BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan
dengan beragam tradisi dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke. Tiap daerah walaupun dengan
agama yang sama memiliki warisan leluhur berupa tradisi, adat istiadat dan budaya yang berbeda disesuaikan dengan
sukunya masing-masing. Semua tradisi dan budaya yang ada itu baik, sama-sama
mengarah pada peningkatan kualitas diri serta menjaga keharmonisan di segala
bidang yang dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
Konsep Tri Hita Karana ini begitu kental
dengan kehidupan umat Hindu terkhusus Hindu Bali, menjaga hubungan yang
harmonis dengan sesama, dengan lingkungan dan tentunya dengan sang pencipta
yang maha agung. Dengan pelaksanaannya diharapkan semua lapisan kehidupan dapat
berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Dan kembali ditekankan semuanya tidak
lepas dari tradisi dan budaya. Bali merupakan pulau yang penuh dengan budaya
dan tradisi. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber
pada ajaran agama hindu. Kebudayaan masyarakat Bali masih sangat kuat sehingga
kegiatan-kagiatan yang di lakukan oleh masyarakat Bali bargantung pada budaya
yang ada. Adapun tradisi-tradisi yang sering kita dengar di antaranya : tradisi
mekepung (Negara), tradisi megibung (Tabanan), tradisi dawang-dawang
(Buleleng), tradisi Omed-omedan
(Sesetan) dan masih banyak tradisi lainnya
.
.
Pada kesempatan ini kami akan membahas
salah satu dari tradisi yang ada di Bali sebagai topik permasalahan yaitu
tradisi Omed-omedan yang ada di
Br.Kaje Sesetan. Penulis mengambil tradisi ini sebagai topik permasalahan
karena tradisi ini merupakan tradisi
yang sangat terkenal di Bali khususnya di Denpasar dan bahkan sampai ke luar
daerah Bali. Tradisi ini sangatlah unik dan banyak orang tertarik untuk ingin
mengetahuinya. Karena itu Omed-omedan
merupakan Ikon Budaya dan Pariwisata Denpasar.
Tradisi Omed-omedan yang begitu unik menimbulkan banyak pro dan kontra
dikalangan masyarakat, ada yang berpendapat itu hal wajar dalam sebuah tradisi,
ada pula yang berpendapat mengapa melakukan sentuhan fisik berbeda jenis
kelamin dibudayakan terlebih untuk kaum muda mudi. Atas dasar inilah penulis
merasa termotivasi untuk lebih mencari nilai kebenaran yang ada dikaitkan
dengan nilai-nilai dalam kitab suci Weda melalui penulisan makalah dengan judul
“Implementasi Ajaran Weda dalam Tradisi Omed-omedan”
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang sudah diuraikan, ada beberapa rumusan masalah yang dapat
penulis uraikan, antara lain:
1.
Bagaimana Kaitan Weda dengan tradisi Hindu?
2.
Mengapa tradisi Omed-omedan dilaksanakan?
3.
Bagaimana implementasi ajaran Weda dalam tradisi
Omed-omedan?
1.3 Tujuan Penulisan
Berkaca dari latar
belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai dari penulisan makalah ini, yakni:
1. Agar
pembaca dan penulis mengetahui apa pengertian Weda.
2. Agar
pembaca dan penulis mengetahui dasar pelaksanaan tradisi Omed-omedan.
Agar pembaca dan penulis
mengetahui implementasi ajaran Weda dalam tradisi Omed-omedan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Weda
Weda
adalah kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi
Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran
Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat
panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha
Esa. Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa
sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu
pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang
Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab
suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran
intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat
nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah
Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal
dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa
Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda
disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini,
yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang
sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta. Sebelum
nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda
dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis
penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh
Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula
oleh Rsi Wararuci.
Pembagian
dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang
mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan
materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu
membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan
Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku
yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh
menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi
maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda
Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber
dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak
bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber
ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka
berikut ini mempertegas pernyataan di atas.
“Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerth,
te sarrtheswamimamsye tab
hyam dharmohi nirbabhau.” (M. Dh.11.1o).
Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti
itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun
juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu.
(Dharma)
“Weda khilo dharma mulam
smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadhunam
atmanastustireqaca.” (M. Dh. II.6).
Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama
dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila
(kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan
kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi
(rasa puas diri sendiri).
Srutir wedah samakhyato
dharmasastram tu wai smrth,
te sarwatheswam imamsye
tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).
Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti
itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan
dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka
tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang
kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus
dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=29,
10 Desember 2013)
2.2
Pengertian Tradisi
Tradisi
(Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang
paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa
adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Hal yang paling mendasar dari tradisi
adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang turun
temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul
semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik
untuk menyelesaikan persoalan.
Biasanya
sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum
ada alternatif lain. Misalnya dalam acara tertentu masyarakat sangat menggemari
kesenian rabab. Rabab sebagai sebuah seni yang sangat digemari oleh anggota
masyarakat karena belum ada alternatif untuk menggantikannya disaat itu. Tapi
karena desakan kemajuan dibidang kesenian yang didukung oleh kemajuan teknologi
maka bermunculanlah berbagai jenis seni musik. Dewasa ini kita sudah mulai
melihat bahwa generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak lagi mengenal
kesenian rabab. Mereka lebih suka seni musik dangdut misalnya. (http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/definisi-dan-pengertian-tradisi.html,
5 Desember 2013)
Tradisi
biasanya sangat disesuaikan dengan suku dan ras suatu bangsa. Antar suku satu
denga suku yang lain biasanya memiliki tradisi yang berbeda yang disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Dengan adanya komunikasi yang
baik dari generasi ke generasi dalam sebuah suku atau bangsa tertentu maka
tradisi akan tetap ajeg dan warisan
adi luhung nenek moyang akan terjaga.
2.3
Kaitan Weda dengan Tradisi Hindu
Weda
sebagai Kitab Suci Agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber ilmu. Tidak
ada hal di dunia ini yang tidak bersumber dari Weda, termasuk tradisi. Intisari
Tradisi Hindulah Weda itu, sehingga semua tradisi Hindu tidak boleh
bertentangan dengan Weda. Sebuah Sloka menyebutkan,
“Idanim daharma pramaanaanyaa.
Vedo'khilo dharma mulam.
Smrtisile ca tadvidam.
Acarascaiva saadhuunaam
Aatmanastustireva ca.”
Maksudnya:
Sruti (sabda Tuhan) sumber pertama dari Dharma
(agama), kemudian Smrti (Sastra Veda), Sila (pedoman tingkat laku) Acara (Veda
yang telah ditradisikan oleh masyarakat) dan akhirnya mencapai kepuasan Atman.
Sloka kitab suci Manawa
Dharmasastra yang dikutip ini menunjukkan bagaimana cara melihat persamaan dan
perbedaan penampilan tradisi Hindu dalam kehidupan beragama baik di tingkat
daerah, nasional maupun global. Bentuk luar dari agama Hindu selalu
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Apalagi, tradisi
Hindu di antara satu negara dengan tradisi Hindu di negara lain pasti
berbeda-beda. Ini disebabkan keberadaan struktur budaya dan sosial satu daerah
dengan daerah yang lain itu berbeda-beda.
Berdasarkan Sloka di atas, Hindu
kalau dilihat dari Veda Sruti, Smrti dan Sila akan selalu sama. Tetapi kalau
sudah sampai di tingkat Acara (tradisi Hindu) dan Atmanastusti (kepuasan
rohani) masing-masing umat akan penuh dengan perbedaan. Perbedaan itu berupa
bentuk luarnya atau kemasan budayanya. Bagi mereka yang kurang paham dengan
sistem dan pengalaman, memandang agama Hindu di satu daerah dengan daerah
lainnya itu berbeda-beda secara total. Bahkan, para ilmuwan empiris sering
membeda-bedakannya secara mutlak bahkan perbedaan itu dipertentangkan.
Seolah-olah agama Hindu di Bali dan di Jawa atau di India berbeda-beda.
Sesungguhnya agama Hindu itu di mana-mana sama.
Persamaan Hindu itu hendaknya
dilihat dari sudut esensinya. Semua tradisi Hindu bersumber dari Weda. Mengapa
Hindu itu bentuk luarnya selalu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah
lainnya? Karena sistem penerapannya itu mengajarkan harus disesuaikan dengan
Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Dalam penerapannya, tidak boleh bertentangan
dengan Tattwa. Tattwa itu adalah intisari kebenaran Weda. Pedoman penerapan
agama Hindu ini sudah sering diungkapkan dalam media ini. Karena keberadaan
Iksha, Sakti, Desa dan Kala itu selalu berbeda-beda, di mana pun Hindu selalu
menampilkan tradisi yang berbeda-beda juga.
Jika dibedah isinya di mana pun
Hindu itu pasti sama isinya yaitu Tattwa kebenaran menurut Weda. Dalam kutipan
Sloka Manawa Dharmasastra di atas tergambar bahwa Weda Sruti sabda Tuhan itu
dijabarkan ke dalam Dharmasastra atau Smrti. Dari Smrti ini terus dijabarkan ke
dalam Sila, bentuk tingkah laku yang sangat banyak dijumpai pada cerita Itihasa
dan Purana.
Di dalam ceritra Itihasa dan Purana
kita akan mendapatkan banyak sekali cerita tentang Sila. Ada Sila atau tingkah
laku yang patut diteladani ada tingkah laku yang tidak patut ditiru. Kalau kita
umpamakan Weda itu sebagai makanan. Intisari makanan yang dibutuhkan oleh umat
manusia seisi dunia ini sama. Semua manusia membutuhkan karbohidrat, protein,
lemak, vitamin dll. Namun bentuk makanan yang dimakan sangat berbeda-beda dan
tergantung pada budaya setempat. Misalnya karbohidrat. Ada yang menggunakan
nasi, ada sagu, ada roti, ada jagung, dll. Demikianlah ajaran Hindu itu bentuk
pengamalannya berbeda-beda, namun yang diamalkan adalah tetap Sanatana Dharma
intisari Weda. Misalnya di dalam Weda diajarkan untuk memenangkan Dharma dalam
pertarungan kehidupan ini.
Salah satu cara untuk menanamkan
sikap hidup memenangkan Dharma itu melalui hari raya agama. Hari raya
mengingatkan umat Hindu memenangkan Dharma adalah hari raya Galungan dan
Kuningan. Ilustrasi ceritranya soal menangnya Dewa Indra melawan Maya Danawa. Sementara
di India, hari raya Galungan sama dengan hari raya Wijaya Dasami. Kata Galungan
sama artinya dengan Wijaya. Di India Utara perayaan Wijaya Dasami itu ilustrasi
ceritranya menangnya Sri Rama melawan Rahwana. Versi India Selatan menangnya
Dewi Durgha melawan Raksasa Mahesasura. Di Bali ada upacara melasti dan Nyepi,
di India ada upacara Kumbha Mela yang kegiatannya meliputi Nagasankirtan
(melasti) dan dilanjutkan dengan Nyepi.
Di Bali ada Tumpek Wariga, di India
ada hari raya Sangkara Puja. Di Bali ada Tumpek Landep, di India ada Ayudha
Puja. Sesungguhnya banyak sekali contoh yang dapat dikemukakan mengenai
persamaan esensi Hindu dan perbedaan kemasan budayanya. Demikian juga Hindu di
Indonesia antara budaya Hindu di Bali bentuk luarnya dengan Hindu di Jawa,
Kaharingan, di Batak Karo, Tengger sangat berbeda. Namun kalau dibedah pasti
akan dijumpai kesamaan tattwa-nya. Seperti upacara Tiwah di Kaharingan, upacara
Pitra Yadnya di Jawa dan Bali Tattwanya sama persis.
2.4
Tradisi Omed-Omedan
Terkait
dengan adanya keanekaragaman tradisi dalam umat Hindu tidak lepas dengan Bali.
Di Bali agama Hindu merupakan nafas kebudayaannya, yang mana inti ajarannya
adalah Sanatana Dharma, yaitu Satyam, Siwam, dan Sundaram, artinya Bali dibangun dengan cara menegakkan kebenaran
dan kesucian yang dimiliki oleh budaya masyarakat, landasannya adalah
keharmonisan dan keindahan serta dengan falsafah hidup yang berkesinambungan
yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu aktivitas yang
merupakan unsur kebudayaan telah dilakoni oleh masyarakat Banjar Kaja,
Kelurahan Sesetan ialah tradisi Omed-Omedan
sebagai cara untuk ikut melestarikan budaya Bali. Tradisi ini sejak tahun
1980-an dilaksanakan pada hari raya Ngembak
Geni (sehari setelah Nyepi). Yang
mana kata Omed-Omedan atau yang
sering disebut dengan Omed-omedan
secara harfiah dapat diartikan dengan “tarik-tarikan” atau “tarik-menarik” (Munggah,
2008: 41).
Omed-Omedan merupakan tradisi yang
dilakoni anak-anak muda. Remaja perempuan dan lelaki berbaris satu barisan yang
saling berhadap-hadapan. Dari barisan lelaki dan perempuan, yang akan melakukan
ritual Omed-Omedan akan digendong.
Keduanya lalu dipertemukan. Mereka berciuman. Ciuman mereka terhenti ketika
para tetua adat membunyikan pluit dan menyiramkan air (http://www.balilivatour.com/beritabali.php?id=34,
25 November 2013). Jika dipikir secara logika memang tradisi ini terbilang aneh
dan unik, namun begitulah kenyataan. Walaupun bagaimana orang-orang berpendapat
tradisi ini terus dilestarikan dan bahkan mengundang ketertarikan banyak pihak
termasuk wisatawan lokal maupun mancanegara.
2.4.1
Peserta dan Tata cara dilakukannya Omed-omedan.
Omed-omedan
di ikuti oleh puluhan anggota Sekaha Teruna-teruni (perkumpulan pemuda pemudi)
Satya Dharma Kerthi Banjar Kaja Sesetan. Acara diawali dengan persembahyangan
bersama, dan dilanjutkan pementasan tarian barong bangkal (barong berkepala
babi) sampai penarinya kesurupan–tanda bahwa acara ini mendapat izin dari Ida
Bathara yang berstana (bersemayam) di Pura Banjar.
Sekaha Teruna-teruni dibagi dalam
dua kelompok. Sekaha Teruna (laki-laki) berdiri di satu sisi, dan anggota
Sekaha Teruni (perempuan) berada di sisi lain. Setiap kelompok terdiri dari
sekitar 30 remaja. Keduanya terpisah jarak sekitar 100 meter.
Dalam acara Omed-omedan ini adapun
sejumlah petugas adat yang ditunjuk untuk mengatur acara meniup sempritan.
Setelah Aba-aba diberikan, segera kemudian kedua kelompok saling berlari ke
arah lawannya. Masing-masing mendorong seorang remaja yang diberi kesempatan
pertama untuk saling berciuman, untuk kemudian ditarik secepat mungkin.
2.4.2
Perubahan Pelaksanaan hari Omed-Omedan
Sejak
tahun 1980-an karena adanya pengaturan, penataan dan pembinaan umat Hindu
secara profesional oleh Parisada Hindu Dharma (Pusat), hari Nyepi benar-benar
dilaksanakan sipeng selama 24 jam dan
keesokan harinya pada Ngembak Geni
dirayakan sesuia dengan isi Himpunan
Keputusan Seminar Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV. Jadi hari Ngembak Geni sejak saat itu diperingati
sebagai hari raya dengan acara utama masima
krama atau dharma santi dan
dilanjutkan dengan melaksanakan tradisi Omed-Omedan
sebagaimana yang disaksikan orang seperti sekarang setiap tahunnya (Munggah,
2008: 33).
2.4.3
Proses Terjadinya acara Omed-Omedan
Beberapa
puluh tahun setelah diadakan reorientasi penataan pelaksaaan tradisi Omed-Omedan, kira-kira di sekitar tahun
1984-an, para tokoh masyarakat di Banjar Kaja kelurahan Sesetan yang dipelopori
beberapa orang merencanakan meniadakan tradisi Omed-Omedan. Dasar pemikiran mereka pada waktu itu ialah
masyarakatnya terdiri atas banyak anak muda yang sebagian besarnya adalah
anak-anak pelajar/mahasiswa dan di samping itu ada dirasakan cemohan, bahwa
anak-anak muda-mud di Banjar Kaja, Sesetan mengadakan hiburan dengan variasi
cium-ciuman di depan umum.
Terhadap
cemohan seperti itu I Gusti ngurah Oka Putra, selaku salah seorang tokoh
masyarakat, pemegang andil besar dalam berlangsungnya Omed-Omedan dan salah seorang pewaris keturunan tokoh Puri Oka di Desa Sesetan dengan tegas
menolak tudingan miring tersebut dan mengatakan, “kami warga Banjar Kaja,
Kelurahan Sesetan sangat menolak tudingan miring yang mencemohkan warga kami.”
Setelah
menepis tudinagan itu, beliau berkomentar lebih lanjut, “gesekan anak-anak muda
dalam pergulatan Omed-Omedan itu
mungkin saja terjadi, tetapi rencana untuk bercium-ciuman sama sekali tidak
pernah ada dan malahan Prajuru Banjar
dalam setiap arahan dan nasihatnya selalu mengingatkan para peserta Omed-Omedan agar menghindari kesengajaan
opersentuhan muka dengan lawan bermainnya.” (Munggah, 2008: 34)
Pada
suatu saat ngembak geni di
tempat.arena Omed-Omedan pernah
dipasang pengumuman bahwa “Omed-Omedan
hari ini ditiadakan”. Walaupun dipasang pengumuman seperti itu, warga
masyarakat dan para penonton dari luar Bajar Kaja, sesetan, tetap datang dan
berjubel di tempat yang biasanya diadakan Omed-Omedan.
Saat itu tidak ada yang tahu, dari mana datangnya, di tengah-tengah kerumunan
orang yang demikian banyak itu, terjadilah perkelahian dua ekor babi. Tak lama
seorangpun mampu memisahkan kedua babi yang sampai berdarah-darah itu.
Berdasarkan
keajaiban terakhir ini, segera para prajuru
Banjar dan tokoh masyarakat di tempat itu bermusyawarah untuk merembugkan
tentang kejadian itu dan menganalisis apa kira-kira yang akan terjadi akibat
peristiwa itu. Keputusan yang dihasilkan dari musyawarah itu ialah, bahwa
tradisi Omed-Omedan diadakan lagi
sampai selesai seperti biasanya. (Munggah, 2008:35)
Alternatif
Spiritual
Berdasarkan
atas dua keajaiban yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat setempat dengan
logika dan akal pikiran, maka tokoh-tokoh tersebut mencari alternatif lain
yaitu menempuh jalan spiritual. Para tokoh adat/agama Banjar Kaja, mohon
petunjuk kepada orang yang kesurupan (mapinunas)
di Pura Bale Banjar pada suatu hari piodalan setempat tentang kejadian yang
dianggap aneh/menakutkan yaitu terjadinya perkelahian babi yang berdarah-darah
pada saat ngembak geni yang lalu.
Jawaban singkat diberikan oleh yang kerauhan
bahwa Omed-Omedan itu adalah kehendak
sesuhunan yang berstana di pura Bale Banjar dan harap terus
dilaksanakan.
Selanjutnya kini masyarakat di
Banjar Kaja berketetapan hati meneruskan, melestarikan dan mengembangkan
tradisi Omed-Omedan agar lebih rapi
dan menjadi lebih sempurna untuk diwariskan kepada generasi pelanjut mereka.
(Munggah, 2008: 35-36)
2.5
Implementasi ajaran Weda dalam Tradisi Omed-Omedan
Perdebatan Bali
sentris atau India sentris seyogianya tidak terjadi apa bila pemahaman akan
konsep penerapan ajaran Hindu itu dipahami secara mendalam dan tuntas. Tujuan
Weda disabdakanTuhan bukan untuk menghilangkan identitas ciptaanNya. Weda
disabdakan justru untuk menguatkan dan mengeksistensikan identitas jati diri
semua ciptaanNya untuk memberi makna atas kehadiranya di bumi ini. Penerapan
ajaran suci Weda di muka bumi ini bukan untuk membuat manusia dan masyarakat
menjadi seragam dimana Weda dianut. Bukan pula untuk menghilangkan perbedaan
yang merupakan kodrat alami ciptaan Tuhan. Penerapan Weda tidak dengan menghilangkan
apa yang ada di muka bumi ini. Weda disabdakan justru untuk meningkatkan aspek purity atau kemurnian dari apa yang
tercipta. Tanah, air, udara, panas dan ether terlindungi tak tercemar kemurniannya.
Weda
memang turun disabdakan di India, namun demikian tidak ada suatu keharusan umat
Hindu di luar India harus seperti di India. Abad ke 4 M, Weda dianut di
Kalimantan. Kemudian Hindu dianut di Jawa, terus ke Bali dan menyebar ke
berbagai wilayah di Nusantara bahkan sampai keluar Nusantara. Proses penyebaran
Hindu di berbagai wilayah tidak meng-India-kan wilayah tersebut. Kalimantan dibangun
menjadi Kalimantan yang semakin bernilai plus. Di Kalimantan ada peninggalan
Yupa Yadnya dan ada Upacara Tiwah bagi Suku Kaharingan di Kalimantan seperti
Upacara Atiwa Tiwa dalam Pitra Yadnya di Bali.
Demikian
juga setelah agama Hindu dianut di Bali, berbagai potensi Bali dieksistensikan
oleh Agama Hindu, sehingga adat istiadat Hindu pun di Bali menjadi adat
istiadat yang adi luhung. Hal ini sangat jelas terekam dalam berbagai
kepustakaan dan arsitektur spiritual Hindu di Bali. Ini artinya, Kalimantan,
Jawa, Bali dan daerah lainya tidak di-India-kan. Bali justru lebih di Bali-kan
oleh agama Hindu. Kalau ada hal-hal yang positif di mana pun asalnya, tentunya
sah-sah saja diambil untuk menguatkan dan memperkaya adat istiadat Hindu
setempat, asal tidak menyimpang dari Tattwa-nya, Weda kitab suci Hindu. Karena
itu wacana India sentris maupun Bali sentis tidak perlu membuat umat Hindu
saling mencurigai. Adanya akulturisasi kebudayaan termasuk kebudayaan yang
dijiwai oleh Agama Hindu tidak perlu dirisaukan dan dibuat berdikotomis, apalagi
dalam jaman kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun demikian lembaga yang
mengurusi bidang keagamaan ini tetap berkewajiban untuk mendorong terciptanya
iklim berbudaya dan beradat istiadat Hindu yang damai dan toleran. Dengan
demikian Hindu akan meng-India-kan India, menjadi India yang lebih baik, Jawa
menjadi Jawa yang semakin baik, Bali menjadi Bali yang semakin baik dan mulia.
(http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati-diri.html,
15 Desember 2013)
Beranjak
dari sudut pandang tersebut, kemudian dikaitkan dengan tradisi Omed-omedan yang tumbuh dan berkembang
di tengah-tengah masyarakat yang ada di Banjar kaja, sesetan. Tradisi ini
mungkin oleh sebagian orang yang tidak mengerti atau paham secara mendetail
tentang bagaimana ajaran Weda yang sesungguhnya akan dilihat sebagai sebuah
tradisi yang aneh, melenceng dari norma atau bahkan disebut porno aksi. Sesungguhnya tidak ada
harapan seperti tersebut, murni tradisi dilaksanakan karena terdapat nilai plus
yang membuat Bali semakin Bali dengan adanya kombinasi antara ajaran Hndu yang
tertuang dalam kitab suci Weda dan tradisi yang ada. Hal ini bisa dibuktikan
dengan penjelasan tentang bagaimana Omed-Omedan
tersebut (Dalam http://paduarsana.com/2012/08/01/omed-omedantradisi-vs-porno-aksi/)
oleh Pakula Warga Sesetan, antara lain: Bendesa Desa Pakraman Sesetan, Ir. I
Wayan Megananda, Ms.Ars; Klian Adat Banjar Kaja Sesetan, I Wayan Sunarya; Kepala
Lingkungan Banjar Kaja Sesetan, I Gede Semara, S.E. yaitu:
1.
Masyarakat Banjar Kaja Sesetan melakukan
tradisi Omed-omedan ini demi mencapai
kenyamanannya dalam menapak kehidupan yang lebih harmonis, setidaknya pada
tatanan keluarga, banjar, dan desa. Tradisi ini dilakukan sehari setelah Nyepi
(Ngembak Geni). Kalau toh orang luar ikut berperan serta, itu ada aturan
prosesi yang harus diikuti karena kegiatan ini mengandung nilai spiritual
magis, dan hanya bisa dirasakan oleh pelakunya.
2.
Omed-omedan
dilakukan bukan secara paksa. Pelakunya semua merasakan itu adalah kewajiban
yang harus dilakukan dan prosesinya harus melakukan persembahyangan bersama
terlebih dulu.
3.
Pandangan kami terhadap tradisi itu
adalah yang di Bali disebut dresta, yang juga berupa aturan di masyarakat Desa
Sesetan yang disebut dengan Catur Dresta: Purwa Dresta (aturan-aturan masa
permulaan), Desa Dresta (aturan menurut keadaan desa setempat), Sastra Dresta
(aturan menurut ajaran yang tersebut di dalam kitab), Loka Dresta (aturan menurut
keadaan zaman). Alasan lainnya, konsekuensi praktis dari agama sejati adalah
kehidupan yang diabadikan untuk memenuhi kehendak Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, yang terimplementasi pada ajaran Catur Guru.
4.
Mengenai warga negara asing (Taiwan,
bukan Jepang) yang ikut dalam prosesi, dia itu adalah seorang artis. Memang dia
sendirilah yang memohon supaya diizinkan untuk ikut dan dia mau mengikuti
sesuai dengan aturan prosesinya.
5.
Mengenai tujuan komersial buat
turis-turis asing, sampai saat ini dari pihak-pihak penyelenggara praktik ke
arah itu tidak ada. Kegiatan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh warga Teruna-Teruni Satya Dharma Kerti, Banjar Kaja, Desa Sesetan, untuk
menangkal hal-hal negatif yang mungkin akan bisa menimpa warganya bila prosesi
itu tidak dilaksanakan.
6.
Mengenai tidak diperbolehkannya
melakukan adegan seperti itu menurut ajaran agama, kami lebih tepat tidak
berkomentar. Alasannya, kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang Bhineka Tunggal Ika yang berbeda-beda agama dan suku. Sedangkan dalam satu
agama pun tumbuh perbedaan penafsiran. Kami harapkan hal ini bisa dimaklumi.
7.
