Latihan Moral (Moral Training) dalam Yoga

Moralitas adalah dasar dari ketinggian spiritual, namun bukanlah puncak tujuan hidup rohani, dengan dasar pijakan moral yang luhur serta melanjutkan tujuan perjuangan mencapai kesadaran tertinggi akan diraih (Kamajaya, 1998: 45). Yama (keseimbangan sosial) dan Niyama ( Penyatuan pribadi) merupakan prasyarat yang sangat diperlukan dalam yoga sebagai latihan moralitas sebagai unsur kemurnian “suci nirmala tan keneng papa klesa”.
Karena Yama dan Niyama membangun kualitas moralitas spiritualitas dengan berkesinambungan abadi dalam Brahman. Yama adalah pengendalian diri yang awal dan menampakkan pengendalian diri dalam penampilan lahir. Yama dibagi atas lima bagian. Dengan bagian-bagiannya ini maka yama menjadi panca yama, sebagai berikut.
            Ahimsā satyāsteya brahmacaryāparigrahā yamāh. Yogasūtra.II.30).

Terjemahan:

Yama (pengekangan diri) terdiri dari tanpa kekerasan (Ahimsā),kebenaran (satya), tiada mencuri (asteya), pembunjangan (selibat: brahmacari), dan ketiadaan keserakahan  (aparigraha).

Menurut Yogasūtra, Niyama juga memiliki lima aspek: pemurnian, kepuasan, malu, pembacaan suara suci, dan menyembah makhluk ilahi. Ajaran ini merupakan kewajiban harian menuju kesucian untuk datang kepada Tuhan. Praktik-praktik ini berkaitan dengan perilaku pribadi seseorang, berbeda dengan moralitas sosial yang merupakan dasar dari ketaatan Yama. Dengan melaksanakan ajaran ini baikbaik orang akan dapat menemukan dirinya sendiri, karena kabut kegelapan dunia menipis. Niyama terdiri dari lima bagian seperti tersebut dalam Yogasūtra Patañjali (dalam Saraswatī, 2005: 290) sebagai berikut.
auca satoa tapa swādhyāyeṡwara praṇidhāni niyamaḥ
(Yogasūtra, II. 32).

Terjemahan :

Pemurnian internal dan eksternal (auca), kepuasan (kesejahteraan; Satoa), kesederhanaan (tapa); belajar sendiri (swādhyāya), dan penyerahan dari pada Tuhan (Īṡwara praṇidhāna) semuanya ini termasuk kepatuhan yang mantap (Niyama).

Yama dan niyama sadhāna telah menggariskan ideologi moral sedemikian rupa sehingga mampu menumbuhkembangkan, dan melengkapi manusia dengan daya kemampuan serta inspirasi untuk bergerak maju di dalam jalan kerohanian moralitas tergantung daripada daya upaya untuk menjaga keseimbangan mental sesuai dengan waktu, tempat dan pribadi. Dengan demikian, akan terdapat keanekaragaman kode moral, namun sasarannya yang terakhir adalah tercapainnya kebahagiaan tertinggi yang sama sekali bebas dari hal-hal yang bersifat relatif. Mereka yang mantap dalam Yama dan Niyama akan cepat maju dalam melaksanakan Yoga pada umumnya. Dengan yama dan niyama seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi (kesucian hati). Sesuai dengan pandangan weber tentang historis moralitas manusia, setiap kelahiran kedunia dia selalu membawa dua hal yang dikotomi atau paradoks. kecendrungan manusia menyikapi hidup dan kehidupannya menuju ke arah evolusi yang akan menghantarkan setiap karma akan menuju keranah kebaikan, penyempurnaan, pemuliaan dan pada akhirnya akan mencapai pembebasan. Sedangkan ranah degradasi kecendrungan setiap karma akan berbuah pada keburukan bahkan ada dalam titik nadir kegelapan hidup. Manusia dalam ranah spiritualitasnya berpegang teguh kepada prinsip kemurnian moral dalam rangka membangkitkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya melalui latihan yoga. Disinilah aspek kebudayaan memiliki peran penting sebagai penanaman nilai-nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan (nilai estetika), kemerdekaan (nilai politik), persaudaraan (nilai keagamaan) dan seterusnya. Dengan demikian, empat prinsip yang harus diikuti oleh praktisi yoga dalam kehidupan sehari-hari menurut Patañjali yaitu maītri (memperlakukan semua umat manusia sebagai teman dan memperlakukan penuh cinta kasih), karuna (belas kasih), muditā (tersenyum) dan upeksa (menghindar dari orang yang jahat/ tidak baik dan tidak melawan dengan jalan kekerasan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar