YOGA SEBAGAI JALAN MENUJU PELEPASAN

I   PENDAHULUAN
            Sebagai manusia, selalu ada usaha untuk menggali suatu kebenaran yang disebut dengan Filsafat. Dengan mempelajari Filsafat, maka seseorang akan lebih memahami kebenaran dari suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Berbicara tentang filsafat, dikenal ada dua kelompok yaitu filsafat barat dan filsafat timur, yang tergolong filsafat barat diantaranya; filsafat Yunani, Filsafat Paristik, Filsafat Helinisme, Filsafat Romawi, Filsafat abad pertengahan, dan Filsafat Modern. Sedangkan yang tergolong filsafat timur adalah filsafat Tiongkok dan filsafat India. Sebagai orang Hindu kita lebih cenderung mempelajari Filsafat India, yang mana ada sembilan aliran filsafat yang semuanya memiliki konsep yang berbeda dalam mencapai tujuan akhir. Dari kesembilan aliran filsafat itu dibagi atas dua kelompok yaitu Astika dan Nastika. Kelompok Astika adalah kelompok filsafat yang menerima kewenangan Weda sebagai kitab suci yang mengandung ajaran kebenaran. Sedangkan Nastika sering pula disebut kelompok ateis dalam artian tidak mengakui kewenangan Weda, olehnya kelompok ini sering disebut tidak termasuk dalam sebutan filsafat. Kelompok Astika disebut juga Sad Darsana yang terdiri dari Nyaya, Waisesika, Mimamsa, Samkhya, Yoga, dan Wedanta. Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu. Dan salah satu dari keenam itu yang lebih menekankan pada pengendalian diri untuk mencapai kebebasan adalah Yoga. Dan hal ini sesuai dengan pembahasan penulis mengenai “Yoga sebagai jalan menuju pelepasan”.

II   YOGA SEBAGAI JALAN MENUJU PELEPASAN
           
Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat hindu yang disebut Sad Darsana. Kata Yoga berasal dari akar kata “yuj” yang artinya menghubungkan dan Yoga itu sendiri merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. Pendiri sistem Yoga adalah Hiranyagarbha dan Yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Samkhya, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan.
Samkhya dan yoga merupakan konsep yang saling berhubungan, yoga merupakan tambahan dari Samkhya. Dimana dalam pengajarannya sama-sama mengajarkan penyucian jiwa melalui kebersihan badan jasmani, sikap mental positif, serta jiwa yang tenang dan teguh sehingga tercapainya kebebasan jiwa dari segala duka, kesengsaraan yaitu kelepasan, moksa. Adapun perbedaan antara Samkya dan Yoga yaitu, dalam sistem filsafat Samkhya pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan serta Samkhya tidak mempercayai adanya tuhan (Isvara). Sedangkan dalam sistem Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan semadhi akan membawa kemerdekaan serta Yoga secara langsung mengakui keberadaan Isvara (Tuhan). Namun begitu yoga tetap menerima 25 prinsip/tatva dari Samkhya.
Yoga Sutra menurut Patanjali dibagi menjadi 4 bab dimana antara bab I dengan bab selanjutnya saling terkait dan mesti berurutan untuk mempelajarinya. Pada bab I (Samadhi pada) menerangkan tentang sifat, tujuan, dan bentuk-bentuk ajaran Yoga lalu pada bab II (Sandhana Pada) menjelaskan tentang tahapan-tahapan Yoga dan cara mencapai semadhi lewat mereka yang sudah mencapai semadhi, bab III (Vibhuti Pada) mengajarkan tentang hal yang bersifat batiniah yang didapat oleh mereka yang melakukan praktek Yoga, dan pada bab IV (Kaivalya Pada) melukiskan tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterkaitan duniawi dan penyerahan diri sepenuhnya kepada tuhan.
Yoga di pilah menjadi dua bagian yaitu Hatha yoga dan Samadhi yoga yang salah satu bentuknya adalah Raja Yoga. Raja yoga yaitu delapan anggota yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Namun sebelumnya Hatta yoga (cara-cara mengendalikan badan dan pengaturan pernapasan) mesti di kuasai yaitu bagian-bagiannya Asana, Pranayama, Mudra dan Bandha. Hatha yoga ini merupakan dasar dimana badan akan diberikan kesehatan, kemudian kekuatan dan kemantapan. Disamping hal tersebut, ada pula jenis yoga lain yang menunjang untuk proses penyatuan dengan sang pencipta, yaitu melalui Japa Yoga, olehnya Japa Yoga dan Hatha yoga merupakan tangga menuju tahapan Raja yoga.
Raja yoga/Astanga yoga yaitu:
1.        Yama (larangan) hendaknya melaksanakan Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, Aparigraha.
2.        Niyama (ketaatan) adalah Sauca, Santosa, Tapa, Swadhyaya, Isvarapranidhana.
3.        Asana (sikap badan yg mantap dan nyaman).
4.        Pranayama (pengaturan napas)
5.        Pratyahara (penarikan indra-indra dari obyek)
6.        Dharana (konsentrasi)
7.        Dhayana (meditasi)
8.        Samadhi (keadaan Supra sadar)
Terkait dengan pembahasan penulis mengenai Yoga sebagai dasar untuk mencapai kelepasan, maka akan dibahas mulai dari Hatha Yoga sampai Astangga Yoga sehingga sebagai umat Hindu akan mengetahui cara mencapai kelepasan (moksa) dari tekhnik yang paling dasar hingga pada level (tingkatan) jnana yang lebih tinggi.
1.    Hatha Yoga
Hatha yoga ini sebenarnya merupakan salah satu cabang Yoga dengan fokus pada postur fisik yang disebut asana dan tekhnik pernafasan atau Pranayama. Hatha Yoga berfokus pada tekhnik asana (postur), pranayama (olah nafas), bandha (kuncian), mudra (gesture), serta relaksasi yang mendalam. Hatha Yoga pertama kali muncul pada sekitar abad ke-9 atau ke-10 SM. Kata “Hatha” dalam bahasa Sanskerta berasal dari akar kata “ha” atau matahari dan “tha” atau bulan, yang berarti tradisi disiplin yang menggabungkan dua kekuatan yang berbeda. Hatha Yoga adalah jenis yoga yang menyelaraskan dua energi yang bertentangan: panas dan dingin (sama seperti yin-yang). Hatha Yoga bertujuan untuk menyeimbangkan pikiran dan tubuh melalui relaksasi, meditasi dan kontrol pernafasan. Hatha yoga mencakup latihan fisik yang ringan, yang mengikutsertakan seluruh sendi pada tubuh dalam gerakan memperkuat, melonggarkan dan menyeimbangkan setiap bagian tubuh dengan sepenuhnya.
A.    Asana
Asana adalah gerakan Yoga yang berhubungan dengan posisi tubuh. Gabungan antara gerakan kelenturan, gerakan memutar dan keseimbangan ini membantu Anda untuk membedakannya dengan jenis Yoga lainnya. Yoga asana mengutamakan postur tubuh, fokus pada pernapasan dan konsentrasi pada jalannya pikiran. Buku Yogasutra tidak mengharuskan sikap duduk tertentu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada siswa sikap duduk yang paling disenangi dan relax, asalkan dapat menguatkan konsentrasi dan pikiran dan tidak terganggu karena badan merasakan sakit akibat sikap duduk yang dipaksakan. Selain itu sikap duduk yang dipilih agar dapat berlangsung lama, serta mampu mengendalikan sistim saraf sehingga terhindar dari goncangan-goncangan pikiran. Yang terpenting dalam asana adalah konsep “Sukham Stiram Asanam” yang berarti sikap badan yang stabil dan menyenangkan. Dalam Hatha Yoga ada berbagai macam asana, seperti: Siddhasana, Padmasana, Vajrasana, Dhanurasana, Matsyasana, Pascimotanasana, Mayurasana, Ustrasana, dan sikap tubuh lainnya.
B.     Pranayama
Pranayama adalah pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lubang hidung dengan tujuan menyebarkan prana (energi) keseluruh tubuh. Pada saat manusia menarik nafas mengeluarkan suara So, dan saat mengeluarkan nafas berbunyi Ham. Dalam bahasa Sansekerta So berarti energi kosmik, dan Ham berarti diri sendiri (saya). Ini berarti setiap detik manusia mengingat diri dan energi kosmik. Pranayama terdiri dari: Puraka yaitu memasukkan nafas, Kumbhaka yaitu menahan nafas, dan Recaka yaitu mengeluarkan nafas. Puraka, kumbhaka dan recaka dilaksanakan pelan-pelan bertahap masing-masing dalam tujuh detik. Hitungan tujuh detik ini dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan ketujuh cakra yang ada dalam tubuh manusia yaitu: muladhara yang terletak di pangkal tulang punggung diantara dubur dan kemaluan, svadishthana yang terletak diatas kemaluan, manipura yang terletak di pusar, anahata yang terletak di jantung, vishuddha yang terletak di leher, ajna yang terletak ditengah-tengah kedua mata, dan sahasrara yang terletak diubun-ubun.
C.    Bandha
Kata Bandha memiliki makna yang luas dalam literatur Sansekerta, antara lain ‘mengikat’, ‘menjembatani’, juga bisa berarti ‘janji’, dan ‘tendon’. Dalam Yoga klasik, bandha menunjukkan korelasi (samyoga) antara Diri Transendental (purusha) dan kesadaran. Hubungan ini digambarkan bagai api dan kayu. Lebih jauh, Bandha diartikan sebagai ‘ikatan’ kesadaran terhadap objek tertentu atau lokus (desha), yang merupakan esensi paling mendasar dari konsentrasi. Dalam latihan Yoga, Bandha adalah metode penghentian aliran psiko-energi (prāna) di satu tempat tertentu. Untuk pengertian ini, bandha kerap diterjemahkan sebagai ‘kuncian’ atau ‘penyempitan’ suatu aktivitas menekan atau menegangkan otot.
Ada tiga bandha klasik:
1. Mūla-bandha (kuncian dasar)
2. Uddīyāna-bandha (kuncian melayang)
3. Jālandhara-bandha (kuncian tenggorokan)
Ketika ketiganya dilakukan sekaligus bersamaan, disebut tri-bandha atau bandha-traya. Bandha sebaiknya dilakukan, baik sekaligus maupun satu per satu, pada saat melakukan āsana (postur), prānāyāma (pernafasan), mudrā (gestur), dhāranā (konsentrasi), dan dhyāna (meditasi).
D.    Mudra
Mudra adalah gestur atau sikap tubuh yang bersifat simbolis atau ritual dalam Hinduisme dan Buddhisme. Ada beberapa Mudrā yang melibatkan seluruh anggota tubuh, akan tetapi kebanyakan hanya dilakukan dengan tangan dan jari. Mudrā adalah gestur spiritual dan penanda energi dan keaslian dalam ikonografi dan praktik spiritual dalam tradisi agama Dharma serta Taoisme. Bersama dengan asana ("postur duduk"), yang dipraktikan dalam ajaran Hinduisme. Masing-masing mudrā memiliki dampak tertentu bagi pelakunya. Dalam melakukan Yoga, mudra memiliki fungsi untuk merangsang berbagai bagian tubuh yang berkaitan dengan latihan pernapasan dan mempengaruhi aliran prana dalam tubuh. Prana adalah istilah sansekerta yang berarti energi vital atau daya hidup yang memberikan kehidupan bagi seluruh alam semesta termasuk kehidupan manusia.
Esensi Hatha Yoga
            Orang yang melakukan latihan Yoga meningkatkan aspek spiritual, mental, kesehatan fisik dan emosional. Melakukan Hatha Yoga memberikan kedamaian bagi praktisinya, dan menjaga keselarasan alam semesta. Dalam melakukan yoga, termasuk semua jenis Yoga, konsentrasi merupakan akar atau bahan utama untuk sukses yoga. Semua jenis kelompok Yoga memiliki persamaan satu sama lainnya. Fokus utama dari Hatha Yoga adalah untuk mempersiapkan  tubuh dengan penyerahan total sehingga roh akan mampu menyerap dan mencapai misinya. Sehingga tujuan Hatha yoga adalah penyempurnaan keadaan jiwa seseorang.
            Hatha Yoga akan membantu mendorong tubuh untuk bergerak dan ke arah positif yang lebih tinggi sehingga kemampuan diri akan dapat bekerja dengan baik. Jiwa dan tubuh perlu merespon secara positid sehingga pikiran akan mampu seimbang dengan konsentraasi yang baik. Hal terbaik yang diproleh dengan mempraktekkan Hatha Yoga adalah membantu seseorang menemukan jati dirinya yakni dikatakan bahwa ada cahaya ilahi yang bersinar di dalam diri ini. Latihan Hatha Yoga memungkinkan energi spiritual mengalir melalui saluran energi yang terbuka. Ini akan mungkin terjadi jika pikiran, tubuh dan semangat bekerja yang baik dan harmonis.

2.    Japa Yoga
Dalam zaman Kali Yuga ini, hanya japa sajalah satu-satunya cara termudah untuk menyadari tentang Tuhan, pasalnya saat ini kebanyakan orang memiliki struktur tubuh yang tidak baik yang mempersulit mereka untuk mempraktekkan Hatha Yoga. Japa adalah pengulangan setiap mantra atau nama Tuhan dengan terus-menerus. Japa merupakan hal penting dalam anga dari Yoga. Dalam Bhagavad Gita tersebut “yajnanam jap-yajnosmi-Diantara yadnja, Akulah japa-yajna.” Artinya dalam zaman kali yuga pelaksanaan sajalah yang memberikan kedamaian, kebahagiaan dan kesempurnaan abadi. Japa ini pada akhirnya akan mengakibatkan Samadhi, bagian puncak dari Astangga Yoga.
Japa adalah pengulangan mantra terus-menerus, sedang dhyana adalah meditasi pada wujud Tuhan dengan segala sifat-Nya. Inilah perbedaan antara japa dan dhyana. Dalam meditasi (dhyana) maka dapat dilakukan bersamaan dengan japa yang disebut japa-sahita; sedangkan meditasi tanpa japa disebut japa-rahita. Pada tahap pembiasaan, biasakan mengkombinasi japa dengan meditasi, dalam tingkat selanjutya maka japa akan berhenti dengan sendirinya dan yang tinggal hanyalah meditasi, inilah tingkat kemajuan Spiritual.

3.    Astangga Yoga
Setelah memahami dan menguasi Hatha Yoga untuk mencapai Pelepasan (moksa) bisa ditempuh melalui jalur Raja Yoga, sesuai dengan tersebut dalam kalimat sebelumnya. Oleh Maharsi Patanjali dalam Raja Yoga ini disebut sebagai Astangga yang juga merupakan bentuk ajaran Etika dalam Yoga demi pengendalian diri yang lebih mantap, dengan penjelasan sebagai berikut:
A.    Panca Yama Brata
Panca yama Brata adalah lima pengendalian diri tingkat jasmani yang harus dilakukan tanpa kecuali. Gagal melakukan pantangan dasar ini maka seseorang tidak akan pernah bisa mencapai tingkatan berikutnya. Penjabaran kelima Yama Bratha ini diuraikan dengan jelas dalam Patanjali Yoga Sutra II.35 – 39.
1.      Ahimsa atau tanpa kekerasan. Jangan melukai mahluk lain manapun dalam pikiran, perbuatan atau perkataan. (Patanjali Yoga Sutra II.35)
2.      Satya atau kejujuran/kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, atau pantangan akan kecurangan, penipuan dan kepalsuan. (Patanjali Yoga Sutra II.36)
3.      Asteya atau pantang menginginkan segala sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Atau dengan kata lain pantang melakukan pencurian baik hanya dalam pikiran, perkataan apa lagi dalam perbuatan. (Patanjali Yoga Sutra II.37)
4.      Brahmacarya atau berpantang kenikmatan seksual. (Patanjali Yoga Sutra II.38)
5.      Aparigraha atau pantang akan kemewahan; seorang praktisi Yoga (Yogin) harus hidup sederhana. (Patanjali Yoga Sutra II.38)
B.     Panca Nyama Brata
Panca Nyama Brata adalah lima penengendalian diri tingkat rohani dan sebagai penyokong dari pantangan dasar sebelumnya diuraikan dalam Patanjali Yoga Sutra II.40-45.
1.      Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut (Patanjali Yoga Sutra II.40). Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan (1) saumanasya atau keriangan hati, (2) ekagrata atau pemusatan pikiran, (3) indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu, (4) atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sutra II.41).
2.      Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental (Patanjali Yoga Sutra II.42).
3.      Tapa atau mengekang. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sutra II.43).
4.      Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-samprayogah, persatuan dengan apa yang dicita-citakannya (Patanjali Yoga Sutra II.44).
5.      Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi (Patanjali Yoga Sutra II.45).
C.    Asana
Sudah dijelaskan dalam Hatha Yoga
D.    Pranayama
Sudah dijelaskan dalam Hatha Yoga
E.     Pratyahara
Pratyahara adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah: pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-goncangan. Jadi Yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indria. Untuk jelasnya mari kita kutip pernyatan dari Maharsi Patanjali sebagai berikut: Sva viyasa asamprayoga, cittayasa svarupa anukara, iva indriyanam pratyaharah, tatah parana vasyata indriyanam. Artinya : Pratyahara terdiri dari pelepasan alat-alat indria dan nafsunya masing-masing, serta menyesuaikan alat-alat indria dengan bentuk citta (budi) yang murni. Makna yang lebih luas sebagai berikut: Pratyahara hendaknya dimohonkan kepada Hyang Widhi dengan konsentrasi yang penuh agar mata rantai olah pikiran ke nafsu terputus.
F.     Dharana
Dharana artinya mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi. Objek itu dapat berada dalam tubuh kita sendiri, misalnya sela-sela alis yang dalam keyakinan Sivaism disebut sebagai “Trinetra” atau mata ketiga Siwa. Dapat pula pada ujung (puncak) hidung sebagai objek pandang terdekat dari mata. Para Sulinggih (Pendeta) di Bali banyak yang menggunakan ubun-ubun (sahasrara) sebagai objek karena disaat “ngili atma” di ubun-ubun dibayangkan adanya padma berdaun seribu dengan mahkotanya berupa atman yang bersinar “spatika” yaitu berkilau bagaikan mutiara. Objek lain diluar tubuh manusia misalnya bintang, bulan, matahari, dan gunung. Penggunaan bintang sebagai objek akan membantu para yogin menguatkan pendirian dan keyakinan pada ajaran Dharma, jika bulan yang digunakan membawa kearah kedamaian bathin, matahari untuk kekuatan phisik, dan gunung untuk kesejahteraan. Objek diluar badan yang lain misalnya patung dan gambar dari Dewa-Dewi, Guru Spiritual. yang bermanfaat bagi terserapnya vibrasi kesucian dari objek yang ditokohkan itu. Kemampuan melaksanakan Dharana dengan baik akan memudahkan mencapai Dhyana dan Samadhi.
G.    Dhyana (Meditasi)
Dhyana adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan atau godaan lain baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan atau godaan yang nyata dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Ganguan atau godan yang tidak nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek Dharana. Tujuan Dhyana adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Hyang Widhi melalui objek Dharana, lebih jelasnya Yogasutra Maharsi Patanjali menyatakan : “Tatra pradyaya ekatana dhyanam” Artinya : Arus buddhi (pikiran) yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Kaitan antara Pranayama, Pratyahara dan Dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai berikut: “Pranayamair dahed dosan, dharanbhisca kilbisan, pratyaharasca sansargan, dhyanena asvan gunan, artinya : Dengan pranayama terbuanglah kotoran badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran ikatan (pada objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang berada diantara manusia dan Hyang Widhi.
H.    Semadhi
Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari Astangga-yoga, yang dibagi dalam dua keadaan yaitu : 1) Samprajnatta-samadhi atau Sabija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin masih mempunyai kesadaran, dan 2) Asamprajnata-samadhi atau Nirbija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena bathinnya penuh diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Hyang Widhi. Baik dalam keadaan Sabija-samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogin merasa sangat berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak merasa memiliki apapun, tidak mempunyai keinginan, pikiran yang tidak tercela, bebas dari “catur kalpana” (yaitu : tahu, diketahui, mengetahui, Pengetahuan), tidak lalai, tidak ada ke-”aku”-an, tenang, tentram dan damai. Samadhi adalah pintu gerbang menuju Moksa, karena unsur-unsur Moksa sudah dirasakan oleh seorang yogin. Samadhi yang dapat dipertahankan terus-menerus keberadaannya, akan sangat memudahkan pencapaian Moksa.  Katha Upanisad II.3.1. :Yada pancavatisthante, jnanani manasa saha, buddhis ca na vicestati, tam ahuh paramam gatim,  Artinya : Bilamana Panca Indria dan pikiran berhenti dari kegiatannya dan buddhi sendiri kokoh dalam kesucian, inilah keadaan manusia yang tertinggi.
          Itulah ke delapan tahapan Yoga dalam raja Yoga yang akan lebih mudah dicapai apabila terlebih dahulu menekuni Hatha Yoga. Dengan menekuni semua itu maka tujuan mencapai pelepasan (moksa) perlahan akan semakin dekat.

III   KESIMPULAN
            Yoga merupakan bagian dari Sad Darsana yang hampir sama, Samkhya dan Yoga merupakan konsep yang saling berhubungan, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya. Dimana dalam pengajarannya sama-sama mengajarkan pensucian jiwa melalui kebersihan badan jasmani, sikap mental positif, serta jiwa yang tenang dan teguh sehingga tercapainya kebebasan jiwa dari segala duka, kesengsaraan yaitu kelepasan, moksa. Perbedaannnya Yoga secara langsung mengakui keberadaan Isvara (Tuhan), sedangkan Samkhya sifatnya nir-Isvara. Untuk mencapai Pelepasan diri melalui jalur Yoga, Raja Yoga merupakan hal yang paling cocok, yang oleh Maharsi Patanjali, jalur Raja Yoga yang dapat ditempuh dibedakan menjadi delapan tahapan (Astangga Yoga). Akan tetapi untuk mencapai tahapan tertinggi dari Astangga Yoga, yakni Semadhi bisa melakukan tahap persiapan dengan Hatha Yoga maupun Japa Yoga, dan akhirnya secara tidak sadar seorang manusia yang telah tekun akan mencapai titik dimana bisa terhubung langsung dengan sang pencipta, dan hal ini merupakan suatu wujud kemajuan yang dicapai dalam dunia spiritual.

DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Gede, Rudia, dkk.1990. Tattwa Darsana. Jakarta : Yayasan Dharma Sharati.
Aryaningsih, Dewi Rahayu. 2010. Buku Ajar Darsana. Mataram
Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu (sarva darsana samgraha). Surabaya: Paramita.
Sivananda, Svami. 1998. Japa Yoga. Surabaya: Paramita.

Supartha, I Gede Agus. 2013. Makalah Hatha Yoga dan Kegunaannya. Mataram

Selayang Pandang Hari Raya Galungan

I.         Makna dan Fungsi
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Dari hal tersebut, bisa diperluas bahwa makna perayaan Galungan adalah untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma. Namun dari sisi lain Makna Filosofis Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Perayaan Galungan ini dilakukan tidak lewat begitu saja, tetapi ada fungsi yang diproleh setelah melaksanakan hari raya ini, antara lain:
a.       Untuk menyadarkan semua umat agar selalu mengutamakan Dharma dalam setiap tindakan. Sebagaimana simbolis perayaan Galungan, kemenangan Dharmalah yang dirayakan.
b.      Untuk membangkitkan kembali vibrasi kesucian di bumi ini, sebagaimana yang disaksikan bahwa Galungan dirayakan serempak di semua tempat.
c.       Secara sosial untuk lebih meningkatkan keakraban antar sesama, yang mana pada hari raya ini, semua keluarga besar akan berkumpul bersama di Sanggah Kemulan.

II.      Pelaksanaan
Hari raya galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap enam bulan (210 hari) sekali berdasarkan perhitungan wuku, yaitu jatuh pada Buda Kliwon Wuku Dunggulan. Peringatan Hari Raya Galungan sebenarnya sudah dimulai beberapa hari sebelum Galungan dan berakhir beberapa hari setelah Kuningan. Galungan minus enam, hari Kamis (Wrespati) Wage wuku Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Jawa adalah hari kedatangan para Dewa ke Bumi. Pada hari ini umat melakukan upacara ditujukan kepada para Dewa dan leluhur. Galungan minus lima, hari Jumat (Sukra) Keliwon Sungsang disebut Sugimanek (Sugihan) Bali adalah hari untuk membersihkan diri. Umumnya umat melakukan upacara di pura (matirtha yatra), berdoa dan lebih menghayati ajaran dalam Kitab Suci Weda. Galungan minus tiga hari Minggu (Redite) Pahing Dungulan adalah hari dimana umat disarankan untuk melakukan semadi untuk menenangkan diri. Pada hari ini biasanya disebut sebagai hari penyekeban, yang mana para umat mulai “nyekeb” buah yang akan digunakan pada hari raya. Pada tiga hari sejak hari Minggu akan datang tiga macam Bhuta yang akan menggoda pikiran kita yaitu Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, and Bhuta Amangkurat. Dan salah satunya, yatu Butha Galungan telah turun pada penyekeban ini.
Galungan minus dua, yakni Soma Pon Wuku Dunggulan, disebut dengan hari penyajan. Pada hari ini turun Butha Dunggulan. Pada hari inilah umat membuat berbagai jenis kue yang akan digunakan pada saat merayakan galungan. Sedangkan, Galungan minus satu, hari Selasa (Anggara) Wage Dungulan disebut Penampahan, biasanya umat melakukan pemotongan hewan untuk keperluan upacara. Juga melakukan caru/segehan di halaman rumah ditujukan kepada Sang Bhuta Galungan. Pada puncaknya yaitu Galungan, hari Rabu (Budha) Keliwon Dungulan adalah hari kemenangan atas ujian mental selama 3 hari dari Sang Bhuta Galungan sekaligus simbol kemenangan Dharma melawan Adharma. Persembahan ditujukan kepada Tuhan dan leluhur yang turun ke dunia. Galungan plus satu, hari Kamis (Wrespathi) disebut Umanis Galungan, adalah hari dimana umat bisa menikmati hari kemenangan. Umumnya orang melakukan rekreasi ke tempat-tempat wisata. Galungan plus lima, hari Senin (Soma) Keliwon Kuningan, disebut Pamacekan Agung, adalah hari untuk berdoa untuk tujuan yang mulia dan kebersihan. Galungan plus sepuluh, hari Sabtu (Saniscara) Keliwon Kuningan, disebut Tumpek Kuningan, hari datangnya para Dewa dan luluhur ke dunia, namun hanya sampai pukul 12 siang. Itulah sebabnya umat melakukan upacara sebelum tengah hari berlalu. Galungan plus 35 hari, hari Rabu (Buda) Keliwon Pahang, disebut Pegat Wakan, adalah hari terakhir dari rangkaian meditasi selama 42 hari sejak Sugimanek Jawa.
Namun dari semua rentetan upacara dalam Galungan, yang akan saya uraikan hanya dari Penyekeban hingga Umanis Galungan saja.

III.   Perlengkapan Upakara
Dari rentetan upacara dalam memperingati Galungan, sudah pasti ada berbagai upakara yang diperlukan untuk memperlancar prosesi upacara:
a.      Penyekeban
Hari ini jatuh pada Redite Pahing Dungulan, Butha Galungan yang ingin memakan dan meminum dunia ini. Menjaga kesucian agar tidak dimasuki unsur – unsur negatif. Dalam menjaga kesucian umat biasanya hanya melakukan persembahyangan biasa di pemerajan masing-masing. Kalau di rumah saya sudah cukup dengan hanya menghaturkan canang.
b.      Penyajan
Hari ini jatuh pada Soma Pon Dungulan, hari untuk melaksanakan yoga semadi manunggal dengan para Batara – Batari, turun Butha Dunggulan yang berusaha mengganggu keseimbangan pikiran manusia. Pada hari ini juga biasa dilakukan penangkapan (Pengejukan) binatang yang akan dipotong pada saat penampahan. Dan Kalau di rumah saya sarana upakara pada hari ini tidak ada yang spesial, sudah cukup hanya dengan menghaturkan canang.

c.       Penampahan
Hari ini jatuh pada Anggara Wage Dungulan, upakaranya: segehan warna 3 sinasah (tandinganya manut urip), iwak olahan bawi (jejeron), saha tetabuhan, segehan agung satu. Upakara itu digunakan pada saat memotong binatang, sedangkan upakara lain berupa nasi cacah yang dihaturkan disetiap pelinggih sanggah maupun penugu karang. Serta ada dibuatkan Sodaan untuk para leluhur agar juga turut hadir dalam perayaan hari raya Galungan.
d.      Galungan
Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon Dunggulan dirayakan serentak diseluruh daerah, yang mana sarana upakaranya berbeda di masing-masing daerah sesuai desa kala patra. Kalau berkaca dari upakara yang digunakan dalam perayaan Galungan yang dilakukan di rumah saya, menggunakan:
1.      Pesucian, yang disebut Peningan dengan anak 7 berisi Gamongan, Kunyit, Jajan gina dibakar, Cendana, Minyak Goreng, Pandan arum, dan daun pucuk.
2.      Banten pelinggih, berisi beras dan uang bolong sejumlah 200 (pis satakan).
3.      Tigasan
4.      Banten Rayunan, yang berisi takir sejumlah empat. Masing-masing berisi daging, bawang goreng, air, dan kacang. Kemudian di tengah-tengah diisi nasi kepel (telompokan).
5.      Jerimpen sejumlah 2, satu jerimpen berisi jajan gina, beras, dan porosan. Jerimpen yang lagi satu berisi jajan gine, tumpeng, dan tangkih lengkap isi.
6.      Pada saat galungan juga dibutuhkan api takep sejumlah 4 (kalau di rumah saya, 2 di pemerajan, 1 di halaman, dan 1 di gerbang rumah)
7.      Banten ajuman Putih Kuning, yang nanti ada disebut banten celeng, dan banten selam. Perbedaan hanya terletak pada daging yang digunakan di banten. Banten ini diunggahkan di semua prlinggih baik di sanggah maupun penugun Karang. Serta di plankiran rumah juga.
8.      Tipat Kelanan untuk diuggahkan di Pelinggih Ngelurah.
9.      Cenigan, sebagai alas ketika menghaturkan banten dimanapun.
10.  Banten Bayuhan
11.  Munjungan, yakni sejenis Sesodaan yang dihaturkan untuk para leluhur yang belum diaben.
e.       Umanis Galungan
Umanis Galungan jatuh pada Wraspati Umanis Dunggulan, pada saat ini tidak ada upakara yang terlalu mencolok, di rumah saya hanya memakai canang ajuman putih kuning biasa dengan mengganti canang beberapa banten inti seperti pesucian, Banten Pelinggih, Rayunan, dan banten Bayuhan.




IV.   Tata Cara Pelaksanaan
Sesuai dengan Upakara yang berbeda di setiap daerah, tata cara pelaksanaannyapun juga berbeda, kalau di rumah saya, tata caranya sebagai berikut:
a.      Penyekeban
Pada saat ini persembahyangan dilaksanakan pada sore hari, yaitu pertama-tama nguggahang canang di setiap pelinggih dilanjutkan dengan persembahyangan.
b.      Penyajan
Pada saat ini persembahyangan dilaksanakan sama dengan pada saat penyekeban, yakni pada sore hari, yaitu pertama-tama nguggahang canang di setiap pelinggih dilanjutkan dengan persembahyangan.
c.       Penampahan
Pada saat ini urutan upacara yang dilakukan:
1.      Ngaturang segehan, iwak olahan bawi (jejeron), saha tetabuhan, segehan agung satu di halaman rumah, memohon agar Butha Amngkurat tidak mengganggu.
2.      Ngaturang Nasi Cacah di semua pelinggih, kemudia Sodaan di Pelinggih Pesimpangan Yang, dengan harapan Hyang Bethara Guru serta para leluhur hadir dalam upacara.
3.      Sembahyang.
d.      Galungan
Pada saat Galungan, tata cara pelaksanaannya adalah:
1.      Memasang Cenigan di semua Pelinggih
2.      Ngunggahan Banten yang telah dibuat disemua pelinggih, termasuk banten yang di kamar masing-masing.
3.      Ngunggahan Munjungan di Bale Dangin.
4.      Ngaturang Api Takep, 2 di sanggah, 1 di halaman rumah, dan 1 di gerbang.
5.      Ngayab Banten, sekaligus Ngacep Bhatara-Bhatari yang dipuja, lalu sembahyang.
6.      Nunas Wangsuh Pada.
7.      Ngayab Banten yang di Tugu Karang, kamar dan tempat lainnya.
8.      Ngayab Munjungan.
9.      Sembahyang Keliling ke Sanggah Kemulan, Pura, dan lainnya.
e.       Umanis Galungan
Pada saat Umanis Galungan tata cara pelaksanaannya adalah:
1.      Nganyarin Canang bebantenan
2.      Ngunggahan Banten ajuman Putih-Kuning di semua pelinggih
3.      Ngayab Banten, sekaligus Ngacep Bhatara-Bhatari yang dipuja, lalu sembahyang.
4.      Nunas Wangsuh Pada.
5.      Acara bebas (biasanya berekreasi, mesima krama, dan lainnya)