Tradisi ini sudah diangkat dan dikaji
dalam sebuah tesis oleh I Made Munggah, 2007, pada Program Studi Magister (S2)
Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, telah diuji dan
disetujui selanjutnya mendapat pengesahan sesuai dengan tata tertib sebuah
karya ilmiah.
8.
Mengenai kesucian hari Nyepi, pada hari
penyepian, warga kami, sebagaimana umat Hindu lainnya juga melaksanakan Catur
Brata Penyepian (empat pengendalian diri pada saat Nyepi): amati karya (tidak
melakukan pekerjaan), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelanguan (tidak
bersenang-senang), amati lelungan (tidak melakukan perjalanan).
Jadi dari bukti tersebut, tradisi Omed-omedan dibenarkan dalam Weda, tidak
ada pelencengan yang terjadi. Tradisi tetaplah warisan adi luhung yang patut
kita jaga kelestariannya. Tetapi yang membuat tradisi menjadi terkadang
seakan-akan sangat salah adalah manusia sebagai pribadi yang berkembang.
Manusia selalu ingin mengekplorasi kemampuan yang ada dalam dirinya, apabila
itu diberlakukan untuk hal positif, sungguh mulialah hasil yang akan diterima.
Akan tetapi ketika seorang manusia menggunakan kreatifitasnya untuk
memodifikasi tradisi yang ada adalah sebuah kesalahan besar. Terkait dengan
tradisi Omed-omedan ini, mengapa
tradisi yang bersifat lokal bisa dijadikan sebuah Festival? Inilah yang salah. Dengan
alasan menarik wisatawan, membuat kebanggaan atau lainnya, hasilnya ketika para
pelaku terlena maka akan terjadi penyimpangan dari harapan awal tradisi itu
diadakan.
Omed-omedan
bukanlah ajang tahunan para muda-mudi di Banjar kaja, Sesetan untuk malakukan
cium-ciuman di depan umum. Ini adalah ajang mesima krama antar pemuda dan
pemudi desa setempat agar selalu tercipta keharmonisan. Keakraban di antara
mereka supaya terjalin dengan murni, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan
yang tidak mengenakkan. Dengan rutin mesima krama setiap tahunnya, maka
masyarakat Bali yang harmonis berawal dari muda-mudi perlahan akan terwujud,
sebagai implementasi ajaran Tri Hita Karana khususnya bagian pawongan.
Bali tidak men-copy-paste tradisi yang ada di India, tetapi Bali menjadi lebih
Bali dengan akulturasi ajaran Hindu
dengan tradisi lokal. Weda tidak pernah menyalahkan tradisi yang berkembang,
walaupun terkadang ada tradisi yang seakan-akan menyimpang dari etika. Atas hal
tersebutlah maka tradisi Omed-omedan dapat
dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Weda, apabila tradisi masih berlangsung
tidak menyimpang dari tujuan awal tradisi diadakan.
Berbicara kitab suci Weda dan
tradisi Omed-omedan harus ditemukan
bagaimana keterkaitannya dan implementasi Weda dalam tradisi seperti apa. Pada
dasarnya penerapan inti sari Weda agar sukses atau disebut Dharma siddhiyarta
dalam Manawa Dharmasastra VII.10 harus diterapkan dengan lima dasar
pertimbangan. Lima pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala, dan Patra mengemas
Tattwa Weda yang Sanatana Dharma itu. Iksha adalah pandangan masyarakat
setempat, di mana Weda dianut. Sakti artinya kemampuan, Desa artinya norma suci
yang berlaku di daerah setempat dan Kala artinya waktu. Di setiap daerah
memiliki Iksha, Sakti, Desa, Kala, dan Patra yang berbeda-beda dengan mengemas
Tattwa Weda yang sama. Weda itu diterapkan dengan kemasan luar yang
berbeda-beda. Karena itu Hindu dimanapun berada, maka kemasan luarnya akan
berbeda-beda, tetapi intinya tattwa-nya sama. (http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati-diri.html,
15 Desember 2013)
Kelima aspek apabila dikaitkan
dengan tradisi Omed-omedan, maka
sebagai berikut:
a)
Iksha, masyarakat Banjar Kaja, Sesetan
telah menyepakati tradisi diadakan tanpa ada keraguan di benak semua pihak.
Sebaliknya, masyarakat akan merasa bersalah ketika tradisi warisan nenek moyang
mereka ditiadakan.
b)
Sakti, masyarakat khususnya para
muda-mudi yang menjadi pelaku dalam acara merasa mampu dan sanggup melaksanakan
semua rangkaian acara tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak lain.
c)
Desa, tradisi ini berlangsung tanpa
menghilangkan norma suci (di Bali tersurat dalam awig-awig) di desa setempat. Dibuktikan dengan persetujuan semua
pihak untuk melangsungkan acara ini.
d)
Kala, waktu pelaksanaan tradisi Omed-omedan ini tepat sehari setelah
Nyepi, yakni ketika Ngembak Geni. Dimana pada saat itu semua umat Hindu
melakukan Dharma Santi, melakukan sima krama untuk menciptakan keharmonisan
dalam hubungan khususnya manusia dengan manusia.
e)
Patra, maksudnya keadaan di Banjar Kaja,
Sesetan sangat mendukung untuk melangsngkan tradisi Omed-omedan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari makalah
yang sudah penulis selesaikan dapat dirumuskan beberapa simpulan, antara lain:
1. Weda secara ethimologinya
berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui
atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan
kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula
dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima
melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi.
2. Tradisi
Omed-omedan dilaksanakan dengan
beberapa dasar seperti; Masyarakat Banjar Kaja Sesetan melakukan tradisi Omed-omedan ini demi mencapai
kenyamanannya dalam menapak kehidupan yang lebih harmonis, setidaknya pada
tatanan keluarga, banjar, dan desa. Tradisi ini dilakukan sehari setelah Nyepi
(Ngembak Geni). Kalaupun seandainya orang luar ikut berperan serta, itu ada
aturan prosesi yang harus diikuti karena kegiatan ini mengandung nilai
spiritual magis, dan hanya bisa dirasakan oleh pelakunya. Selain itu, tradisi
ini juga merupakan sebuah acara yang dikehendaki oleh sesuwunan yang berstana
di pura setempat. Dibuktikan ketika tradisi berencana tidak diadakan ada
sepasang babi yang berkelahi sampai berdarah-darah yang kemudian kebur tidak
tahu kemana, yang kemudian dicari nilai spiritualnya dengan melakukan mapinunas (mohon petunjuk pada orang
yang kerauhan).
3. Tradisi
Omed-omedan merupakan salah satu
bentuk implementasi ajaran Weda yang disesuaikan dengan budaya dimana ajaran
Hindu itu berkembang. Weda bersifat universal, sehingga untuk mempermudah umat
Hindu yang ada di Bali Weda di-akulturasi
dengan Budaya Bali dan salah satunya lahirlah tradisi Omed-omedan. Menyimpang tidaknya suatu tradisi dari ajaran Weda
dapat dilihat dari lima aspek yang dijadikan acuan, yaitu Ikhsa, Sakti, Desa,
Kala dan Patra. Apabila memenuhi kelima aspek ini, sebuah tradisi dapat disebut
sebagai tradisi Weda pula sesuai dengan yang tersurat dalam Manawa Dharmasastra VII.10.
sehingga nilai Tattwa dari tradisi yang dijalankan tidak akan menyimpang dari
ajaran Dharma.
3.2
Saran-saran
Berdasarkan makalah yang sudah penulis
selesaikan, dapat disampaikan beberapa saran, antara lain:
1. Janganlah
selalu berpikir bahwa tradisi Hindu yang benar adalah seperti yang berlangsung
di India, biarkan seyogyanya tradisi berkembang sesuai dimana dan kapan Weda
itu dikembangkan. India sentris berbeda dengan Bali sentris, tetapi inti dari
ajaran Weda itu adalah sama.
2. Ketika
suatu tradisi sudah ada dan berkembang di masyarakat, hendaknya jalankan
tradisi tersebut sesuai dengan tujuan awal untuk apa tradisi diadakan. Jangan
mengambil keuntungan secara materi dari tradisi tersebut yang nantinya secra
tidak langsung terkadang menodai kemurnian dari tradisi yang sudah ada.
3. Kepada
para pembaca, marilah kita bersama-sama jaga tradisi adi luhung yang sudah ada
dan terus berkembang di masyarakat kita. Jangan biarkan ada oknum-oknum yang
menodai kemurnian tradisi kita. Mari berusaha bersam-sama agar tradisi tersebut
dapat tetap ajeg sesuai dengan tujuan awal untuk apa tradisi itu diadakan.
Sehingga dengan demikian kita akan mampu mengambil nilai positif dari tradisi
tersebut tanpa meragukan dan mencemooh tradisi yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/definisi-dan-pengertian-tradisi.html,
5 Desember 2013
http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati
diri.html, 15 Desember 2013
http://paduarsana.com/2012/08/01/omed-omedantradisi-vs-porno-aksi/,
12 Desember 2013
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=29,
10 Desember 2013
Munggah, I Made. 2008. Med-medan Tradisi unik dari Sesetan. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar