BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang besar, yang memiliki berjuta pulau dari Sabang sampai Merauke, pulau Nias
sampai pulau Rote. Suku yang ada di Indonesia juga sangat banyak hingga tidak
dapat dihafal satu persatu. Begitu pula dengan keyakinan masing-masing warga
negara yang disebut agama, di Indonesia sampai sekarang ini ada enam agama yang
diakui, salah satunya agama tertua di dunia Hindu. Hindu telah ada di Indonesia
sejak abad ke-4 yang dibuktikan dengan penemuan sejumlah prasasti berbentuk
Yupa di Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Dari Kutai agama Hindu terus
berkembang ke Jawa, Sumatera, Bali termasuk Lombok.
Namun Hindu tidak menjadi agama
satu-satunya yang dikenal masyarakat Indonesia, dan hal tersebut menyebabkan
jumlah umat Hindu tidak seperti semula, bahkan di berbagai daerah di Indonesia
umat Hindu malah menjadi umat minoritas. Namun menyandang gelar sebagai agama
dengan penganut minoritas tidak menyurutkan keyakinan umat Hindu dimanapun
berada. Semua upacara keagamaan tetap dilaksanakan sebagai mana mestinya
sehingga kejayaan Hindu tetap terasa. Upacara keagamaan tersebut misalnya
Galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, Siwaratri, Pagerwesi dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai upacara
keagamaan merupakan sesuatu yang sangat menarik, karena banyak makna dan
filsafat yang dapat digali dari tiap pelaksanaan upacara. Tujuan dilakukan
upacara juga jelas, tidak ada istilah pelaksanaan Upacara yang asal-asalan.
Waktu pelaksanaan upacara sangat diperhatikan, yang mana semuanya menggunakan
konsep ajaran Wariga sebagai dasar. Tidak terkecuali upacara Pagerwesi,
perhitungan yang tepat kapan dilaksanakan harus menjadi perhatian umat Hindu
khususnya. Perhitungan yang dimaksud bukanlah sesuatu yang mudah, sehingga
pemahaman yang mantap tentang ajaran Wariga sangat diperlukan.
Bagi sebagian orang mungkin
istilah “Wariga” merupakan sesuatu yang asing, tetapi sesungguhnya tanpa
disadari konsepnya terkadang sudah dterapkan. Wariga pada dasarnya bersumber dari ajaran jyotisa
tergolong kelompok Wedangga yang merupakan pelengkap Weda, dan sebagai
batang tubuh dari Weda, yang isinya membahas tentang peredaran tata surya,
bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya, yang mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan ini dalam melaksanakan upacara/yadnya.
Bertolak dari hal tersebutlah penulis sebagai generasi
muda Hindu yang mau tidak mau akan terjun ke dalam masyarakat harus lebih
memahami tentang ajaran Wariga yang mana dalam hal ini akan penulis lebih fokus
pada sejauh mana peranan ajaran konsep Wariga dalam pelaksanaan Upacara/Piodalan
Pagerwesi. Dan atas dasar pemikiran tersebut penulis akan mencoba menguraikan
semuanya melalui makalah yang berjudul “ Implementasi Ajaran Wariga dalam
Upacara pagerwesi”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
penulis uraikan dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan menjadi landasan
dalam pembahasan, antara lain:
1.
Apa pengertian Wariga?
2.
Bagaimana pemahaman tentang upacara Pagerwesi?
3.
Bagaimana Implementasi ajaran Wariga dalam
upacara Pagerwesi?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dan rumusan
masalah yang sudah diuraikan tersirat tujuan yang ingin dicapai dari penulisan
makalah ini, antara lain:
1.
Agar pembaca dan penulis memahami apa pengertian
Wariga.
2.
Agar pembaca dan penulis memahami bagaimana
sesungguhnya upacara pagerwesi berlangsung.
3.
Agar pembaca dan penulis mengetahui bagaimana
Implementasi ajaran Wariga dalam upacara Pagerwesi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Wariga
Wariga
merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan tentang sifat-sifat atau watak dari
wewaran, tanggal/panglong, wuku, ingkel, sasih dan lainnya yang bersumber dari
ajaran agama Hindu, yaitu Jyotisa Wedangga (Ardhana, 2005:1). Dalam lontar yang
disebut “Keputusan Sunari” mengatakan bahwa kata Wariga berasal dari dua kata,
yaitu “wara” yang berarti puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sebagai
penjelasan dikemukakan “….iki uttamaning pati lawan urip, manemu marga wakasing
apadadang, ike tegesing wariga”. dari penjelasan ini jelas bahwa yang dimaksud
dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan keterangan dalam usaha untuk
mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari. (
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu-astronomi-ala-bali/481661075189877,
20 Desember 2013)
Berbicara
tentang Wariga dalam konsep Hindu sangat erat kaitannya dengan Padewasan.
Padewasan ini berasal dari akar kata “Dewasa” atau “Diwasa” (Sanskreta) yang
berarti saat, waktu, jam, tanggal/panglong, hari. Sehingga padewasan berarti
ilmu yang menguraikan tentang cara memilih atau mentetapkan baik-buruknya hari
(ala-ayuning dewasa) berdasarkan sifat-sifat atau watak sesuatu hari seperti
yang termuat di dalam Wariga. Dalam kehidupan sehari-hari, padewasan itu
penting untuk memilih dan menetapkan kapan/hari yang baik (dewasa ayu) untuk
melaksanakan suatu kegiatan seperti yadnya, pertanian, pembangunan dan
usaha-usaha atau pekerjaan-pekerjaan penting lainnya supaya berlagsung dengan
selamat/rahayu dan berhasil dengan baik (sidha karya). Demikian pula padewasan
sangat penting untuk mengetahui saat/hari yang tidak baik (dewasa ala) agar
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti yadnya dan lain-lainnya tersebut
tidak mendapat halangan atau masalah atau gagal (tan sidha karya) (Ardhana,
2005:1).
Pada
bagian dari Wariga terdapat juga tenung-tenung (ramalan). Ramalan tersebut
ditentukan berdasarkan wawaran, wuku dan sasih. Ramalan-ramalan berisi tentang
jodoh, rejeki dan yang lainnya. Tenung-tenung ini dibedakan menjadi empat jenis
(Aryana:2009:10) yaitu tenung pengalihan (menggabungkan urip wawaran), tenung
jejinahan (menggunakan uang), tenung palelintangan (menggunakan lintang
tertentu, misalnya lintang tangis) dan tenung campuran (menggunakan campuran
dari teknik-teknik yang ada). (
http://warigabali.metrobali.com/?p=6,
15 Desember 2013)
Tradisi
menghitung hari baik (wariga) telah ada semenjak orang Bali belum beragama
Hindu, sedangkan agama Hindu yang datang kemudian hanya mempermuliakannya
dengan ajaran-ajaran agama yang lebih mantap. Pernyataan bahwa ilmu wariga
telah berkembang di Bali sebelum Hindu masuk mengindikasikan adanya masyarakat
pra-Hindu di Bali yang memiliki kebudayaan tertentu. Untuk menganalisis bentuk
kebudayaan masyarakat pada masa itu maka dapat digunakan logika terbalik, yaitu
dengan melihat bentuk wariga yang diwarisi sekarang sebagai hasil interaksi
budaya Bali dan Jyotisa Hindu maka akan diketahui budaya masyarakat pada waktu
itu. (
http://adhityadoc.blogspot.com/2012/06/pembahasan-lontar-wariga-makna-dan.html,
17 Desember 2013)
2.2 Dasar
Perhitungan Wariga
Wariga
yang keberadaannya begitu diyakini oleh umat Hindu terkhusus yang ada di Bali
tidak ada begitu saja. Semua ini merupakan warisan adi luhung dari nenek moyang
yang terus dilestarikan karena memberikan sesuatu yang positif di setiap
generasi. Ajaran Wariga ini bisa diterapkan untuk menentukan kapan berlangsung
upacara keagamaan, kapan hari baik membuat rumah, memulai usaha, menanam padi
dan lain sebagainya, sehingga orang akan menjadi lebih mudah dalam memilih
hari.
Namun
tentunya dari semua itu ada dasar-dasar yang digunakan dalam perhitungan
baik-buruknya hari (ajaran wariga). Dengan dasar-dasar tersebut maka akan
terlihat lebih jelas da n nyata dengan apa dan bagaiman perhitungan wariga itu
dilakukan. Dengan dasar yang ada pula akan membuat setiap orang lebih mudah
dalam mempelajari penentuan baik-buruknya hari sesuai kepentingan. Dengan dasar
yang ada pula akan semakin membuat ajaran wariga lebih universal dan sama
dimana serta kapanpun digunakan. Adapun dasar-dasar yang dimaksud adalah
wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh” dimana kedudukan masing-masing waktu
itu secara relatif mempunyai pengaruh yang didalilkan sebagai berikut: Wewaran
dikalahkan oleh wuku, wuku dikalahkan oleh tanggal panglong, tanggal panglong
dikalahkan oleh sasih, sasih dikalahkan oleh dauh, dauh dikalahkan oleh de ning
wetuniya Sanghyang Triodasa Sakti
(keheningan hati) (
http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html,
17 Desember 2013)
2.2.1 Wewaran
Wewaran berasal dari kata “wara”
yang dapat diartikan sebagai hari, seperti hari senin, selasa dll. Masa
perputaran satu siklus tidak sama cara menghimpunnya. Siklus ini dikenal
misalnya dalam sistim kalender hindu dengan istilah bilangan, sebagai berikut:
1)
Eka wara; luang (tunggal)
2)
Dwi wara; menga (terbuka), pepet (tertutup).
3)
Tri wara; pasah, beteng, kajeng.
4)
Catur wara; sri (makmur), laba (pemberian), jaya
(unggul), menala (sekitar daerah).
5)
Panca wara; umanis (penggerak), paing
(pencipta), pon (penguasa), wage (pemelihara), kliwon (pelebur).
6)
Sad wara; tungleh (tak kekal), aryang (kurus),
urukung (punah), paniron (gemuk), was (kuat), maulu (membiak).
7)
Sapta wara; redite (minggu), soma (senin),
Anggara (selasa), budha (rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara
(sabtu). Jejepan; mina (ikan), Taru (kayu), sato (binatang), patra ( tumbuhan
menjalar), wong (manusia), paksi (burung).
8)
Asta wara; sri (makmur), indra (indah), guru
(tuntunan), yama (adil), ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma
(pemelihara).
9)
Sanga wara; dangu (antara terang dan gelap), jangur
(antara jadi dan batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung),
erangan (dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi).
10)
Dasa wara; pandita (bijaksana), pati (dinamis),
suka (periang), duka (jiwa seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh
(taat/menurut), manusa (sosial), raja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur),
raksasa (keras).
2.2.2 Wuku
Disamping
perhitungan hari berdawarkan wara sistim kalender yang dipergunakan dalam
wariga dikenal pula perhitungan atas dasar wuku (buku) dimana satu wuku
memilihi umur tujuh hari, dimulai hari minggu (raditya/redite). setiap juga
mempunyai urip/ neptu, tempat dan dewa yang dominan, juga ke semuanya unsur itu
menetapkan sifat-sifat padewasaan.
1 tahun kalender pawukon = 30 wuku, sehingga 1 tahun
wuku = 30 x 7 hari = 210 hari. Adapun nama-nama Wuku adalah Sinta, Landep,
Ukir, Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang,
Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih,
Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menial, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu,
Dukut dan Watugunung. (
http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html,
17 Desember 2013)
2.2.3 Tanggal
Panglong
Selain
perhitungan wuku dan wewaran ada juga disebut dengan Penanggal dan panglong.
Masing masing siklusnya adalah 15 hari. Perhitungan penanggal dimulai 1 hari
setelah (H+1) hari Tilem (bulan Mati) dan panglong dimulai 1 hari setelah (H+1)
hari purnama (bulan penuh). Padewasaan yang berhubungan dengan tanggal
pangelong dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1)
Padewasasan menurut catur laba (empat akibat:
baik – buruk – berhasil – gagal)
2)
Padewasaan berdasarkan penanggal untuk pawiwahan
(misalnya hindari menikah pada penanggal ping empat karena akan berakibat cepat
jadi janda atau duda).
3)
Padewasaan berdasarkan pangelong untuk pawiwahan
(misalnya hindari pangelong ping limolas karena akan berakibat tak
putus-putusnya menderita).
2.2.4 Sasih
Sasih
secara harafiahnya sama diartikan dengan bulan. Sama sepertinya kalender
internasional, sasih juga ada sebanyak 12 sasih selama setahun, perhitungannya
menggunakan “perhitungan Rasi” sesuai dengan tahun surya (12 rasi = 365/366
hari) dimulai dari 21 maret. Padewasaan menurut sasih dikelompokkan dalam
beberapa jenis kegiatan antara lain: untuk membangun, pawiwahan, yadnya, dan
lainnya. adapun pembagian sasih tersebut adalah:
• Kedasa = Mesa = Maret – April.
• Jiyestha
= Wresaba = April – Mei.
