Tulisan ini
merupakan hasil studi lapangan dalam menyelesaikan tugas kuliah Tattwa yang
diajar oleh ibu Dewi Rahayu Aryaningsih, S.Ag.,M.Ag. Informasi pura ini
diproleh dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang memiliki
keterlibatan dengan keberadaan Pura selain ditambah dengan beberapa informasi
dari sumber yang lain. Baik langsung saja simak tentang sejarah Pura Kaprusan
ini.
Sejarah:
Menurut beberapa sumber yang
saya dapat, perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan
lanjutan dari perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap
berpindah-pindah tempat. Di awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan,
Blambangan, terus ke kawasan Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun
Çaka 1411).
Selain mengelilingi pantai selatan
Pulau Bali, beliau melanjutkan perjalanan spiritual ke kawasan Bali
Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok Batu. Sebelum melanjutkan
perjalanannya ke Pulau Lombok, ditempat yang terakhir itulah Dang Hyang
Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu
yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau
itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok, perjalanan Dang
Hyang Dwijendra dari Pojok Batu (Bali)
menuju ke pulau Lombok dan beliau berlabuh di daerah malingbu, kata malingbu
berasal dari kata “malbhu” yang berarti melabuh. Setelah itu beliau berjalan
menyusuri pinggiran pantai menuju kearah selatan dan beliau melihat laut yang
muncrat ditebing pinggir pantai lalu beliau melakukan semadhi ditempat pura
tersebut dan kemudian beliau menepatkan batu di pojok selatan areal pura, batu
tersebut disebut batu kapurusa. Setelah itu baru di bangunlah pura kaprusan
tersebut oleh masyarakat di sana terutama Mangku Nanggeng dan Mangku Wayan Arta.
Mangku Arta salah satu yang merupakan pemangku yang sehari-hari siap melayani
umat tangkil ke pura itu. Kata beliau, keberadaan pura itu memiliki nilai
sejarah dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra
yang usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau yang disebut
pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu Rauh. Kemudian beliau melanjutkan
perjalananya sampai di Batu Belong, pertama kali memasuki kawasan Tanjung ukur
dan Kapurusan. Dan melanjutkan ke
lingsar dan suranadi.
Ikhwal yang paling
menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali
maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam
bentuk Padmasana sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Pencipta). Dikatakan berbeda peruntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya
berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa. Disamping
mengenai sejarahnya, mangku arta juga mengatakan bahwa pura kaprusan telah
melakukan pembugaran dengan dipelaspas oleh perande Ketut Rai. Pada tahun 2010
dilakukan perenovasian untuk pelinggih gunung agung yang di puput oleh perande
Subali Tegeh.
Pada pura kaprusan ini ada beberapa
pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna Asta atau Pelinggih Dang Hyang
Dwijendra, pelinggih Gunung Agung, Linggam, pelinggih tempat Pertirtaan, dan
pelinggih tempat Pelukatan. Selain terdapat pelinggih tersebut juga terdapat
adanya Bale Pekemitan atau Pesandegan dan Bale Pawedaan. Untuk dapat masuk ke
pura kaprusan kita harus melewati anak tangga yang menurun panjang dari candi
pelawangan menuju utama mandala. Sebelum masuk utama mandala terdapat pelinggih
yang di sebut pelinggih Pertirtaan dan dibawah pinggir pantai terdapat
pelinggih Pelukatan. Setelah masuk ke utama mandala terdapat tiga pelinggih yaitu pelinggih Bhatara Baruna
Asta atau Pelinggih Dang Hyang Dwijendra, pelinggih Gunung Agung dan Linggam.
Bangunan lain yang terdapat di utama mandala yaitu Bale Pawedaan dan Bale
Pekemitan. Pura Kaprusan ini diempon
oleh empat dusun yaitu Dusun Kerandangan, Batu Layar, Tanah Embet Barat dan
Tanah Embet Timur.
Pujawali
atau piodalan di pura kaprusan jatuh pada purnamaning sasih sada yang
dilaksanakan satu tahun sekali. Dimana satu hari sebelum
acaranya, masyarakat disana membuat atau menghias penjor dan membersihkan pura
tersebut. Kemudian pada puncak acaranya yaitu pagi mesesapun atau melukat dan
memargiang prayascita dan jam 4 melaksanakan nuhur tirta setempat, lalu
melakukan persembahyangan pujawali dan ngelukar atau ngeluarkan yang di puput oleh perande. Seperti yang kita ketahui pada umumnya, umat hindu dalam
melaksanakan upacara selalu identik dengan daging babi tetapi berbeda dalam
pura kaprusan, dimana daging babi tidak diperbolehkan dalam pujawali pura
kaprusan. Namun bagi masyarakat yang makan daging bali tetap bisa melakukan
persembahyangan dengan terlebih dahulu menyucikan diri yang dikenal dengan nama
melukat. Selain aturan tersebut, pura kaprusan juga memiliki peraturan yang
sama seperti pada umumnya yaitu bagi wanita yang sedang haid tidak boleh
memasuki area utama mandala serta tidak bolehnya juga memakai celana dengan kata lain harus memakai kain dan selendang. Disamping adanya peraturan, pura kaprusan juga memiliki hal-hal
yang unik seperti adanya sebuah linggam dan air yang muncrat dipinggir pantai
sehingga terdengar deburan air yang ramai yang semakin membuat pura kaprusan terlihat indah.
Tulisan ini adalah karya teman Saya Ni Ketut Feriani, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar