Banten Ayaban Tumpeng 5

Hai Sahabat Blogger, kali ini saya memposting salah satu Tugas mata kuliah upakara yaitu mengenai Banten Ayaban Tumpeng 5. Awalnya saya kebingungan disuruh menggali informasi mengenai bebantenan ini dikarenakan diri saya tidak terlalu tahu mengenai bebantenan. Nah akhirnya setelah search sana-sini, buka buku A buku B akhirnya saya bisa memproleh sedikit informasinya. nah maksud saya memposting bukan agar dianggap sok pintar, tetapi agar kawan semua yang membaca posting ini dapat lebih mudah dalam mengerjakan tugas serupa. Berikut beberapa bebantenan yang merupakan komponen dari banten ayaban Tumpeng 5.

Banten Ayaban Tumpeng 5, Terdiri dari:
1.   Peras: 2 tumpeng
2.   Pengambean: 2 tumpeng
3.   Dapetan : 1 tumpeng
4.   Gebogan
5.   Sesayut
6.   Rayunan
7.  Teterag

Kunjungi pula postingan tentang Banten Ayaban tumpeng 7, disini. Banten Ayaban Tumpeng 9, disini. Banten ayaban tumpeng 11, disini. dan Banten ayaban tumpeng 25, disini.

Makna masing-masing banten tersebut adalah:
1.        Peras
Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasida” artinya “Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Peraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses. (http://astiniluna.blogspot.com/2014/01/makna-filososi-banten-canang-sari.html)

2.      Pengambean
Pengambean berasal dari akar kata “Ngambe” berarti memanggil atau memohon. Banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur guna dapat menikmati hidup dan kehidupan senantiasa berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Sehingga memunculkan makna untuk memohon tuntunan dan bimbingan hidup agar diarahkan dan diberikan penyinaran demi kehidupan yang lebih berkualitas.

3.      Dapetan
Banten dapetan disimbolkan sebagai wujud permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar dikaruniai atau dikembalikan kekuatan Tri Pramana termasuk kekuatan Tri Bhuwananya. Selain itu, Banten ini mengandung makna seseorang hendaknya siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang tentunya berlimpahnya kesejahteraan dan kebahagiaan, panjang umur dan sehat walafiat. Banten ini juga sebagai ungkapan berterima kasih, mensyukuri karunia Tuhan Yang maha Esa karena telah diberikan kesempatan menjelma sebagai manusia.

4. Gebogan
Gebogan merupakan simbol persembahan dan rasa syukur pada Tuhan/Hyang Widhi. Gebogan atau juga disebut Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan dan bunga. Umumnya gebogan dibawa ke pura untuk rangkaian upacara panca yadnya. Arti kata gebogan itu sendiri dalam bahasa Bali sebenarnya berarti ''jumlah''. Maksudnya bahwa gebogan dibuat dari berbagai jumlah dan jenis buah yang merupakan hasil bumi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ida Sanghyang Widhi.

5. Sesayut
Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506).

6.  Rayunan
Rayunan juga sering disebut sebagai Ajuman/Sodan/Ajengan, yang mana dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Apabila dimakanai, rayunan ini memiliki makna sebagai persembahan makanan kepada Ida Sanghyang Widhi/Dewa/Bhatara/maupun leluhur. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. (http://imadeyudhaasmara.wordpress.com/2014/08/14/makna-canang-sari-daksina-peras-pejati-ajuman-sesayut)

7.  Teterag
Khusus untuk teterag saya belum mendapatkan informasinya, barangkali diantara teman pembaca yang tahu mohon saling sharing ya! Bisa sharing via facebook dengan saya. 

Saya kira hanya itu teman isi dari banten ayaban tumpeng 5, semoga postingan ini dapat membantu dimanapun teman berada. Terima Kasih!!!

Salam Sejahtera. :)

Implementasi Ajaran Weda dalam Tradisi Omed-omedan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam tradisi dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.  Tiap daerah walaupun dengan agama yang sama memiliki warisan leluhur berupa tradisi, adat istiadat dan  budaya yang berbeda disesuaikan dengan sukunya masing-masing. Semua tradisi dan budaya yang ada itu baik, sama-sama mengarah pada peningkatan kualitas diri serta menjaga keharmonisan di segala bidang yang dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
 Konsep Tri Hita Karana ini begitu kental dengan kehidupan umat Hindu terkhusus Hindu Bali, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama, dengan lingkungan dan tentunya dengan sang pencipta yang maha agung. Dengan pelaksanaannya diharapkan semua lapisan kehidupan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Dan kembali ditekankan semuanya tidak lepas dari tradisi dan budaya. Bali merupakan pulau yang penuh dengan budaya dan tradisi. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama hindu. Kebudayaan masyarakat Bali masih sangat kuat sehingga kegiatan-kagiatan yang di lakukan oleh masyarakat Bali bargantung pada budaya yang ada. Adapun tradisi-tradisi yang sering kita dengar di antaranya : tradisi mekepung (Negara), tradisi megibung (Tabanan), tradisi dawang-dawang (Buleleng), tradisi Omed-omedan (Sesetan) dan masih banyak tradisi lainnya

WARIGA: IMPLEMENTASI AJARAN WARIGA DALAM PIODALAN PAGERWESI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang memiliki berjuta pulau dari Sabang sampai Merauke, pulau Nias sampai pulau Rote. Suku yang ada di Indonesia juga sangat banyak hingga tidak dapat dihafal satu persatu. Begitu pula dengan keyakinan masing-masing warga negara yang disebut agama, di Indonesia sampai sekarang ini ada enam agama yang diakui, salah satunya agama tertua di dunia Hindu. Hindu telah ada di Indonesia sejak abad ke-4 yang dibuktikan dengan penemuan sejumlah prasasti berbentuk Yupa di Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Dari Kutai agama Hindu terus berkembang ke Jawa, Sumatera, Bali termasuk Lombok.
Namun Hindu tidak menjadi agama satu-satunya yang dikenal masyarakat Indonesia, dan hal tersebut menyebabkan jumlah umat Hindu tidak seperti semula, bahkan di berbagai daerah di Indonesia umat Hindu malah menjadi umat minoritas. Namun menyandang gelar sebagai agama dengan penganut minoritas tidak menyurutkan keyakinan umat Hindu dimanapun berada. Semua upacara keagamaan tetap dilaksanakan sebagai mana mestinya sehingga kejayaan Hindu tetap terasa. Upacara keagamaan tersebut misalnya Galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, Siwaratri, Pagerwesi dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai upacara keagamaan merupakan sesuatu yang sangat menarik, karena banyak makna dan filsafat yang dapat digali dari tiap pelaksanaan upacara. Tujuan dilakukan upacara juga jelas, tidak ada istilah pelaksanaan Upacara yang asal-asalan. Waktu pelaksanaan upacara sangat diperhatikan, yang mana semuanya menggunakan konsep ajaran Wariga sebagai dasar. Tidak terkecuali upacara Pagerwesi, perhitungan yang tepat kapan dilaksanakan harus menjadi perhatian umat Hindu khususnya. Perhitungan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang mudah, sehingga pemahaman yang mantap tentang ajaran Wariga sangat diperlukan.
Bagi sebagian orang mungkin istilah “Wariga” merupakan sesuatu yang asing, tetapi sesungguhnya tanpa disadari konsepnya terkadang sudah dterapkan. Wariga pada dasarnya bersumber dari ajaran jyotisa tergolong kelompok Wedangga yang merupakan pelengkap Weda, dan sebagai batang tubuh dari Weda, yang isinya membahas tentang peredaran tata surya, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya, yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan ini dalam melaksanakan upacara/yadnya.
Bertolak dari hal tersebutlah penulis sebagai generasi muda Hindu yang mau tidak mau akan terjun ke dalam masyarakat harus lebih memahami tentang ajaran Wariga yang mana dalam hal ini akan penulis lebih fokus pada sejauh mana peranan ajaran konsep Wariga dalam pelaksanaan Upacara/Piodalan Pagerwesi. Dan atas dasar pemikiran tersebut penulis akan mencoba menguraikan semuanya melalui makalah yang berjudul “ Implementasi Ajaran Wariga dalam Upacara pagerwesi”.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis uraikan dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan menjadi landasan dalam pembahasan, antara lain:
1.      Apa pengertian Wariga?
2.      Bagaimana pemahaman tentang upacara Pagerwesi?
3.      Bagaimana Implementasi ajaran Wariga dalam upacara Pagerwesi?

1.3  Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang sudah diuraikan tersirat tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini, antara lain:
1.      Agar pembaca dan penulis memahami apa pengertian Wariga.
2.      Agar pembaca dan penulis memahami bagaimana sesungguhnya upacara pagerwesi berlangsung.

3.      Agar pembaca dan penulis mengetahui bagaimana Implementasi ajaran Wariga dalam upacara Pagerwesi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wariga
            Wariga merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan tentang sifat-sifat atau watak dari wewaran, tanggal/panglong, wuku, ingkel, sasih dan lainnya yang bersumber dari ajaran agama Hindu, yaitu Jyotisa Wedangga (Ardhana, 2005:1). Dalam lontar yang disebut “Keputusan Sunari” mengatakan bahwa kata Wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sebagai penjelasan dikemukakan “….iki uttamaning pati lawan urip, manemu marga wakasing apadadang, ike tegesing wariga”. dari penjelasan ini jelas bahwa yang dimaksud dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan keterangan dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari. (https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu-astronomi-ala-bali/481661075189877, 20 Desember 2013)
            Berbicara tentang Wariga dalam konsep Hindu sangat erat kaitannya dengan Padewasan. Padewasan ini berasal dari akar kata “Dewasa” atau “Diwasa” (Sanskreta) yang berarti saat, waktu, jam, tanggal/panglong, hari. Sehingga padewasan berarti ilmu yang menguraikan tentang cara memilih atau mentetapkan baik-buruknya hari (ala-ayuning dewasa) berdasarkan sifat-sifat atau watak sesuatu hari seperti yang termuat di dalam Wariga. Dalam kehidupan sehari-hari, padewasan itu penting untuk memilih dan menetapkan kapan/hari yang baik (dewasa ayu) untuk melaksanakan suatu kegiatan seperti yadnya, pertanian, pembangunan dan usaha-usaha atau pekerjaan-pekerjaan penting lainnya supaya berlagsung dengan selamat/rahayu dan berhasil dengan baik (sidha karya). Demikian pula padewasan sangat penting untuk mengetahui saat/hari yang tidak baik (dewasa ala) agar dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti yadnya dan lain-lainnya tersebut tidak mendapat halangan atau masalah atau gagal (tan sidha karya) (Ardhana, 2005:1).
            Pada bagian dari Wariga terdapat juga tenung-tenung (ramalan). Ramalan tersebut ditentukan berdasarkan wawaran, wuku dan sasih. Ramalan-ramalan berisi tentang jodoh, rejeki dan yang lainnya. Tenung-tenung ini dibedakan menjadi empat jenis (Aryana:2009:10) yaitu tenung pengalihan (menggabungkan urip wawaran), tenung jejinahan (menggunakan uang), tenung palelintangan (menggunakan lintang tertentu, misalnya lintang tangis) dan tenung campuran (menggunakan campuran dari teknik-teknik yang ada). (http://warigabali.metrobali.com/?p=6, 15 Desember 2013)
            Tradisi menghitung hari baik (wariga) telah ada semenjak orang Bali belum beragama Hindu, sedangkan agama Hindu yang datang kemudian hanya mempermuliakannya dengan ajaran-ajaran agama yang lebih mantap. Pernyataan bahwa ilmu wariga telah berkembang di Bali sebelum Hindu masuk mengindikasikan adanya masyarakat pra-Hindu di Bali yang memiliki kebudayaan tertentu. Untuk menganalisis bentuk kebudayaan masyarakat pada masa itu maka dapat digunakan logika terbalik, yaitu dengan melihat bentuk wariga yang diwarisi sekarang sebagai hasil interaksi budaya Bali dan Jyotisa Hindu maka akan diketahui budaya masyarakat pada waktu itu. (http://adhityadoc.blogspot.com/2012/06/pembahasan-lontar-wariga-makna-dan.html, 17 Desember 2013)

2.2 Dasar Perhitungan Wariga
            Wariga yang keberadaannya begitu diyakini oleh umat Hindu terkhusus yang ada di Bali tidak ada begitu saja. Semua ini merupakan warisan adi luhung dari nenek moyang yang terus dilestarikan karena memberikan sesuatu yang positif di setiap generasi. Ajaran Wariga ini bisa diterapkan untuk menentukan kapan berlangsung upacara keagamaan, kapan hari baik membuat rumah, memulai usaha, menanam padi dan lain sebagainya, sehingga orang akan menjadi lebih mudah dalam memilih hari.
            Namun tentunya dari semua itu ada dasar-dasar yang digunakan dalam perhitungan baik-buruknya hari (ajaran wariga). Dengan dasar-dasar tersebut maka akan terlihat lebih jelas da n nyata dengan apa dan bagaiman perhitungan wariga itu dilakukan. Dengan dasar yang ada pula akan membuat setiap orang lebih mudah dalam mempelajari penentuan baik-buruknya hari sesuai kepentingan. Dengan dasar yang ada pula akan semakin membuat ajaran wariga lebih universal dan sama dimana serta kapanpun digunakan. Adapun dasar-dasar yang dimaksud adalah wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh” dimana kedudukan masing-masing waktu itu secara relatif mempunyai pengaruh yang didalilkan sebagai berikut: Wewaran dikalahkan oleh wuku, wuku dikalahkan oleh tanggal panglong, tanggal panglong dikalahkan oleh sasih, sasih dikalahkan oleh dauh, dauh dikalahkan oleh de ning wetuniya Sanghyang Triodasa Sakti  (keheningan hati) (http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html, 17 Desember 2013)

2.2.1 Wewaran
Wewaran berasal dari kata “wara” yang dapat diartikan sebagai hari, seperti hari senin, selasa dll. Masa perputaran satu siklus tidak sama cara menghimpunnya. Siklus ini dikenal misalnya dalam sistim kalender hindu dengan istilah bilangan, sebagai berikut:
1)      Eka wara; luang (tunggal)
2)      Dwi wara; menga (terbuka), pepet (tertutup).
3)      Tri wara; pasah, beteng, kajeng.
4)      Catur wara; sri (makmur), laba (pemberian), jaya (unggul), menala (sekitar daerah).
5)      Panca wara; umanis (penggerak), paing (pencipta), pon (penguasa), wage (pemelihara), kliwon (pelebur).
6)      Sad wara; tungleh (tak kekal), aryang (kurus), urukung (punah), paniron (gemuk), was (kuat), maulu (membiak).
7)      Sapta wara; redite (minggu), soma (senin), Anggara (selasa), budha (rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara (sabtu). Jejepan; mina (ikan), Taru (kayu), sato (binatang), patra ( tumbuhan menjalar), wong (manusia), paksi (burung).
8)      Asta wara; sri (makmur), indra (indah), guru (tuntunan), yama (adil), ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma (pemelihara).
9)      Sanga wara; dangu (antara terang dan gelap), jangur (antara jadi dan batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung), erangan (dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi).
10)  Dasa wara; pandita (bijaksana), pati (dinamis), suka (periang), duka (jiwa seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh (taat/menurut), manusa (sosial), raja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur), raksasa (keras).
Disamping pembagian siklus yang merupakan pembagian masa dengan nama-namanya, lebih jauh tiap wewaran dianggap memiliki nilai yang dipergunakan untuk menentuk ukuran baik buruknya suatu hari. Nilai itu disebut “urip” atau neptu yang bersifat tetap. Karena itu nilainya harus dihafalkan. (https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu-astronomi-ala-bali/481661075189877, 20 Desember 2013)
2.2.2 Wuku
            Disamping perhitungan hari berdawarkan wara sistim kalender yang dipergunakan dalam wariga dikenal pula perhitungan atas dasar wuku (buku) dimana satu wuku memilihi umur tujuh hari, dimulai hari minggu (raditya/redite). setiap juga mempunyai urip/ neptu, tempat dan dewa yang dominan, juga ke semuanya unsur itu menetapkan sifat-sifat padewasaan.
1 tahun kalender pawukon = 30 wuku, sehingga 1 tahun wuku = 30 x 7 hari = 210 hari. Adapun nama-nama Wuku adalah Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menial, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut dan Watugunung. (http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html, 17 Desember 2013)
2.2.3 Tanggal Panglong
            Selain perhitungan wuku dan wewaran ada juga disebut dengan Penanggal dan panglong. Masing masing siklusnya adalah 15 hari. Perhitungan penanggal dimulai 1 hari setelah (H+1) hari Tilem (bulan Mati) dan panglong dimulai 1 hari setelah (H+1) hari purnama (bulan penuh). Padewasaan yang berhubungan dengan tanggal pangelong dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1)      Padewasasan menurut catur laba (empat akibat: baik – buruk – berhasil – gagal)
2)      Padewasaan berdasarkan penanggal untuk pawiwahan (misalnya hindari menikah pada penanggal ping empat karena akan berakibat cepat jadi janda atau duda).
3)      Padewasaan berdasarkan pangelong untuk pawiwahan (misalnya hindari pangelong ping limolas karena akan berakibat tak putus-putusnya menderita).
4)      Padewasaan berdasarkan wewaran, penanggal, dan pangelong (misalnya: Amerta dewa, yaitu Sukra penanggal ping roras, baik untuk semua upacara). (http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html, 17 Desember 2013)
2.2.4 Sasih
            Sasih secara harafiahnya sama diartikan dengan bulan. Sama sepertinya kalender internasional, sasih juga ada sebanyak 12 sasih selama setahun, perhitungannya menggunakan “perhitungan Rasi” sesuai dengan tahun surya (12 rasi = 365/366 hari) dimulai dari 21 maret. Padewasaan menurut sasih dikelompokkan dalam beberapa jenis kegiatan antara lain: untuk membangun, pawiwahan, yadnya, dan lainnya. adapun pembagian sasih tersebut adalah:
 •          Kedasa = Mesa = Maret – April.
•           Jiyestha = Wresaba = April – Mei.
•           Sadha = Mintuna = Mei – Juni.
•           Kasa = Rekata = Juni– Juli.
•           Karo = Singa = Juli –Agustus.
•           Ketiga = Kania = Agustus – September.
•           Kapat = Tula = September – Oktober.
•           Kelima = Mercika = Oktober – November.
•           Kenem = Danuh = November – Desember.
•           Kepitu = Mekara = Desember – Januari.
•           Kewulu = Kumba = Januari – Februari.
•           Kesanga = Mina = Februari – Maret.
2.2.5 Dauh
            Dauh pembagian waktu dalam satu hari. Sehingga dedauh ini berlaku 1 hari atau satu hari dan satu malam. Berdasarkan dedauhan maka pergantian hari secara hindu adalah mulai terbitnya matahari (5.30 WIT). Inti dauh ayu adalah saringan dari pertemuan panca dawuh dengan astadawuh (http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html, 17 Desember 2013).

2.3 Pengertian Upacara Pagerwesi
            Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur. Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=802&Itemid=100, 17 Desember 2013)
2.3.1 Makna Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh."
Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
1.      Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
2.      Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
3.      Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu tentang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat. Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=802&Itemid=100, 17 Desember 2013).

