput  oleh   perande. Seperti  yang  kita ketahui pada umumnya, umat hindu dalam melaksanakan upacara selalu identik dengan daging babi tetapi berbeda dalam pura kaprusan, dimana daging babi tidak diperbolehkan dalam pujawali pura kaprusan. Namun bagi masyarakat yang makan daging bali tetap bisa melakukan persembahyangan dengan terlebih dahulu menyucikan diri yang dikenal dengan nama melukat. Selain aturan tersebut, pura kaprusan juga memiliki peraturan yang sama seperti pada umumnya yaitu bagi wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki area utama mandala serta tidak bolehnya juga memakai celana dengan  kata  lain  harus  memakai  kain dan selendang. Disamping  adanya  peraturan, pura kaprusan juga memiliki hal-hal yang unik seperti adanya sebuah linggam dan air yang muncrat dipinggir pantai sehingga terdengar deburan air yang  ramai yang  semakin membuat pura kaprusan terlihat indah.
Tulisan ini adalah karya teman Saya Ni Ketut Feriani, semoga bermanfaat.

SURYA NAMASKARA: ANTARA PEMUJAAN DAN OLAHRAGA

Yoga, khususnya Yoga Asanas kini telah menjadi pilihan masyarakat modern dalam usaha
menjaga kebugaran tubuh. Bagaimanapun memodernkan yoga, tetap harus diakui bahwa yoga yang diketahui sekarang merupakan warisan dari khazanah budaya India. Istilah-istilah dalam yoga mempunyai banyak kesamaan dengan istilah-istilah dalam agama Hindu karena keduanya sama-sama lahir dalam tradisi kebudayaan India. Oleh karenanya, bila ingin mendalami yoga, harus bisa menerima istilah India, sebagaimana kita tidak pernah keberatan menggunakan istilah latin bila belajar ilmu kedokteran, bahasa jepang saat belajar karate, dan istilah Cina dalam belajar kungfu, akupuntur dan lainnya (Ferry, 2011: 7). Dari hal tersebut secara tidak langsung membuat yoga sering disamakan dengan Agama Hindu (sebagaimana dalam Sad Darsana Yoga merupakan bagian yang ketiga). Pada kesempatan ini pembicaraan saya persempit dalam hal "Surya Namaskara", yang biasanya dijadikan bagian dalam praktek yoga asanas. Jikalau diartikan secara etimologi kata "surya" berarti matahari dan "Namaskara" berarti penghormatan, pemujaan, maka Surya Namaskara merupakan penghormatan atau pemujaan kepada dewa surya (salah satu Dewa yang diagungkan dalam Hindu).
            Memperhatikan definisi dari Surya Namaskara, ketika yoga kini sudah mulai booming dan para pelakunya tidak hanya dari umat Hindu, seringkali saya mendapat pertanyaan, "apakah yoga menggunakan doa?", "apakah yoga itu hanya untuk orang Hindu?", atau pertanyaan sejenisnya. Hal ini saya rasa wajar, karena memang karakter masyarakat modern yang lebih selektif dan tidak mau menerima begitu saja akan sesuatu yang baru. Dan terkait pembatasan pembahasan, saya menjadikan Surya Namaskara sebagai contoh untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yaitu:
Surya Namaskara untuk Pemujaan.
            Sebagaimana secara umum sudah diketahui bahwa Surya Namaskara tersusun dari 12 gerakan yang digerakan secara dinamis, yaitu (1) Pranamasana, (2) Hasta Utanasana, (3) Pada hastasana, (4) Aswa Sancalanasana, (5) Parvatasana, (6) Astangganamaskara, (7) Bhujanggasana, kembali ke  (8)  Parvatasana, (9) Aswa Sancalanasana, (10) Pada hastasana, (11) Hasta Utanasana, (12) Pranamasana. Ketika ingin melakukan pemujaan kepada dewa Surya dalam melakukan gerakan maka yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Pastikan keadaan badan dalam keadaan bersih (sudah mandi), dan sedang tidak dalam keadaan menstruasi (untuk wanita).
2.      Pelaksanaan dilakukan pada pagi hari sebelum matahari terbit (paling baik), tanpa melarang di waktu lain dan usahakan menghadap ke arah matahari sedang berada di arah mana.