Analisis Unsur-unsur Kebudayaan pada Tradisi Perang Topat di Lingsar

Perang biasanya identik dengan kebencian, darah, dan kematian. Tapi “Perang Topat” di Lingsar, justru menjadi simbol persaudaran dan kebersamaan  antar umat Islam dan Hindu di sana. Perang yang dilaksanakan pada Purnama Kenem atau sekitar bulan Desember perhitungan kalender ini dilaksanakan sebagai rangkaian dari acara piodalan yang berlangsung di Pura Gaduh Lingsar. Pada malam Purnama itu, umat Hindu merayakan odalan atau ulang tahun Pura Lingsar, dengan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat  muslim melaksanakan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan  Islam di Lombok pada abad 15. Perang memang dilaksanakan pada sore hari, tetapi sejak siang masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar. Di Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau  sesaji untuk persembahyangan Pujawali, sedangkan di Kemaliq umat Muslim Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek (Bumi Kecil)  yang juga sesaji berupa buah-buahan dan hasil bumi. Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja topat atau ketupat, nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa sebesar tinju orang  dewasa. Topat-topat itu disiapkan warga dari masing-masing dusun di Desa Lingsar, baik dusun yang berpenghuni umat Hindu maupun dusun yang  dihuni umat Muslim.
Setelah umat Hindu ngaturang bakti dan ngelungsur amertha prosesi perang topat mulai dilaksanakan diawali dengan mengelilingi sarana persembahyangan-sebagaimana layaknya mepurwadaksina. Prosesi ini dilaksanakan didalam area Pura Kemaliq Sebagian besar pesertanya berasal dari suku Sasak. Tokoh-tokoh dari kedua suku Sasak dan Bali, turut serta dalam prosesi ini. Mereka mengitari area dalam Kemaliq sekelompok tarian batek baris-tarian khas sebagaimana layaknya prajurit Belanda jaman dulu lengkap dengan bedilnya juga beraksi selama upacara itu. Ada juga kesenian tradisional gendang beleq. Purwadaksine dilakukan sebanyak 9 kali. Setelah itu sarana ditaruh pada tempat yang telah disediakan didalam Pura Kemaliq. Di sini kembali ada prosesi yang dipimpin langsung pemangku dari suku Sasak. Dan bertepatan dengan roro kembang waru atau gugurnya bunga pohon waru , yaitu sekitar jam lima sore, Perang topat dimulai. Ketopat pertama biasanya dilemparkan oleh orang tertentu atau dipilih, kita sebut saja disini Komandan Korem Kolonel Iping Soemantri dipercaya sebagai pelempar pertama ketopat, dan diikuti para warga. Perang topat pun dimulai sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti layak berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk melainkan ketopat yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketopat dilempar-lemparkan kesiapa saja dan tak ada yang terluka. Dengan penuh kegembiraan peserta upacara terlibat dalam peperangan yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai peperangan, ketopat yang dijadikan peluru lalu dipungut  kembali untuk dibawa pulang. Ketopat sisa perang diyakini sebagai berkah dan kemudia ditebar disawah-sawah penduduk karena dipercayai dapat menyuburkan tanaman padi dan pohon-pohon lainya.



Analisis Nilai Kebudayaan:
            Dari uraian singkat mengenai tradisi perang topat yang dilakukan secara rutin dan turun tumurun di desa Lingsar dapat diuraikan beberapa inti dari unsur-unsur kebudayaan tradisi tersebut.
1.        Sistem Religi
Tradisi Perang Topat yang dilaksanakan secara turun tumurun di Lingsar tentunya tidak dapat dilepaskan dari nilai Religi (Agama), sebagaimana sudah saya paparkan bahwa pelaku dari perang topat adalah dari kubu umat Hindu dan kubu umat Muslim Wetu Telu yang ada di Lingsar. Tradisi masih dilangsungkan karena umat percaya akan dampak yang akan diberikan dari tradisi yang mereka gelar yang tentunya tumbuh dari agama yang mereka anut.
2.        Peralatan dan Perlengkapan Hidup
Perang topat menggunakan topat sebagai amunisi, dan topat ini merupakan nasi yang dibungkus dengan anyaman janur. Melihat kenyataan bahwa topat juga merupakan salah satu jenis makanan yang biasa kita konsumsi dalam keseharian menunjukkan bahwa tradisi ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan topat sebagai amunisi dalam perang ini tentunya tidak dapat digantikan dengan barang /alat yang lain. Dan topat ini sudah menjadi satu pembeda antara tradisi ini dengan perang sesungguhnya yang menggunakan amunisi berbahaya.
3.        Mata Pencaharian Hidup dan sistem Ekonomi
Tradisi perang topat masih berlangsung sampai detik ini karena masyarakat percaya akan terjadi sesuatu yang abnormal nantinya bila tradisi tidak dilangsungkan. Mengingat kembali bahwa topat bekas perang dipungut kembali untuk ditebar di masing-masing sawah dengan harapan agar padi atau tanaman lain yang ditanam menjadi subur. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi berlangsung tidak terlepas dari faktor mata pencaharian masyarakat Lingsar yang banyak berprofesi sebagai petani. Semakin bagus hasil pertanian di Lingsar maka ini akan memperbaiki kehidupan perekonomian masyarakat Lingsar pula.
4.        Sistem Kemasyarakatan
Perang topat yang melibatkan dua umat berbeda agama menunjukkan bagaimana rasa toleransi yang tinggi dianut oleh maasyarakat Lingsar. Masyarakat mampu menciptakan sistem kemasyarakatan yang efektif dalam rangka menjaga persatuan serta kerukunan. Dengan masih berlangsungnya tradisi sampai sekarang juga menunjukkan bahwa ada sinergi antara umat Hindu dan Muslim disana, mereka rasa saling bahu dalam membangun Lingsar yang baik ke depannya.
5.        Bahasa
Antara umat Muslim yang bersuku sasak dan umat Hindu yang bersuku Bali memang ada perbedaan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Warga sasak biasanya memakai bahasa sasak, sedangkan orang Bali memakai bahasa Bali, namun dalam tradisi ini  komunikasi biasanya lebih dominan menggunakan bahasa sasak, karena umat Hindu sebagai pendatang mau menerima bahasa sasak sebagai media komunikasi. Disamping itu juga, bahasa Bali yang digunakan oleh umat Hindu Bali di Lombok ini disebut bahasa Balok (Bali Lombok), karena banyak kata-kata yang digunakan mengadopsi dari bahasa sasak.
6.        Kesenian
Tradisi perang topat bisa disebut sebagai salah satu kesenian, hal ini bisa terlihat dari adanya pementasan beberapa tarian selama proses murwa daksina dilangsungkan. Tarian ini tentunya memiliki nilai seni yang tersaji lewat gerak tubuh berirama dan mengandung makna yang ingin diungkapkan. Selain itu, kesenian juga bisa terlihat dengan pembuatan upakara yang digunakan disamping pembuatan topat yang juga membutuhkan ketrampilan dalam menganyam janur.
7.        Sistem Pengetahuan

Dari tradisi perang topat di Lingsar menunjukkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menjaga hubungan sosial dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka juga memahami bahwa perbedaan agama bukanlah pembeda untuk melakukan suatu tradisi secara bersama-sama. Sistem pengetahuan masyarakat tentang agama juga tidak sempit, mereka mampu memandang bahwa semua agama pada intinya sama yaitu mengajarkan kebaikan kepada umatnya, perbedaan satu sama lain hanya terletak pada cara mewujudkan bhakti kepada tuhan. Mereka juga paham bahwa di tengah perbedaan yang ada akan menciptakan suatu keharmonisan layaknya suasana suka cita yang mereka rasakan ketika melangsungkan tradisi perang topat.

Banten Ayaban Tumpeng 7

Hai sahabat Blogger, kalau kemarin-kemarin saya postinngnya tentang Banten Ayaban Tumpeng 5, kali ini saya postingkan lagi mengenai Banten Ayaban Tumpeng 7, langsung ajah ya! jadi ini dia komponen-komponen Penyusun Banten Ayaban Tumpeng 7:
1.      Banten peras: 2 tumpeng
2.      Banten Pengambian: 2 tumpeng
3.      Banten Dapetan: 1 tumpeng
4.      Banten Guru: 1 tumpeng
5.      Banten pengiring: 1 tumpeng
6.      Banten Gebogan.
7.      Banten Sesayut.
8.      Banten Rayunan.
9.   Banten Taterag.

Kunjungi pula postingan tentang Banten Ayaban Tumpeng 9, disini. Banten ayaban tumpeng 11, disini. dan Banten ayaban tumpeng 25, disini.

Penjelasan:
1.      Peras
Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasida” artinya “Berhasil”.


2.      Banten Pengambean
Pengambean berasal dari akar kata “Ngambe” berarti memanggil atau memohon. Banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur guna dapat menikmati hidup dan kehidupan senantiasa berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Sehingga memunculkan makna untuk memohon tuntunan dan bimbingan hidup agar diarahkan dan diberikan penyinaran demi kehidupan yang lebih berkualitas.


3.      Banten Dapetan
Banten dapetan disimbolkan sebagai wujud permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar dikaruniai atau dikembalikan kekuatan Tri Pramana termasuk kekuatan Tri Bhuwananya. Selain itu, Banten ini mengandung makna seseorang hendaknya siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang tentunya berlimpahnya kesejahteraan dan kebahagiaan, panjang umur dan sehat walafiat. Banten ini juga sebagai ungkapan berterima kasih, mensyukuri karunia Tuhan Yang maha Esa karena telah diberikan kesempatan menjelma sebagai manusia.

4.      Banten Guru
Untuk Banten Guru, mohon maf saya belum dapat referensi.

5.      Banten Pengiring
Banten pengiring adalah sesajen yang alasnya adalah sebuah taledan/tamas, kemudian secara berturut-turut diisi pisang, buah-buahan, tebi, kue, dua buah tumpeng, sampian tangga dan canang genten.

6.      Banten Gebogan
Gebogan merupakan simbol persembahan dan rasa syukur pada Tuhan/Hyang Widhi. Gebogan atau juga disebut Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan dan bunga. Umumnya gebogan dibawa ke pura untuk rangkaian upacara panca yadnya. Arti kata gebogan itu sendiri dalam bahasa Bali sebenarnya berarti ''jumlah''. Maksudnya bahwa gebogan dibuat dari berbagai jumlah dan jenis buah yang merupakan hasil bumi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ida Sanghyang Widhi.


7.      Banten Sesayut
Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506).


8.      Banten Rayunan
Rayunan juga sering disebut sebagai Ajuman/Sodan/Ajengan, yang mana dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Apabila dimakanai, rayunan ini memiliki makna sebagai persembahan makanan kepada Ida Sanghyang Widhi/Dewa/Bhatara/maupun leluhur. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. (http://imadeyudhaasmara.wordpress.com/2014/08/14/makna-canang-sari-daksina-peras-pejati-ajuman-sesayut)


9.      Banten Teterag
Sama dengan di Banten Ayaban Tumpeng 5, untuk banten Teterag saya belum dapat info.

Demikian Postingan saya mengenai Banten Ayaban Tumpen 7, semoga bermanfaat!!!!