2.4 Implementasi ajaran Wariga dalam Upacara Pagerwesi
            Pagerwesi dilaksanakan oleh umat Hindu dimanapun berada dengan pedoman yang pasti. Pelaksanaannya selalu serempak di setiap daerah, tidak ada istilah perang pendapat tentang kapan mau dilaksanakan. Kasarnya panduan baku sudah ada, termasuk para pengarang kalender semua tahu kapan Pagerwesi dirayakan, sehingga tidak akan terjadi perbedaan informasi antar sumber satu dan sumber yang lainnya.
            Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Kalender Bali karangan alm. I Ketut Bangbang Gde Rawi ketika Pagerwesi ada beberapa hal yang patut diperhatikan, yakni:
1.      Wuku: Sinta
2.      Eka Wara: Luang
3.      Dwi Wara: Pepet
4.      Tri Wara: Pasah
5.      Catur Wara: Menala
6.      Panca Wara: Kliwon
7.      Sad Wara: Paniron
8.      Sapta Wara: Buddha
9.      Asta Wara: Yama
10.  Sanga Wara: Dangu
11.  Dasa Wara: Manuh
12.  Urip = 7 + 8, 7 = urip Sapta Wara, 8 = urip Panca Wara.
Pagerwesi ini adalah salah satu rerahinan (upacara) yang pelaksanaannya berdasarkan pawukon, bukan sasih. Setiap kali bertemu dengan hari yang masing-masing memiliki dari Eka-Dasa Wara, wuku dan urip seperti yang tertulis di atas maka sudah dapat dipastikan itu adalah Pagerwesi. Dengan dasar yang pasti ini tidak akan menimbulkan perbedaan pendapat bak dari kaum Brahmana, Ksatria, Waisya maupun sudra itu sendiri. Semua Warna dapat secara langsung mengetahui pelaksanaannya secara langsung.
Dari semua itu, dapat dipahami bahwa ajaran wariga begitu kompleks, berguna dimana dan kapan saja. Tidak memandang asal dan garis keturunan, asalkan percaya dan yakin akan kebenanran ajaran wariga ini maka manfaatnya akan sangat dirasakan oleh umat dimanapun berada. Dalam dasar perhitungan yang disebutkan sebelumnya memang ada istilah tanggal/panglong, dauh, dan sasih, namun dalam perhitungan kapan pelaksanaan Pagerwesi hal tersebut tidak digunakan.
Pagerwesi adalah salah satu contoh implementasi sederhana dari ajaran wariga, berbeda halnya ketika mengimplementasikan ajaran Wariga untuk hal yang sifatnya lebih rumit, seperti penentuan hari baik menikah, hari baik membangun rumah, hari baik memulai usaha, hari baik menanam padi dan sebagainya akan ditemukan penggunaan semua dasar perhitungan, dan tentunya dengan perumusan-perumusan yang akan sedikit memerlukan daya nalar.
Sesungguhnya untuk menentukan kapan rerahinan Pagerwesi dirayakan umat Hindu umumnya mengunakan implementasi ajaran Wariga yang lebih mudah, seakan-akan hanya sedikit dasar perhitungan yang digunkan, yakni Buddha Kliwon Wuku Sinta, atau lebih sederhananya Buddha wuku Sinta (dalam bahasa Indonesia Hari Rabu ketika wuku Sinta) itulah yang disebut Pagerwesi. Sehingga kalau diperhitungankan Pagerwesi akan dirayakan setiap (7 X 30 = 210) hari sekali. (7= jumlah hari/Sapta Wara, 30= jumlah semua wuku).

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Berdasarkan makalah yang sudah penulis selesaikan dapat dikemukakan beberapa simpulan, yaitu sebagai berikut:
1.      Dalam lontar yang disebut “Keputusan Sunari” mengatakan bahwa kata Wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sehingga Wariga adalah jalan untuk mendapatkan keterangan dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari. Wariga sangat berkaitan dengan Padewasaan, yang mana Padewasaan ini berasal dari akar kata “Dewasa” atau “Diwasa” (Sanskreta) yang berarti saat, waktu, jam, tanggal/panglong, hari. Sehingga padewasan berarti ilmu yang menguraikan tentang cara memilih atau mentetapkan baik-buruknya hari (ala-ayuning dewasa) berdasarkan sifat-sifat atau watak sesuatu hari seperti yang termuat di dalam Wariga.
2.      Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka.
3.      Pagerwesi ini adalah salah satu rerahinan (upacara) yang pelaksanaannya berdasarkan pawukon, bukan sasih. Setiap kali bertemu dengan hari yang masing-masing memiliki dari Eka-Dasa Wara, wuku dan urip seperti yang tertulis di atas maka sudah dapat dipastikan itu adalah Pagerwesi. Dengan dasar yang pasti ini tidak akan menimbulkan perbedaan pendapat bak dari kaum Brahmana, Ksatria, Waisya maupun sudra itu sendiri. Semua Warna dapat secara langsung mengetahui pelaksanaannya secara langsung.

3.1    Saran-saran
Berdasarkan makalah yang sudah penulis selesaikan, ada beberapa saran yang dapat penulis uraikan, antara lain:
1.      Sebagai umat Hindu yang percaya dengan ajaran Weda, dan salah satunya ajaran Jyotisa, maka setiap tindakan yang kita lakukan harus selalu bercermin pada ajaran Wariga agar hasil dari setiap tndakan yang kita lakukan menjadi lebih maksimal.
2.      Para Mahasiswa/i Hindu sebagai masa depan Hindu selayaknya turut andil dalam menyebarkan pemahaman mengenai Wariga kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat menjadi lebih tahu dan paham mengenai Wariga tersebut.
3.      Berawal dari penyusunan makalah ini, marilah bersama-sama mulai untuk menerapkan ajaran wariga, sebab dengan demikian pemahaman tentang Wariga yang kita peroleh akan lebih mendalam dan hal ini tidak akan membuat kita  hanya bisa teori saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I.B. Suparta. 2005. Pokok-Pokok Wariga. Surabaya: Paramita

AJARAN NITI SASTRA DI ERA GLOBALISASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pemimpin merupakan sosok yang sudah dikenal di berbagai aspek kehidupan, baik di masyarakat, sekolah, maupun dalam sebuah negara. Tanpa sosok pemimpin kehidupan akan tidak terarah bagaikan ayam kehilangan induknya. Pemimpinlah yang akan menjadi otak sehingga segala aktivitas kehidupan akan lebih teratur, terkontrol dan terkendali. Pemimpin sudah dikenal bahkan sebelum zaman weda hanya generasinya yang berbeda. Pemimpin tidak harus orang yang secara fisik besar, ataupun secara umur paling tua, tetapi pemimpin adalah sosok yang bisa memimpin dan memiliki kelebihan yang bisa diayomi oleh para bawahan.
Generasi ke generasi terus berjalan hingga sampailah sekarang ini pada era globalisasi. Namun pada prinsipnya di generasi manapun sosok pemimpin akan selalu mengarahkan hal yang terbaik untuk bawahannya sehingga tujuan dari perkumpulan yang dipimpin bisa tercapai. Untuk menjadi seorang pemimpin yang disegani ada pedoman-pedoman yang sama di setiap zaman, yang mana dalam agama Hindu pedoman ini disebut Niti Sastra, Niti berarti kemudi, pemimpin, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan. Sedangkan Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. sehingga Nitisastra berarti ajaran mengenai kepemimpinan menurut Hindu.
Terkait dengan kepemimpinan pula, sekarang sudah berkembang adanya sistem demokrasi, yang mana dalam sistem ini pemimpin tidak lagi diangkat berdasarkan garis keturunan, atau berdasarkan varna tetapi melalui pemilihan langsung oleh para bawahan. Para bawahan bebas memilih siapa yang dianggap mampu, dan bahkan diantaranya boleh mencalonkan diri kalau merasa diri mampu mangemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Hal ini sudah dirasakan sendiri oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang hidup di sebuah negara yang menganut asas demokrasi.
Ada banyak kelebihan dan kekurangan dari asas demokrasi ini. Salah satu kelebihannya adalah rakyat dapat memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya sehingga orang yang akan menjadi pemimpin adalah orang yang mendapat suara terbanyak, dan akhirnya pemimpin akan lebih mudah medapat tempat di hati bawahan. Akan tetapi, salah satu kekurangan yang juga bisa dirasakan adalah rakyat terkadang salah pilih, pemimpin yang terpilih terkadang tidak melakukan hal-hal yang telah dijanjikan, sehingga akhirnya akan timbul penyesalan di kalangan bawahan.
Mencari pemimpin yang baik memang merupakan sesuatu yang sangat sulit di era globalisasi ini, banyak para pemimpin yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi dari jabatan yang dipangku, sehingga tujuan utama pemimpin dalah tugas kepemimpinannya akan sangat sulit dipenuhi. Hal ini tentunya akan mengakibatnya ketidakseimbangan antara unsur pemimpin dengan yang dipimpin dan akhirnya akan timbul krisis kepercayaan. Berkaca dari hal ini penulis ingin mencoba mencari solusi agar bisa mendapat sosok pemimpin yang bisa dijadikan suri tauladan di era globalisasi ini dengan kembali membangkitkan ajaran niti sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam agama hindu. Akan tetapi, walaupun niti sastra milik agama Hindu dalam praktiknya bisa diterapkan oleh semua kalangan, karena niti sastra ini universal hukumnya. Dan dari semua itu, dalam makalah ini penulis akan menguraikan lebih terperinci mengenai “Ajaran Niti Sastra di Era Globalisasi”.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu:
a.       Apakah pengertian pemimpin dan kepemimpinan?
b.      Bagaimanakah kepemimpinan yang baik?