3.      Setiap gerakan diikuti dengan mantra dan fokus konsentrasi pada cakra mayor pada tubuh, sebagai berikut:
a.       Pada saat melakukan gerakan pranamasana, lantunkan mantra "Om Mitraya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Anahata Cakra (Cakra yang terletak sejajar dengan dada).
b.      Pada saat melakukan gerakan hasta utanasana, lantunkan mantra "Om Ravaye Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Visuddhi Cakra (Cakra pada kerongkongan).
c.       Pada saat melakukan gerakan pada hastasana, lantunkan mantra "Om Surya ya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Svadistana Cakra (Cakra yang terletak pada kelamin).
d.      Pada saat melakukan gerakan aswa sancalanasana, lantunkan mantra "Om Bhanawe Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Ajna Cakra (Cakra yang terletak di kening).
e.       Pada saat melakukan gerakan parvatasana, lantunkan mantra "Om Khagaya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Visuddhi Cakra (Cakra pada kerongkongan).
f.       Pada saat melakukan gerakan astangga namaskara, lantunkan mantra "Om Pusne Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Manipura Cakra (Cakra pada perut).
g.      Pada saat melakukan gerakan Bhujangga Sana, lantunkan mantra "Om Hiranya Garbhaya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Svadisthana Cakra (Cakra pada kelamin).
h.      Pada saat kembali melakukan gerakan parvatasana, lantunkan mantra "Om Maricaye Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Visuddhi Cakra (Cakra pada kerongkongan).
i.        Pada saat kembali melakukan gerakan aswa sancalanasana, lantunkan mantra "Om Aditya ya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Ajna Cakra (Cakra yang terletak di kening).
j.        Pada saat kembali melakukan gerakan pada hastasana, lantunkan mantra "Om Savitre Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Svadistana Cakra (Cakra yang terletak pada kelamin).
k.      Pada saat kembali melakukan gerakan hasta utanasana, lantunkan mantra "Om Arkaya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Visuddhi Cakra (Cakra pada kerongkongan).
l.        Dan pada saat kembali melakukan gerakan pranamasana, lantunkan mantra "Om Bhaskaraya Namaha" dalam hati, dan konsentrasi pada Anahata Cakra (Cakra yang terletak sejajar dengan dada).
Pelaksanaan Surya Namaskara sebagai olahraga
            Surya Namaskara sebagai pemujaan umumnya dilakukan oleh para praktisi Yoga yang menganut agama Hindu, karena Yoga memang merupakan salah satu filsafat India Kuno milik Hindu. Akan tetapi hal ini sesungguhnya tidak membatasi para praktisi Yoga non-Hindu untuk melakukan Surya Namaskara (mengingat manfaatnya dari segi kesehatan sangat besar). Hal ini terbukti dari penyebutan baru untuk Surya Namaskara yang sering digunakan, seperti "Sun Sallutation", atau "dua belas gerakan". Disamping itu, Surya Namaskara dilakukan dengan motif menjadikannya sebagai olahraga modern yang dapat memberi keringat, dan membuat tubuh tetap bugar serta sehat. Mantra juga tidak harus dilantunkan, konsentrasi juga tidak pada cakra, tetapi fokus serta konsentrasi pada peregangan yang terjadi. Dalam prosesnya gerakan Surya Namaskara juga dilakukan dengan tidak terlalu khidmat melainkan dilakukan dengan lebih dinamis.
            Demikian kiranya sedikit pemaparan mengenai Surya Namaskara yang bisa dilakukan sebagai pemujaan atau bahkan hanya untuk olahraga masyarakat modern. Dan penggambaran Surya Namaskara ini tentunya sebagai perwakilan tentang Yoga Asanas pada umumnya. Semoga artikel ini berkenaan, dan apabila ada kekurangan sangat saya harapkan saran dan kritiknya.

Mari Hidup Sehat dengan Yoga!!!

STOP MAKAN!

Apabila terjadi gejala ini

Dari penglasifikasian makhluk hidup berdasarkan jenis makanan yang dikonsumsi manusia termasuk golongan Omnivora (pemakan segala), akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua makanan yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan apabila tetap dikonsumsi akan menyebabkan munculnya beberapa gejala tidak normal pada tubuh. Terlebih bagi para pelaku Yoga secara rutin, biasanya tanpa disadari makanan yang sebelumnya biasa dimakan tiba-tiba ketika dimakan menyebabkan muncul beberapa gejala tadi. Hal ini terjadi karena tubuh menyesuaikan sendiri antara kebutuhannya dengan makanan yang manusia konsumsi. Sebagaimana diketahui pula bahwa setiap makanan memiliki kandungan nutrisi yang berbeda, misalnya saja kandungan nutrisi pada daging ayam akan berbeda dengan nutrisi pada ikan. Dan sebagai ilustrasi seumpama tubuh sudah tidak membutuhkan lagi nutrisi daging ayam maka kapanpun manusia menonsumsinya akan menyebabkan muncul beberapa gejala.
            Adapun beberapa gejala yang biasanya muncul apabila tubuh sudah tidak lagi membutuhkan nutrisi dari suatu makanan (makanan itu tidak perlu dikonsumsi lagi) adalah sebagai berikut:
1.        Mual
            Semua orang pernah mengalami mual tentunya, karena secara umum mual itu terjadi karena:
·         Penyakit akibat virus, seperti gastroenteritis
·         Keracunan makanan
·         Stres, gugup, atau masalah mental lainnya seperti depresi atau gangguan panik
·         Obat-obatan seperti antibiotic, pil penunda kehamilan, dan obat jantung
·         Migrain/sakit kepala sebelah
·         Serangan jantung
·         Stroke
·         Cedera kepala
·         Alkohol, penyalahgunaan obat atau putus obat
·         Gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia
·         Efek samping terapi radiasi
Dari semua penyebab itu, mual yang dibahas pada artikel ini adalah lebih menukik pada poin ke-2, yaitu karena keracuann makanan. Keracunan makanan terjadi tidak saja karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi zat beracun, tetapi bisa juga karena kelebihan memakan satu jenis makanan atau karena nutrisi makanan tersebut sudah tidak dibutuhkan tubuh. Apabila mual yang terjadi cukup parah dapat memicu terjadinya "muntah", yaitu keluarnya makanan yang telah dikonsumsi melalui mulut. Muntah yang hanya terjadi sekali tidak akan terlalu menujukkan pengaruh pada tubuh, akan tetapi apabila berlangsung secara berlartu-larut akan menyebabkan tubuh lemas, pucat, dan bahkan dehidrasi.
2.        Gatal
            Gatal adalah sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang terasa seolah-olah ada sesuatu yang merayap di kulit, dan membuat orang ingin menggaruk daerah yang terkena. Pada umumnya gatal disebabkan oleh:
·         Kulit Kering
·         Penyakit kulit dan Ruam
·         Penyakit dalam
·         Gangguan saraf
·         Iritasi dan reaksi alergi
·         Obat kehamilan
Dari semua penyebab gatal tersebut, yang lebih ditekankan terkait makanan adalah poin ke-5 yaitu karena reaksi alergi. Seperti penjelasana sebelumnya, bahwa terkadang tubuh tidak lagi memerlukan nutrisi dari suatu makanan, dan apabila tetap dikonsumsi akan menyebabkan tubuh kelebihan suatu zat apakah itu vitamin, protein atau apa yang kemudia akan menyebabkan reaksi pada tubuh seperti munculnya gatal pada seluruh tubuh.
3.        Diare (Mencret)
            Diare (mencret) adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Suharyono,1999 : 51), diare biasanya akan sangat menganggu aktivitas dan membuat orang mendadak berkeinginan untuk menjadi orang rumahan, karena tidak berani jauh dari toilet. Secara umum beberapa penyebab diare adalah:
·         Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit
·         Alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu
·         Infeksi oleh bakteri atau virus
Dari ke-3 penyebab tersebut, poin ke-2 menjadi perhatian pada artikel ini, yaitu diare karena alergi terhadap makanan, yaitu tubuh sudah tidak memerlukan jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga lambung tidak akan mencerna dengan maksimal, yang kemudian menyebabkan muncul mekanisme tidak normal dalam tubuh yaitu terjadi gangguan sekresi dan gangguan gerak usus, dan hal ini akan dibahas satu persatu. Gangguan osmotic terjadi karena makanan atau zat nan terdapat dalam makanan tak bisa diserap oleh tubuh dan menyebabkan tekanan osmotic. Tekanan osmotic ini terjadi pada rongga usus, dan apabila tekanan osmotic ini meninggi maka elektrolit dan air akan bergeser, hal ini menyebabkan isi rongga usus menjadi hiperbola dan tentu saja merangsang usus buat mengeluarkan suatu hal nan tak menjadi porsinya. Hal ini lah nan memicu terjadinya diare. Gangguan sekresi terjadi dampak adanya hal nan mengganggu pada dinding usus, misalnya racun, racun akan merangsang dinding usus dan berlanjut terjadi peningkatan air ke rongga usus, usus penuh dan terjadi diare. Yang terakhir ialah gangguan gerak usus, gerakan hiperperistaltik pada usus akan menyebabkan usus kurang optimal dalam menyerap makanan sehingga terjadi diare. (http://www.binasyifa.com/099/71/25/mekanisme-terjadinya-diare.htm, 06 Oktober 2015).
            Demikianlah beberapa gejala yang dapat saya tuliskan terkait gejala yang akan muncul apabila tubuh tidak lagi membutuhkan asupan makanan tertentu, semoga bermanfaat dan kita semua selalu dalam keadaan sehat.

Pemangku Harus Paham akan Ajaran Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata

       Dalam menjalankan fungsinya sebagai tokoh umat beragama pemangku seyogyanya melakukan pengendalian diri yang disebut dengan beberatan pemangku, yang mana beberatan ini termuat dalam ajaran Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata. Terkait dengan ajaran tersebut, apabila didefinisikan secara etimologi, “Panca” berarti lima, “Yama” berarti pengendalian diri, “Brata” berarti keinginan, “Ni” berarti lanjutan. Oleh karena itu ajaran itu dapat didefinisikan sebagai:
a.       Panca Yama Brata merupakan ajaran tentang lima cara pengendalian keinginan tingkat dasar bagi pemangku. Ada pula definisi lain yang menyebutkan bahwa Panca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin. Adapun bagian-bagian dari Panca Yama Brata antara lain:
1)      Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh)
Seseorang yang sudah memiliki kedudukan sebagai pemangku diharapkan dan tidak dibenarkan menyakiti terlebih membunuh orang atau makhluk hidup lain tanpa memiliki tujuan yang jelas sesuai dengan sastra. Pembunuhan terhadap binatang dibenarkan apabila digunakan untuk Yadnya (Dewa Puja) yang dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
2)      Brahmacari (berpikir suci, bersih dan jernih)
Pemangku selayaknya selalu berpikiran positif, suci, dan jernih sehingga akan mampu mencerminkan keadaan pikiran dengan pakaian serba putih yang digunakan. Tidak dibenarkan apabila pemangku selalu berprasangka buruk terhadap orang lain apalagi bersikap dengki, iri terhadap orang lain. Pola pikir, prilaku dan ucapan dari pemangku seyogyanya mencerminkan orang yang sarat akan ajaran Weda sebagai kebenaran tertinggi di dalam Hindu.
3)      Satya (Menjaga kebenaran, kesetiaan dan kejujuran)
Pemangku harus selalu berada di garis terdepan di dalam mempertahankan kebenaran menurut Weda. Kejujuran dan kesetiaan harus selalu menyelimuti diri pemangku sebagai panutan dan teladan bagi umat beragama. Sebagaimana berbicara tentang satya, lebih luas berbicara tentang Panca Satya (lima macam kebenaran dan kesetiaan) yang meliputi Satya Wacana (Setia pada perkataan), Satya Hrdaya (Setia pada kata hati), Satya Laksana (setia pada perbuatan atau prilaku), Satya Semaya (Setia pada janji yang telah dibuat), dan Satya Mitra (Setia dan jujur kepada teman atau sahabat). Memang Ajaran satya di jaman sekarang mengalami sebuah degradasi yang sangat tajam dimana sebagian besar orang-orang susah untuk berpikir, berkata dan berbuat yang jujur dan mereka cenderung tidak satya karena suatu tujuan yang sifatnya keduniawiaan seperti kekuasaan, pendidikan, harta dan popularitas. Namun pemangku semestinya luput dari hal ini untuk mampu menjadi contoh bagi umat yang lain.
4)      Awyawahara (tidak terikat dengan keduniawian)
Pemangku sedapat diharapkan melepaskan diri dari segala bentuk ikatan keduniawian, karena dengan melepaskan diri dari ikatan keduniawianlah pamangku akan mampu memproleh kedamaian dalam pikiran serta menemukan kedamaian. Bagaimana tidak, pemangku tidak akan lagi menemukan rasa iri dalam dirinya, egois, rakus dan lainnya. Pemangku akan mampu fokus pada tugasnya sebagai manggala upacara yang akan memimpin umat. 
5)      Asteya atau Astenya (tidak mencuri)
Pemangku sangat tidak dibenarkan apabila mencuri, tidak memandang apa jenis barang tersebut. Dalam hal ini lebih mengkhusus pada duwe pura yang diamongnya. Walaupun jumlah duwe yang ada melebihi standar kecukupan, pemangku tetap tidak dibenarkan apabila mengambil barang tersebut. pemangku harus menjadi oknum yang menjaga duwe yang ada di pura tersebut sehingga tetap ada dalam kondisi apapun.
b.      Panca Niyama Brata merupakan lima cara pengendalian tahap lanjut setelah menguasai ajaran Panca Yama Brata. Ada pula definisi lain yang menyebutkan bahwa Panca Niyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Adapun bagian-bagiannya adalah:
1)      Akroda (tidak marah)
Seorang pemangku diharapkan untuk tidak maran dalam kondisi dan situasi apapun. Karena dengan marah, emosi pemangku akan meledak, dan hal ini dapat membuat pikiran menjadi kacau serta tidak fokus. Jika pikiran pemangku sudah tidak fokus, bagaimana pemangku bisa memusatkan diri pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa. Disamping itu, pemangku yang menjadi panutan umat akan terlihat sangat tidak bijaksana apabila marah-marah kepada orang lain walaupun orang itu salah.


2)      Guru Susrusa (hormat kepada guru)
Pemangku sebagai tokoh umat tidak hanya dihormati oleh umat, tetapi pemangku sendiri juga harus hormat dan bhakti kepada gurunya. Dalam hal ini guru yang dimaksud adalah catur guru, yaitu guru rupaka (orang tua sendiri, baik ayah maupun ibu), guru pengajian (dalam hal ini bisa saja termasuk guru nabe yang mengajari pemangku tentang aji kepemangkuan dan para guru di sekolah), guru wisesa (pemerintah yang membuat kebijakan) dan tentunya guru Swadhayaya (Ida Sanghyang Widhi Wasa)
3)      Sauca (bersih lahir bathin)
Melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat menurunkan kualitas kebersihan bathin atau kesucian diharapkan dihindari oleh para pemangku. Pemangku hendaknya selalu bersih lahir dan bathin, tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dengan kebenaran, kesetiaan dan kejujuran serta kebijaksanaan selalu menjadi busananya.
4)      Aharalagawa (makan makanan yang sederhana)
Bagian ini mengajarkan kepada pemangku agar tidak bersikap rakus (makan serba besar). Pemangku hendaknya mengonsumsi makanan yang ringan-ringan yang tentunya mampu memberikan kecemerlangan pada pikiran dan memberi kemurnian dalam menjalankan swadharmanya sebagai hamba Tuhan.
5)      Apramadha (tidak mengabaikan kewajiban)
Pemangku hendaknya tidak melalaikan tugasnya sebagai manggala upacara serta panutan umat. Kepentingan umat harus menjadi proritas bagi seorang pemangku, jangan sampai pemangku tidak menjalankan swadharmanya karena kepentingan politik, bisnis atau lainnya yang tidak sejalan dengan swadharmanya.
            Disamping kelima bagian Panca Niyama Brata di atas, dalam ajaran Asthangga Yoga, disebutkan bahwa bagian-bagian dari Panca Niyama Brata sebagai berikut:
1)      Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut. Di Bali sebelum menjadi rohaniawan (Sulinggih) mereka harus disucikan dengan upacara, namun dalam prakteknya masih banyak yang mengingkari akan hal tersebut, misalnya seorang sulinggih yang berbisnis banten sedangkan itu sudah merusak kesucian secara lahiriah dari seorang rohaniawan. Dewasa ini banyak orang yang ingin menjadi seorang rohaniawan, ini menunjukkan bahwa ajaran sauca menjadi hal yang begitu diharapkan oleh banyak orang dan tidak terlepas dari keinginan untuk menjadi pelayan Tuhan.
2)      Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental. Kepuasan atau Atmanastuti merupakan hal yang tidak kita pisahkan dalam kehidupan spiritual. Kepuasan lahir dan bathin dalam melayani Tuhan adalah paling utama sehingga tidak menimbulkan rasa beban dan berat dalam melaksanakan pelayanan.
3)      Tapa atau mengekang melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual. Ajaran ini lebih menekankan aspek pengendalian diri dalam segala bidang. Di jaman sekarang banyak orang berusaha mencari tempat-tempat yang menyediakan ketenangan, keheningan untuk mendapatkan ketenangan akibat kepenatan hidup yang cukup berat.
4)      Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya  persatuan dengan apa yang dicita-citakannya. Di jaman sekarang orang-orang sudah mulai enggan untuk mempelajari kitab-kitab suci karena kesibukan sehingga orang-orang mulai melupakannya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang mempelajari khusus lewat pendidikan formal di perguruan tinggi merupakan jalan yang cukup bagus khusunya bagi generasi muda yang ingin mendalami ajaran agama. Jadi ada pasang surut terhadap aplikasi swadhyaya di jaman globalisasi ini.

5)      Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi. Dalam hal ini kita dituntut untuk menjadi pelayan Tuhan dan selalu mepersembahkan hasilnya kepada Beliau.