• Sadha
= Mintuna = Mei – Juni.
• Kasa
= Rekata = Juni– Juli.
• Karo
= Singa = Juli –Agustus.
• Ketiga
= Kania = Agustus – September.
• Kapat
= Tula = September – Oktober.
• Kelima
= Mercika = Oktober – November.
• Kenem
= Danuh = November – Desember.
• Kepitu
= Mekara = Desember – Januari.
• Kewulu
= Kumba = Januari – Februari.
• Kesanga
= Mina = Februari – Maret.
2.2.5 Dauh
Dauh
pembagian waktu dalam satu hari. Sehingga dedauh ini berlaku 1 hari atau satu
hari dan satu malam. Berdasarkan dedauhan maka pergantian hari secara hindu
adalah mulai terbitnya matahari (5.30 WIT). Inti dauh ayu adalah saringan dari
pertemuan panca dawuh dengan astadawuh (
http://cakepane.blogspot.com/2010/04/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu.html,
17 Desember 2013).
2.3 Pengertian
Upacara Pagerwesi
Kata
"pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini melambangkan suatu
perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang
bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi
sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam
bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini
adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang Paramesti Guru adalah
nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal
yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi
gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa
penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur. Hari Raya
Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini
dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk
pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta
maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan
Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken
sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
2.3.1 Makna
Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam
lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan
hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini
mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya
sebagai guru sejati. Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai
guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari
Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar
yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru
sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari
perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja
berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini
berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai
guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi adalah
hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati .
Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk
melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru
beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa
tumitah muang sarwa tumuwuh."
Ngawerdhiaken
artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan.
Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan
hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada
tiga sumber kemakmuran yaitu:
1.
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
2.
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara
sapi sebagai induk semua hewan.
3.
Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah
suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar,
berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak
yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari
kecurangan jelas tidak dikehendaki Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Di India, umat Hindu memiliki hari
raya yang disebut Guru Purnima. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari
raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi
kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana.
Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu tentang Catur
Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma
Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah
umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan
persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa
dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini
sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan
Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk
melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat. Jika kita boleh mengambil
kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru
Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan
dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci.
Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi
dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat
disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting
adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang
Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi,
seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat
Hindu di Indonesia (
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=802&Itemid=100,
17 Desember 2013).
2.4
Implementasi ajaran Wariga dalam Upacara Pagerwesi
Pagerwesi
dilaksanakan oleh umat Hindu dimanapun berada dengan pedoman yang pasti.
Pelaksanaannya selalu serempak di setiap daerah, tidak ada istilah perang
pendapat tentang kapan mau dilaksanakan. Kasarnya panduan baku sudah ada,
termasuk para pengarang kalender semua tahu kapan Pagerwesi dirayakan, sehingga
tidak akan terjadi perbedaan informasi antar sumber satu dan sumber yang
lainnya.
Berdasarkan
data yang penulis peroleh dari Kalender Bali karangan alm. I Ketut Bangbang Gde
Rawi ketika Pagerwesi ada beberapa hal yang patut diperhatikan, yakni:
1.
Wuku: Sinta
2.
Eka Wara: Luang
3.
Dwi Wara: Pepet
4.
Tri Wara: Pasah
5.
Catur Wara: Menala
6.
Panca Wara: Kliwon
7.
Sad Wara: Paniron
8.
Sapta Wara: Buddha
9.
Asta Wara: Yama
10.
Sanga Wara: Dangu
11.
Dasa Wara: Manuh
12.
Urip = 7 + 8, 7 = urip Sapta Wara, 8 = urip
Panca Wara.
Pagerwesi ini adalah salah satu
rerahinan (upacara) yang pelaksanaannya berdasarkan pawukon, bukan sasih.
Setiap kali bertemu dengan hari yang masing-masing memiliki dari Eka-Dasa Wara,
wuku dan urip seperti yang tertulis di atas maka sudah dapat dipastikan itu
adalah Pagerwesi. Dengan dasar yang pasti ini tidak akan menimbulkan perbedaan
pendapat bak dari kaum Brahmana, Ksatria, Waisya maupun sudra itu sendiri.
Semua Warna dapat secara langsung mengetahui pelaksanaannya secara langsung.
Dari semua itu, dapat dipahami
bahwa ajaran wariga begitu kompleks, berguna dimana dan kapan saja. Tidak
memandang asal dan garis keturunan, asalkan percaya dan yakin akan kebenanran
ajaran wariga ini maka manfaatnya akan sangat dirasakan oleh umat dimanapun
berada. Dalam dasar perhitungan yang disebutkan sebelumnya memang ada istilah
tanggal/panglong, dauh, dan sasih, namun dalam perhitungan kapan pelaksanaan
Pagerwesi hal tersebut tidak digunakan.
Pagerwesi adalah salah satu contoh
implementasi sederhana dari ajaran wariga, berbeda halnya ketika
mengimplementasikan ajaran Wariga untuk hal yang sifatnya lebih rumit, seperti
penentuan hari baik menikah, hari baik membangun rumah, hari baik memulai
usaha, hari baik menanam padi dan sebagainya akan ditemukan penggunaan semua dasar
perhitungan, dan tentunya dengan perumusan-perumusan yang akan sedikit
memerlukan daya nalar.
Sesungguhnya untuk menentukan
kapan rerahinan Pagerwesi dirayakan umat Hindu umumnya mengunakan implementasi
ajaran Wariga yang lebih mudah, seakan-akan hanya sedikit dasar perhitungan
yang digunkan, yakni Buddha Kliwon Wuku Sinta, atau lebih sederhananya Buddha
wuku Sinta (dalam bahasa Indonesia Hari Rabu ketika wuku Sinta) itulah yang
disebut Pagerwesi. Sehingga kalau diperhitungankan Pagerwesi akan dirayakan setiap
(7 X 30 = 210) hari sekali. (7= jumlah hari/Sapta Wara, 30= jumlah semua wuku).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan
makalah yang sudah penulis selesaikan dapat dikemukakan beberapa simpulan,
yaitu sebagai berikut:
1.
Dalam lontar yang disebut “Keputusan Sunari”
mengatakan bahwa kata Wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti
puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sehingga Wariga adalah jalan
untuk mendapatkan keterangan dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan
memperhatikan hidup matinya hari. Wariga sangat berkaitan dengan Padewasaan,
yang mana Padewasaan ini berasal dari akar kata “Dewasa” atau “Diwasa”
(Sanskreta) yang berarti saat, waktu, jam, tanggal/panglong, hari. Sehingga
padewasan berarti ilmu yang menguraikan tentang cara memilih atau mentetapkan
baik-buruknya hari (ala-ayuning dewasa) berdasarkan sifat-sifat atau watak
sesuatu hari seperti yang termuat di dalam Wariga.
2.
Kata "pagerwesi" artinya pagar dari
besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang
dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau
dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari
untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan
yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. Hari Raya
Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini
dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk
pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta
maupun umat walaka.
3.
Pagerwesi ini adalah salah satu rerahinan
(upacara) yang pelaksanaannya berdasarkan pawukon, bukan sasih. Setiap kali
bertemu dengan hari yang masing-masing memiliki dari Eka-Dasa Wara, wuku dan
urip seperti yang tertulis di atas maka sudah dapat dipastikan itu adalah
Pagerwesi. Dengan dasar yang pasti ini tidak akan menimbulkan perbedaan
pendapat bak dari kaum Brahmana, Ksatria, Waisya maupun sudra itu sendiri.
Semua Warna dapat secara langsung mengetahui pelaksanaannya secara langsung.
3.1
Saran-saran
Berdasarkan makalah yang sudah
penulis selesaikan, ada beberapa saran yang dapat penulis uraikan, antara lain:
1.
Sebagai umat Hindu yang percaya dengan ajaran
Weda, dan salah satunya ajaran Jyotisa, maka setiap tindakan yang kita lakukan
harus selalu bercermin pada ajaran Wariga agar hasil dari setiap tndakan yang
kita lakukan menjadi lebih maksimal.
2.
Para Mahasiswa/i Hindu sebagai masa depan Hindu
selayaknya turut andil dalam menyebarkan pemahaman mengenai Wariga kepada
masyarakat luas, sehingga masyarakat menjadi lebih tahu dan paham mengenai
Wariga tersebut.
3.
Berawal dari penyusunan makalah ini, marilah
bersama-sama mulai untuk menerapkan ajaran wariga, sebab dengan demikian
pemahaman tentang Wariga yang kita peroleh akan lebih mendalam dan hal ini
tidak akan membuat kita hanya bisa teori
saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardhana, I.B. Suparta. 2005. Pokok-Pokok Wariga. Surabaya: Paramita