c.       Bagaimanakah kepemimpinan di era globalisasi menurut Niti Sastra?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan adalah masalah yang utama dalam hidup dan kehidupan umat manusia, oleh karena itulah maka umat manusia selalu membutuhkan kepemimpinan, sebab untuk mencapai suksesnya sebuah tujuan dan terjadinya efisiensi kerja harus ada pemimpin. Oleh karena itulah maka para ilmuan banyak melakukan study dan penelitian masalah pemimpin dan kepemimpinan. Dan para sarjana telah memberikan berbagai definisi mengenai pemimpin dan kepemimpinan, dengan menonjolkan satu atau beberapa aspek tertentu sesuai dengan ide pencetus definisi tersebut beserta interpretasinya.
Kepemimpinan adalah merupakan cabang dari kelompok ilmu administrasi, khususnya ilmu adminisaatrasi Negara. Sedangkan ilmu administrasi adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat. Dalam kepemimpinan terdapat hubungan antar manusia; yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin), dan hubungan kepatuhan-kepatuhan para pengikut/bawahan karena dipengaruhi oleh kewajiban pemimpin. Para pengikut terkena pengaruh kekuatan dari pemimpinya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan kepada pemimpin.
Munculnya seorang pemimpin ditimbulkan oleh bermacam-macamam hal, secara garis besar dapat disebutkan dalam tiga teori, yaitu :
Pertama, Teori Genetis. Teori ini menyatakan sebagai berikut :
a)      Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya.
b)      Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga.
Kedua, Teori Sosial (Lawan teori genetic), yang menyatakan sebagai bertikut :
a)      Pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.
b)      Setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.
Ketiga, Teori Ekologis atau Sintesis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu). Teori ini menyatakan bahwa Seseorang akan sukses menjadi seorang pemimpin, bila sejak lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya. (http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=339, 15 Juni 2014)
   Dalam Hindu seorang pemimpin harus bisa mengamalkan Dharma Agama dan Dharma Negara dengan baik, dengan meniru sifat kepemimpinan sperti Rama Dewa, Dharma Wangsa/Yudhistira, Bhisma, Raja Haricandra dan di zaman sekarang seperti tokoh Mahatma Gandhi. Pemimpin yang baik dan bijaksana yang patut ditiru dan menjadi tauladan adalah pemimpin yang mampu menerapkan ajaran kepemimpinan dalam Asta Bratha. (http://pandejuliana.wordpress.com/2012/05/23/pemimpin-dan-kepemimpinan-ajaran-kepemimpinan-menurut-hindu/, 15 Mei 2014)

2.2 Kepemimpinan yang Baik
            Tolok ukur kepemimpinan yang baik adalah kebudayaan yang masih tetap baik yang diwariskan oleh seorang pemimpin setelah lama ia turun dari tampuk pimpinan. Kebenaran ini bisa kita catat bila memperhatikan budaya yang baik yang terdapat pada keluarga-keluarga, lembaga-lembaga, badan usaha, angkatan bersenjata, masyarakat dan bahkan negara. Pada suatu masa di atas garis seorang buyut (leluhur) atau satu atau dua orang pimpinan eksekutif, berkat kepemimpinannya, tercipta suatu budaya yang tetap abadi. Tipe pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan dunia kalau harus memulai suatu zaman damai dan sejahtera berdasarkan pada persaudaraan. (Padma, 1993: 7)
Merasakan adanya kebimbangan yang muncul dalam diskusi tentang pencapaian beberapa pemimpin terkenal dalam sejarah, Rektor  Universitas Sai suatu hari bertanya pada mahasiswa/murid-murid dan guru, Apa perbedaan antara PEMIMPIN YANG BAIK DAN PEMIMPIN YANG HEBAT? Banyak jawaban yang muncul namun tak satupun yang memuaskan Beliau. Akhirnya, beliau mengungkap perbedaan kedua istilah tersebut: “seorang pemimpin hebat adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan pemimpin yang baik adalah untuk  orang lain”. Pemimpin-pemimpin seperti Hitler menjadi orang-orang yang mengkhayalkan dirinya seperti seorang yang agung dan mulia dan menjadi orang yang dipenjara oleh egonya sendiri. Mereka ini tidak peduli terhadap rakyatnya. Perhatian utamanya adalah dirinya sendiri. Mereka menimbulkan banyak penderitaan rakyatnya. (Padma, 1993: 8)
Mengingat dari apa yang diwejangkan Bhagawan Sai mengenai kepemimpinan maka akan muncul pemikiran dalam benak, “siapa yang bisa menjadi pemimpin yang baik?” dan ternyata Padma Bushan telah menuliskan (1993: 20), hanya seseorang yang pikiran, kata-kata dan perbuatan berada dalam keharmonisan bisa menjadi seorang pemimpin yang baik dan efektif.
           Pikiran-pikirannya murni sumber-sumber pikirannya tidak berhubungan dengan nafsu, amarah, keterikatan, keserakahan, egoisme (kesombongan), atau iri hatoi. Ia mengatakan apa yang ia pikirkan tidak ada sifat bermuka dua di dalamnya dan ia melakukan apa yang dikatakannya tidak ada kebohongan atau kemunafikan dalam perilakunya. Ringkasnya, ia itu seorang yang transaparan dan berterus terang baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Secara diagram, ada dua orang yang dilukiskan seperti gambar di atas. Tipe yang pertama adalah orang yang pandai dan bersifat duniawi. Pikirannya berkaitan/berhubungan dengan kepentingan pribadinya. Ia memikirkan satu hal, tetapi mengatakan sesuatu yang lain. Dan bila tiba pada pelaksanaanya ia jarang sekali melakukan apa yang dikatakanya. Sedangkan tipe kedua mempunyai keharmonisan pikiran, kata-kata, dan perbuatan.
            Kita mempercayai orang yang pikiran, kata-kata, dan perbuatan harmonis. Inilah tipe orang yang memiliki potendi menjadi seorang pemimpin yang baik. Pada bab selanjutnya kita bahas karakter tipe orang ini secara lebih mendetail. (Padma, 1993: 21)

2.3 Pemimpin di Era Globalisasi
            Era globalisasi yang ditandai dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, untuk mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan.
Orang yang mau menjadi pemimpinpun semakin banyak bermunculan, tanpa memandang kasta, asal, maupun umur. Ketika seseorang merasa mampu maka dia akan mencoba menjadi seorang pemimpin. Proses pemilihan pemimpin yang sarat dengan permainan politik sudah tidak asing bagi semua kalangan di era globalisasi ini. Akan tetapi, dari banyaknya orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin sangat sulit ditemukan pemimpin yang baik, tetapi kalau pemimpin yang pintar dan hebat banyak.
Mencari pemimpin yang baik inilah menjadi kendala bagi seluruh lapisan masyarakat, banyak pemimpin yang mendapatkan jabatannya karena permainan uang (money politic), alhasil setelah naik yang menjadi prioritas adalah mengembalikan modal awal. Lalu bagaimana dengan bawahan? Akan menjadi urusan ke sekian dalam benaknya, malahan rakyat akan tidak diperhatikan. Yang lebih parah lagi, penyimpangan wewenang sering terjadi hanya dengan maksud mengutamakan kepentingan pribadi.
Berkaca dari hal tersebut, sudah sewajibnya kepemimpinan di era globalisasi ini mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Kepemimpinan pada zaman terdahulu, seperti masa-masa kerajaan sepintas terlihat lebih bagus padahal kalau dilihat dari proses penentuan pemimpin sekarang ini lebih terstruktur. Peradaban memang terus berganti, pembaharuan dalam tatanan kehidupan juga terus terjadi, akan tetapi perubahan yang terjadi tidak selamanya membawa kebaikan bagi semua pihak.

2.4 Ajaran Niti Satra di Era Globalisasi
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “ niti ” yang berarti bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika. Sedangkan “ sastra “ berarti perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Berdasarkan uraian diatas di atas maka kata Nitisastra berarti ajaran pemimpin. Dengan demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka “ niti sastra ” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik. (http://tudeputra.blogspot.com/2012/11/kepemimpinan-menurut-hindu.html, 12 Juni 2014)
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra) di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya  di India, Asia bahkan, dunia. Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain:
a)      Pemikiran dalam niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
b)      Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang. (http://tudeputra.blogspot.com/2012/11/kepemimpinan-menurut-hindu.html, 12 Juni 2014)
Apabila ajaran nitisastra dibangkitkan kembali di era globalisasi ini, maka pemimpin dalam kepemimpinannya akan lebih mampu mengemban tugas yang harus dikerjakan. Sebagaimana pemimpin dalam ajaran nitisastra sesuai yang tertuang dalam dalam lontar Raja Pati Gondala harus memiliki sepuluh hal yang selalu melekat pada dirinya, yaitu:
a)      Satya, artinya kejujuran
b)      Arya, artinya orang besar
c)      Dharma, artinya kebajikan
d)     Asurya, artinya orang yang dapat mengalahkan musuh
e)      Mantri, artinya orang yang dapat mengalahkan kesusahan
f)       Salyatawan, artinya orang yang banyak sahabatnya.
g)      Bali, artinya orang yang kuat dan sakti.
h)      Kaparamarthan, artinya kerohanian
i)        Kadiran, artinya orang yang tetap pendiriannya
j)        Guna, artinya orang yang pandai.
Dengan perpaduan antara sistem demokrasi di era globalisasi ini dengan ajaran nitisastra, maka tidak akan kesulitan menemukan seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang mampu menjalankan tapuk kepemimpinan sesuai keinginan rakyat. Pemimpin akan mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan Dharma Agama dan Dharma Negara. Masyarakat akan menjadikan pimpinannya sebagai panutan tanpa lagi ada istilah memaksakan bahwa yang boleh menjadi pemimpin hanya dari satu garis keturunan. Semua orang yang memiliki kriteria dalam ajaran nitisastra layak menjadi pemimpin.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan dalam makalah ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a)      Kepemimpian merupakan satu kesatuan dengan pemimpin kepemimpinan. Proses yang dilakukan untuk dapat menggerakkan orang lain merupakan definisi kepemimpinan, sedangkan orang yang melakukan aktivitas memimpin inilah pemimpin.
b)      Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau bertindak untuk orang lain tanpa harus selalu mementingkan diri sendiri.
c)      Ajaran nitisastra selayaknya dibangkitkan kembali di era globalisasi ini untuk mendapatkan sosok pemimpin pilahan rakyat yang sarat dengan karakter mulia dan taat pada Dharma Agama serta Dharma Negara.

3.2 Saran-saran
Dari penulisan makalah ini dari awal sampai akhir, penulis menemukan beberapa hal yang pantas dituliskan dalam kategori saran, antara lain:
a)      Hindari penggunaan uang dalam proses pemilihan pemimpin, karena hal ini hanya akan menistakan pemimpin di mata rakyat, dan ditakutkan pemimpin yang naik karena uang setelah menjabat hanya ingat dengan uang.
b)      Ajaran nitisastra memang up to date di semua zaman, akan tetapi yang menjadi kendala adalah keberadaannya mulai tenggelam di era globalisasi ini, dan hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama selaku kaum pelajar Hindu.


DAFTAR PUSTAKA

Bhushan, Padma. 1993. Wejangan Sai Baba tentang Kepemimpinan. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonesia