Implementasi Ajaran Weda dalam Tradisi Omed-omedan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam tradisi dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.  Tiap daerah walaupun dengan agama yang sama memiliki warisan leluhur berupa tradisi, adat istiadat dan  budaya yang berbeda disesuaikan dengan sukunya masing-masing. Semua tradisi dan budaya yang ada itu baik, sama-sama mengarah pada peningkatan kualitas diri serta menjaga keharmonisan di segala bidang yang dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
 Konsep Tri Hita Karana ini begitu kental dengan kehidupan umat Hindu terkhusus Hindu Bali, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama, dengan lingkungan dan tentunya dengan sang pencipta yang maha agung. Dengan pelaksanaannya diharapkan semua lapisan kehidupan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Dan kembali ditekankan semuanya tidak lepas dari tradisi dan budaya. Bali merupakan pulau yang penuh dengan budaya dan tradisi. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama hindu. Kebudayaan masyarakat Bali masih sangat kuat sehingga kegiatan-kagiatan yang di lakukan oleh masyarakat Bali bargantung pada budaya yang ada. