PERANAN PINANDITA DALAM UPACARA YADNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Agama Hindu adalah salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Dalam menjalankan keyakinannya umat Hindu terlihat paling sering melakukan ritual keagamaan di bandingkan dengan agama yang lain. Ritual dalam agama hindu sering disebut dengan pelaksanaan yadnya, yang mana secara konsep pelaksanaan yadnya dibedakan menjadi dua yaitu nitya karma dan naimitika karma. Nitya karma memiliki pengertian sebagai yadnya yang dilakukan setiap hari oleh umat hindu, sedangkan naimitika karma adalah yadnya yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu yang dianggap memiliki nilai kesucian melebihi hari yang lain. Contoh pelaksanaan nitya karma antara lain; yadnya sesa, tri sandhya, kramaning sembah dan lainnya, sedangkan yang dikategorikan ke dalam golongan naimitika karma seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Tumpek, Budha Kliwon dan lainnya.
             Yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu tidak pernah bersifat memaksa, karena pada dasarnya selalu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi umat masing-masing. Ketika memiliki uang yang pas-pasan umat tidak pernah dipaksa untuk membuat upakara yang megah, akan tetapi ketika umat memiliki penghasilan yang lebih dari cukup bisa dibuat upakara yang lebih besar. Yadnya selalu identik dengan upakara, karena persembahan yang dilakukan oleh umat hindu harus ditata untuk mengutarakan maksud serta tujuan yadnya itu dipersembahkan. Untuk upakara yang dipersembahkan oleh umat Hindu, secara umum digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu nista, madya dan utama. Nista maksudnya bentuk upakara yadnya yang dipersembahkan lebih sederhana dan kecil tanpa mengurangi makna yang terkandung dalam yadnya, kemudian madya artinya upakara berada dalam kategori sedang, dan yang utama maksudnya bahwa upakara yang dihaturkan bersifat lengkap dan besar. Penggolongan ini didasari oleh kemampuan umat secara ekonomi yang berbeda-beda. Pada intinya besar-kecilnya upakara yang dihaturkan tidak menjadi faktor penentu kualitas yadnya yang dipersembahkan, tetapi bagaimana tattwa dari upakara serta ketulusan hati dari umat yang menghaturkan.
            Ketulusan menjadi inti yang sesungguhnya dari sebuah yadnya, apabila yadnya tidak didasari oleh ketulusan hati, seberapa besarpun upakara yang telah dibuat tidak akan ada maknanya. Upacara yadnya besar maupun kecil harus selalu dilandasi atas cinta kasih dan tiada keinginan memproleh pamrih dari yadnya yang telah dipersembahkan. Terlebih dalam upacara yang cakupannya lebih besar seperti pujawali, ngenteg linggih dan lainnya, sangat dibutuhkan ketulusikhlasan serta rasa saling percaya diantara semua komponen. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Hindu dikenal Tri Manggalaning Yadnya, yaitu tiga kelompok penyelenggara upacara yadnya yang dilaksanakan agar berdasarkan satvika yadnya yaitu dengan hati yang tulus iklas dan tanpa pamrih, yang mana terdiri dari Sulinggih sebagai pemimpin upacara, Sarati yaitu tukang banten yang membuat tetandingan banten sebagai penyedia upakara, dan Sang Yajamana, yaitu yang punya kerja atau hajatan.
            Satvika yadnya akan diproleh ketika ketiga komponen dari tri manggalaning yadnya bisa bekerja sama, tiada merasa paling penting diantara yang lain serta semua melakukan karmanya dengan hati yang tulus ikhlas. Sang Yajamana harus percaya bahwa Sarati akan membuatkan upakara yang benar untuk upacaranya sehingga wajib bagi sang Yajamana menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan. Begitu pula dengan Sang Sulinggih, beliau harus percaya bahwa banten yang telah diselesaikan oleh sarati memang sudah lengkap dan benar. Ketika sang Sulinggih memuput karya, sang Yajamana juga tidak boleh ragu dan berpikir yang tidak-tidak tentang sang Sulinggih. Intinya harus ada kesatuan dari ketiga komponen ini, apabila ada sedikit saja keraguan dan ketidaktulusan dalam melaksanakan karmanya maka sebesar apapun, semewah apapun, yadnya itu tidak akan mencapai satvika yadnya.
            Sang sulinggih yang memuput suatu upacara yadnya biasa dikategorikan menjadi dua, yaitu golongan eka jati seperti pinandita dan golongan dwi jati seperti pedanda, Sri empu, Pandita empu, Bhagawan, dan lainnya. Para sulinggih inilah yang akan mengantarkan Yadnya yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui mantra yang dilantunkan. Akan peran dari para sulinggih dalam suatu upacara yadnya bukanlah itu semata, ada peranan lain yang dipegang oleh para sulinggih sehingga suatu yadnya dapat berjalan sesuai harapan. Dari dua golongan Sulinggih yang disebutkan, yang lebih sering ditemui dalam berbagai upacara yadnya adalah Pinandita, karena biasanya setiap pura baik kahyangan jagat maupun pura lainnya memiliki pinandita yang berwenang muput upacara di pura tersebut sampai pada tingkatan tertentu atas seizin dari Pandita. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada kesempatan ini penulis akan mengulas tentang “Peranan Pinandita dalam Upacara Yadnya”.


B.       Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang sudah penulis uraikan dapat dirumuskan permasalahan yang akan menjadi acuan dalam pembahasan, yaitu:
1.      Bagaimanakah peranan Pinandita dalam Upacara Yadnya?

C.      Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Agar Penulis dan Pembaca mengetahui bagaimana peranan Pinandita dalam Upacara Yadnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Peranan Pinandita dalam Upacara Yadnya
Memahami Pinandita
            Menjadi seorang Pinandita merupakan tugas yang tidak mudah, karena harus bisa menjadi panutan umat dalam menjalankan kehidupan yang berlandaskan ajaran agama. Pakaian serba putih belum cukup menjadi pembeda yang menunjukkan bahwa telah menjadi seorang Pinandita, tetapi harus didampingi oleh pikiran dan hati yang tulus serta suci pula. Sebelum lebih jauh membahas, ada baiknya diulas terlebih dahulu mengenai pengertian dari Pinandita, sehingga akan memberikan pemahaman dalam mengulas. Dalam https://www.facebook.com/isangkulputih/posts/233333613492975 dijelaskan kata Pinandita, dasar katanya adalah Pandita mendapat sisipan ”in”, yang artinya di. Jadi pengertian Pinandita disini ialah seseorang yang dianggap sebagai wakil Pandita. Guna mencapai tingkatan atau status Pinandita ini pun melalui upacara/upakara diksa yang dikenal dengan sebutan ”pawintenan”. Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain:
1.      Pewintenan Saraswati (Mulai mempelajari agama)
2.      Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah tangga)
3.      Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau cakepan Lontar)
4.      Pewintenan Gede (Menjadi Pemangku atau Jro Mangku yang lazim disebut Pinandita).
Untuk mengetahui arti dan makna pewintenan atau mawinten dalam konteks hubungan dengan kesucian diri, maka upacara ini dapat kita bedakan menjadi: pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yadnya dan pawintenan yang berkaitan dengan Rsi Yadnya. Pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yadnya adalah Pawintenan Saraswati dan Pawintenan Bunga, sedangkan yang berkaitan dengan Rsi Yadnya adalah Pawintenan Sari dan Pawintenan Gede atau Pinandita.
            Kata pawintenan sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Makna dari pawintenan di sini tidak lain mohon waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda. Di dalam kelengkapan upacara/upakaranya pawintenan Gede atau pawintenan Pinandita ini lebih lengkap rerajahan atau tulisan-tulisan aksara sucinya, dibandingkan dengan pawintenan Saraswati, Bunga, dan Sari.
            Istilah lain dari Pinandita adalah Pemangku, dan menurut keputusan Mahasaba Prisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan sampai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amati aran. Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “nampa”, “menyangga” atau “memikul beban” atau “memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau dengan kata lain, tannggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.
            Wewenang, tugas kewajiban serta penghargaan terhadap Pemangku (Pinandita) berkaitan erat dengan jenis pura tempat pemangku itu bertugas. Sebagaimana diuraikan dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :
1.      Pemangku Pura dalem, Puseh dan Bale Agung (Pemangku di pura Kahyangan Tiga),
2.      Pemangku Pamongmong (Pemangku yang khusus ngayah di suatu pura),
3.      Pemangku Jan Banggul (Pemangku yang tugasnya ngayah nedunang serta ngicen amerta kepada umat),
4.      Pemangku Cungkub (Pemangku yang bertugas di pura Gede/Panti),
5.      Pemangku Nilarta (Pemangku yang bertugas di pura Kawitan/Paibon),
6.      Pemangku Pandita (Pemangku yang bisa muput upacara Panca Yadnya dalam tingkat madya),
7.      Pemangku Bhujangga (Pemangku pad suatu wangsa tertentu),
8.      Pemangku Balian (Pemangku yang ketapak untuk ahli dalam bidang pengobatan),
9.      Pemangku Lancuban (Pemangku yang ditapak langsung oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa),
10.  Pemangku Dalang (Pemangku yang bisa melokoni peran sebagai dalang wayang),
11.  Pemangku Tukang (Pemangku yang bisa membuat bangunan),
12.  Pemangku Kortenu.
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pinandita harus selalu tunduk pada sesananya sebagai seorang Pemangku, yang mana hal ini diperkuat dalam kitab Sarasamuccaya sloka 57 yang berbunyi:
”Dharmacca satyam ca tapo damacca vimatsaritvam
Hristitiksanasuya, yajnacca danam ca dhritih ksama
Ca mahavratani dvadaca vai brahmanasya”.
Artinya:
Ini adalah brata sang Brahmana, dua belas banyaknya, Perincianya: Dharma, Satya, Tapa, Dama, Wimarsaritwa, Hrih, Titiksa, Anusuya, Yajna, Dana, Dhrti, Ksama, itulah perinciannya sebanyak duabelas: Dharma dari Satyalah sumbernya, Tapa artinya sarira sang sesana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu, Dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak dengki-irihati, Hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, Titiksa artinya jangan sangat gusar, Anasuya artinya tidak berbuat dosa, Yajna adalah mempunyai kemauan mengadakan pemujaan, Dana adalah memberikan sedekah, Dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, Ksama artinya tahan sabar dan suka mengampuni, itulah brata sang brahmana.
            Dalam Lontar Lingganing Kusuma Dewa dinyatakan, seorang pemangku telah diikat oleh sesana (aturan) dan dituntut harus banyak belajar tentang sastra-sastra agama agar mampu mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan spiritualnya. Oleh karena itu seorang Pemangku harus selalu berlandaskan sastra-sastra agama dalam pelaksanaan yadnya untuk meluruskan adanya Loka Dresta, Desa Dresta, yang menyimpang dari Sastra Dresta. Disamping harus selalu belajar, seorang Pemangku harus mampu mengendalikan diri dari godaan-godaan yang datang, baik berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. (Wiasti, 2014: 12)
            Terkait dengan sesana pemangku pula dalam lontar Tattwa Dewa (Wiasti, 2014: 12-13) menyebutkan sebagai berikut:
“wikan aji kretha ngaran tingkahe meningkat asuci purnama tilem, ika wenang alunging brata kawase inangen sekul kacang-kacang, garem, away manganulan bawi lama setahun. Malih abrata mangan sekul iwakna sarwa sekar lainia tigang dinihan brata wisnu murti ngaran kawasa amangan sekul iwakina sambeda away nginum toya solas lama lonia brataning abrata ngaran.”
Artinya:
Inilah aji brata namanya prilaku menjadi Pemangku menyucikan diri setiap hari Purnama Tilem, sebagai kelengkapan melaksanakan brata maupun untuk makan nasi dengan lauk kacang-kacangan dan garam, jangan makan daging babi selama setahun. Makan nasi hanya dengan garam saja selama sebelas hari, setelah itu makan nasi serta bunga-bungaan selama tiga hari, inilah yang disebut brata Wisnu Murti kemudian makan nasi dengan lauk pauknya bebas tetapi habis makan tidak boleh minum air selama sebelas hari, Puncak Brata namanya.
Disamping taat akan sesana dalam buku Beberatan Pemangku (Suhardana, 2006: 20-24) ada beberapa disiplin pribadi yang harus dimiliki oleh para Pemangku, yang antara lain mencakup disiplin dalam berpakaian (memakai pakaian serba putih dalam muput upacara); disiplin dalam menjaga kesucian diri (tidak melakukan tindakan yang dapat menodai kepemangkuan seperti, minuman keras, mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan, dll); disiplin dalam berpikir, berkata maupun bertindak; disiplin dalam belajar (lebih sering kontak dengan guru nabe untuk memperdalam pemahaman agama); disiplin dalam ngayah (siap ngayah lahir batin tanpa pandang waktu); disiplin dalam mempergunakan perlengkapan (mempergunakan alat yang memang diperbolehkan untuk digunakan dan tidak melanggar etika); disiplin dalam membuat tirta (Pinandita jangan pernah membuat tirta, karena yang berhak membuat tirta hanya pandita, sedangkan pinandita hanya nunas atau memohon tirta); disiplin dalam mengendalikan diri (mengamalkan ajaran Catur Marga, Tri Kaya Parisuda, Dasa Dharma, dll); disiplin dalam melaksanakan ajaran Yama Niyama Brata; dan disiplin dalam meniadakan musuh dalam diri (musuh seperti Tri Mala Paksa, Sapta Timira, Sad Ripu, dll)
Selain hal yang sudah diuraikan di atas, seorang Pinandita juga wajib untuk menghindari berbagai larangan-larangan sebagaimana yang tertuang dalam dalam lontar Kusumadewa, yaitu:
1.      Tidak memakan makanan yang tidak diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi, minuman beralkohol) maupun makanan yang merugikan kesehatan. Jika bisa dalam rangka menyucikan diri alangkah baiknya semua jenis daging tidak dimakan.
2.      Dilarang menyentuh benda-benda cemer.
3.      Dilarang berjudi,
4.      Dilarang kawin lagi. Namun apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan kembali lagi melaksanakan upacara pewintenan bersama dengan istri baru.
5.      Dilarang ngewintenang Pemangku lain.
6.      Karena Pemangku kena cuntaka, maka ia dilarang pergi kerumah/tempat kecuntakan. Hal ini tergantung kepada Ida Bhatara yang mepica panugrahan. Ada yang melarang, ada yang memberikan, hanya saja disertai dengan membuat banten segehan dan melukat setelah datang datang dari tempat kecuntakan.

Pinandita dalam Upacara Yadnya
            Upacara Yadnya adalah suatu prosesi keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu secara tulus ikhlas sebagai ungkapan terima kasih atas segala anugerah yang telah dilimpahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam pelaksanaan upacara Yadnya sangat terkait dengan kewenangan dari para sulinggih, khususnya yang dibahas pada tulisan ini adalah wewenang Pinandita, di mana seorang Pinandita karena alasan tertentu akhirnya bertindak sebagai “Sang Pemuput Upacara Yadnya” yang kini dapat dibenarkan. Acuannya adalah Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang menyakut perihal “Batas-batas dan Wewenang Muput Upacara/Upakara Yadnya”. Di mana khusus yang berkaitan dengan wewenang Pemangku (Pinandita) dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pinandita berwenang menyelesaikan (muput) upacara puja wali atau odalan sampai tingkat piodalan tertentu pada pura yang bersangkutan.
2.      Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar pura atau jenis upacara atau upakara Yadnya tersebut bersifat rutin seperti puja wali atau odalan, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, yang seharusnya dipuput dengan tirtha sulinggih, maka Pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirtha sulinggih selengkapnya.
3.      Pinandita berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb atau mesehe serta memohon tirtha kehadapan Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau bersthana di pura tersebut termasuk upacara Yadnya membayar kaul dan lain-lain.
4.      Dalam menyelesaikan upacara Bhuta Yadnya atau Caru, pinandita diberi wewenang muput upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat “Panca Sata” dengan menggunakan tirtha sulinggih.
5.      Dalam Hubungan muput upacara Manusia Yadnya, pinandita di beri wewenang dari upacara lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha sulinggih.
6.      Dalam hubungan muput upacara Pitra Yadnya, Pinandita diberi wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan Catur Dresta.
            Jadi, seorang pemangku (pinandita) mempunyai wewenang untuk “muput karya/upacara Yadnya” termasuk menjadi pemimpin dalam upacara odalan, terutama di pura di mana pemangku tersebut “ngamong”. Tidak saja dapat menggantikan sulinggih yang seharusnya atau biasanya “muput odalan” tetapi bisa langsung ditunjuk atau ditetapkan sebagai “Sang Pemuput Karya Odalan”, tentunya dengan tetap memperhatikan tingkatan dari upacara atau upakara yang dilaksanakan.
            Sejalan dengan kondisi diatas, maka peran dari Pinandita selama ini didominasi oleh peran pemuput Yadnya atau Ngeloka Pala Sraya dalam artian yang sempit. Kedepan diharapkan para Pinandita mampu lebih berperan sebagai Sang Adhi Guru Loka, yaitu tempat bertanya bagi umat, serta menuntun masyarakat/umat dalam merealisasikan kebenaran dalam hidup ini. Harapan ini sesuai dengan makna yang dituliskan dalam Sarasamuscaya sloka 40 sebagai berikut:
Srutyuktah Paramo Dharmastatha
Smrtigato Parah,
Sista Carah Parah Proktas
Trayo Dharmah Sanatanah
Artinya:
Maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Dari sloka di atas ditegaskan adanya empat tugas seorang Pinandita sebagai berikut:
1.      Sebagai Sang Satya Vadi.
Senantiasa mewartakan kebenaran dengan cara yang baik dan benar.
2.      Sebagai Sang Apta
Menjadi orang yang dapat dipercaya, karena selalu berkata benar dengan cara yang benar dan jujur.
3.      Sebagai Sang Patirtaning Sarat
Sebagai tempat memohon tuntunan, ataupun perlindungan (mesayuban) bagi umat tempat untuk menyucikan diri dan menuntun umat secara sepiritual utnuk dapat menempuh hidup suci, agar terhindar dari perbuatan yang tercela.
4.      Sebagai Sang Penadahan Upedesa.
Memberikan pendidikan moral kesusilaan agar masyrakat hidup harmonis dengan moral yang luhur. (http://tresult.blogspot.com/2010/01/peran-pemangku-dalam-yadnya.html, diakses tanggal 14 April 2015)
            Pembahasan pada tulisan ini lebih mengerucut pada peranan Pinandita dalam upacara Yadnya, yang mana upacara Yadnya mencakup Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, dan Butha Yadnya. Secara terperinci mengenai peranan pinandita akan dibahas sebagai berikut:
1.        Peranan Pinandita dalam Upacara Dewa Yadnya
            Dalam suatu upacara Dewa Yadnya seperti acara-acara Ngodalin, Puja Wali dan lainnya Pinandita memang memegang peranan yang sangat penting. Dimulai dari awal perencanaan kapan akan dilaksanakan upacara Yadnya tersebut sudah melibatkan Pinandita sebagai gurunya umat. Sebagai contoh dalam suatu kegiatan Pujawali yang digelar di suatu pura, walaupun hari pelaksanaan pujawali sudah ditentukan tetapi Pinandita dimintai pendapat kapan ngadegan akan dilaksanakan. Seperti di Pura Puseh Banjar Apuh, Sebatu, Gianyar, Bali, meskipun sudah rutin dilaksanakan pujawali pada Purnama sasih kapat tetapi ngadegan Ida Betara tidak selalu sama, terkadang sehari sebelum purnama, terkadang dua hari sebelum purnama atau bahkan bisa pas di purnama. Semua itu sesuai petunjuk Pinandita dalam diskusi dengan para pengurus pura maupun pengurus banjar, dan dasar penentuan harinya dipilih sesuai dengan hari terbaik dalam perhitungan wariga dan dalam 3 hari pujawali ada kena Purnama.
            Itu adalah salah satu contoh kecil terkait peran dalam perencanaan, kemudian dalam persiapan pujawali yang menggunakan berbagai sarana bebantenan Pinandita menjadi sumber informasi utama yang kemudian berdiskusi dengan sarati banten terkait bebantenan (upakara) yang diperlukan dalam pelaksanaan pujawali, sehingga nanti pada saat berlangsung pujawali segala bebantenan yang dibutuhkan pemangku sudah disiapkan oleh sarati banten. Pinandita juga menjadi orang yang paling mengetahui paling mendetail tentang upacara Yadnya yang dilaksanakan mulai dari urutan, tata cara dan juga sarana yang diperlukan. Ketika acara puncak pujawali, peran Pinandita semakin sentral, beliaulah yang menjadi pemuput karya, yaitu orang yang paling berperan, dan kunci dari pelaksanaan yadya, sebab Pinandita dengan lantunan mantra-mantranya mengantarkan  upakara (Yadnya) yang telah dibuat oleh umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan adanya Pinandita juga Ida Bhatara yang melingga di pelinggih pura ditedunkan dan dilinggakan sehingga sesuai kepercayaan apapun yang dipersembahkan umat pada saat itu akan diterima dan mengandung nilai yang lebih tinggi daripada umat menghaturkan sendiri upakaranya.
            Disamping muput karya, Pinandita juga berperan dalam memohonkan Amerta dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umat, yang mana Amerta (Wangsuh Pada) diyakini sebagai berkat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang akan memberikan kerahayuan dan kerahajengan bagi umat. Setelah memohonkan, Pinandita yang ngelungsur Amerta tersebut untuk dibagikan kepada umat. Pinandita bertanggung jawab atas suksesnya suatu upacara yadnya yang dilakukan. Umat mempercayakan segalanya kepada Pinandita, dan karena itu sudah selayaknya Pinandita menjaga kepercayaan yang diberikan umat dengan menjalankan swadharmanya sesuai dengan dharmaning agama.
            Untuk upacara Dewa Yadnya yang lebih besar, seperti Ngenteg Linggih yang menggunakan Pandita sebagai pemuput Yadnya, biasanya Pemangku hanya berperan sebagai pembantu sang sulinggih untuk menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan sehingga upacara yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan lebih efisien.
2.        Peranan Pinandita dalam Upacara Pitra Yadnya
            Dalam suatu upacara Pitra yadnya tidak semua Pinandita yang berperan, Pinandita juga disebut Pemangku yang berperan dalam upacara ini adalah yang mendapat gelar Pemangku setra. Hal ini dikarenakan Pemangku pura tidak diperbolehkan untuk terkena cuntaka (berbeda dengan Pandita yang sudah mampu menyucikan dirinya sendiri). Pemangku setra memang khusus memiliki swadharma memimpin umat dalam kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kawasan Pitra Yadnya. Sama dengan peranan Pemangku (Pinandita) dalam upacara Dewa Yadnya, dalam upacara Pitra Yadnya apabila Pemangku sudah mendapat ijin dari Pandita maka pemangku setra berwenang dan harus bertanggung jawab terkait hal-hal yang berhubungan dengan suksesnya acara Pitra Yadnya yang akan dilaksanakan, mulai dari kapan akan dilaksanakan, upakara apa yang diperlukan, bagaimana prosesinya, serta bagaimana peranan yang bisa dilakukan umat dalam menyukseskan upacara.
            Sebagai contoh dalam upacara kematian, baik yang akan langsung di aben maupun yang akan ditanam, pasti sebelumnya akan ditanyakan terlebih dahulu kapan hari terbaik terdekat untuk melaksanakan upacara tersebut, dan tempat untuk menyanyakan ini adalah kepada Pemangku setra (yang terjadi di Banjar Apuh, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali). Setelah itu Pemangku setra sesuai dengan permintaan sang punya gawe akan berdiskusi dengan sarati mengenai upakara yang akan dibuat, apabila semua persiapan sudah ada dan hari yang ditentukan tiba, maka disinilah Pemangku setra akan memberikan arahan bagaimana prosesi yang harus dilangsungkan, kemudian apabila ada upakara Yadnya yang harus dihaturkan, pemangku yang berwenang memandu sedangkan umat yang lain mengikuti apa yang diinstruksikan.
            Untuk upacara Pitra Yadnya yang lebih besar, seperti Ngaben yang menggunakan pandita sebagai pemuput Yadnya, biasanya pemangku hanya berperan sebagai pembantu sang sulinggih untuk menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan sehingga upacara yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan lebih efisien.
3.        Peranan Pinandita dalam Upacara Manusa Yadnya
            Dalam upacara Manusa Yadnya, Pinandita (Pemangku) juga memiliki peran yang cukup sentral. Pemangku bertanggung jawab atas tersampaikannya maksud dan tujuan dari upakara yadnya yang dibuat dalam upacara Manusa Yadnya yang dilaksanakan oleh umat. Sama seperti upacara Pitra Yadnya, Pemangku yang bertanggung jawab dalam upacara Manusa Yadnya (atas seijin sang Pandita) adalah Pemangku setra (yang berlaku di Banjar Apuh, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali). Peran pemangku dalam upacara manusa yadnya ada yang sangat besar, dan ada pula yang tidak terlalu besar. Suatu misal dalam upacara megedong-gedongan, mapag rare, kepus puser, ngeroras, tutug kambuhan, nyambutin, dan  ngotonin peran Pemangku hanya sebagai pemuput upacara agar maksud dan tujuan upacara dapat tersampaikan, sementara urusan upakara dan hari dilaksanakan itu diluar tanggung jawab Pemangku.
            Lain lagi ceritanya dengan upacara Manusa Yadnya yang lain seperti metatah dan pawiwahan, peran Pemangku menjadi sangat besar, yaitu mulai dari menentukan kapan upacara akan dilaksanakan, bebantenan yang dibuat serta memuput upacara. Dalam upacara yang lebih besar ini dibutuhkan sekali kesadaran Pemangku dalam menjalankan swadharmanya, karena biasanya upacara semacam ini membutuhkan stamina yang lebih dan perhatian yang fokus untuk mencapai kesuksesan. Namun disisi lain apabila umat lebih memilih untuk melaksanakan semua rangkaian kegiatan Manusa Yadnya di griya Pandita dan menyerahkan urusan upakara langsung kepada pihak griya maka pemangku tidak akan memiliki peranan apapun.
4.         Pinandita dalam Upacara Rsi Yadnya
            Dalam pelaksanaan upacara Rsi Yadnya, biasanya Pinandita tidak memiliki peranan yang begitu besar. Sebagai contoh adalah pelaksanaan upacara Rsi Gana, dalam upacara ini yang bertanggung jawab untuk muput adalah Pandita. Oleh karena itu Pinandita biasanya hanya berperan sebagai pengatur sarana upakara dan juga membantu pandita dalam muput karya yang dilaksanakan.
5.        Peranan Pinandita dalam Upacara Butha Yadnya
            Dalam upacara Butha Yadnya, Pinandita memiliki peran yang cukup besar seperti peran yang dipegang dalam upacara Dewa Yadnya. Hal ini terkait dengan konsep masyarakata Hindu Bali khususnya, yaitu “Dewa ya, Butha ya”, jadi  begitu pula dengan peranan yang dipegang oleh Pinandita. Sebagai mana yang diketahui bahwa upacara Butha Yadnya memiliki tingkatan-tingkatan, dari yang tingkat nista sampai yang utama. Untuk tingkat nista, Pinandita belum terlalu banyak memiliki peran, paling perannya hanya sebagai penyampai (penginformasi) upakara apa yang akan digunakan, dan untuk urusan menghaturkan upakaranya dilakukan sendiri oleh umat. Berbeda dengan upacara tingkatan madnya, seperti mecaru di tingkat banjar, Pinandita akan berperan mulai dari kapan hari pelaksanaan, upakaranya apa dan langsung menghaturkan, sedangkan umat hanya sebagai penggerak sesuai dengan yang diinstruksikan Pinandita. Lain lagi halnya dengan upaca Butha Yadnya yang berada pada tingkatan utama, seperti tawur agung kesanga, Panca Wali Krama dan Eka Dasa Ludra yang berlangsung di pura Besakih, karena upacara dipuput oleh sang Pandita, maka peran dari Pinandita hanya sebagai yang membantu pandita dalam menyukseskan upacara.
            Melihat begitu besarnya peranan pemangku dalam masyarakat khususnya dalam melaksanakan upacara yadnya, maka Umat Hindu ke depan perlu memikirkan, bagaimana Pemangku bisa mengabdi dengan nyaman dan tenang. Setelah itu sepatutnya Pemangku konsentrasi untuk selalu siap di pura setiap hari, melayani umat yang datang, baik untuk sembahyang atau konsultasi tentang berbagai masalah kehidupan. Inilah peran konselor yang kini belum digiatkan sebagai sebuah budaya keagamaan, sehingga pada masyarakat Bali konselor spiritual masih diperankan oleh balian, dasaran, ahli gaib dan sejenisnyaj elas-jelas bukan cara penyelesaian masalah menurut sastra agama. (http://tresult.blogspot.com/2010/01/peran-pemangku-dalam-yadnya.html, diakses tanggal 14 April 2015).
            Disamping itu, di tengah besarnya peran Pinandita dalam pelaksanaan upacara Yadnya, sudah selayaknya pinandita sebagai guru umat menjalankan swadharmanya sesuai dengan Swadharmaning agama, penuh rasa ketulusan dan kebijaksanaan. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagawad Gita IV.19, yang berbunyi:
Yasya sarve samarambhah
Kama samkalpa varjitah
Jnanagni dagdha karmanam
Tam ahuh panditam budhah
Artinya:
Ia Tidak bekerja dalam semua kerjanya
Tidak terikat oleh motif atau karma,
Yang karmanya terbakar oleh api pengetahuan,
Sesungguhnya orang bijaksana menamakannya pendeta.
            Maksud dari sloka tersebut adalah selalu berbuat baik dan benar dengan tidak mengharapkan hasilnya. Karena sangat yakin akan kebenaran hukum karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya juga baik dan benar. Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar keabadian berupa hidup yang abadi. Dan orang yang sudah mengikrarkan dirinya sebagai orang suci (termasuk Pinandita) wajib untuk melaksanakan kebijaksanaan ini.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
            Dari ulasan yang telah penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa di dalam pelaksanaan suatu upacara yadnya, Pinandita memiliki peranan yang sangat besar. Dari awal perencanaan, persiapan, hari pelaksanaan hingga akhir upacara Pinandita akan selalu terlibat. Peran besar ini tentunya tidak bisa diwakili oleh orang lain, karena menjadi Pinandita telah melalui serangkaian upacara yang penuh dengan nilai religius. Hanya orang-orang yang terpilih yang mampu menjadi Pinandita, dan hal itu atas bimbingan dan tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam upacara yadnya, Pinandita akan berperan sebagai pihak yang mengantarkan persembahan umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga maksud dan tujuan persembahan yang dilakukan oleh umat bisa tersampaikan. Dalam upacara yadnya, Pinandita juga berperan dalam memohonkan amerta yang akan dibagikan kepada umat sebagai wujud amerta (kehidupan), anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada seluruh umat-Nya.

B.       Saran-saran
            Dari tulisan yang telah penulis selesaikan dapat dibuat beberapa saran terkait dengan peran pinandita dalam upacara yadnya, yaitu:
1.      Sebagai umat Hindu yang baik, hendaknya kita menghormati kedudukan Pinandita tidak hanya dalam memuput suatu upacara yadnya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, karena mau tidak mau harus diyakini Pinandita adalah pengemuka umat yang merupakan utusan tuhan dalam membimbing umat dalam menjalankan aktivitas terkait keagamaan.
2.      Semua Pinandita sama-sama sudah diwinten, jadi jangan pernah membedakan Pinandita satu dengan yang lain, karena pada dasarnya semua mengacu pada satu sumber, yaitu Weda.


DAFTAR PUSTAKA

http://susekamahadewi.blogspot.com/2014/01/profil-pandita-masa-kini-dan-masa-depan.html, diakses tanggal 15 April 2015
http://tresult.blogspot.com/2010/01/peran-pemangku-dalam-yadnya.html, diakses tanggal 14 April 2015
https://www.facebook.com/isangkulputih/posts/233333613492975, diakses tanggal 13 April 2015
Suhardana, K.M. 2006. Pengantar Beberatan Pemangku Bahan Kajian untuk Pengendalian Diri. Surabaya: Paramita
Wiasti, Ni Komang. 2014. Buku Ajar Manggala Upacara. Mataram: STAH Negeri Gde Pudja Mataram



Tidak ada komentar:

Posting Komentar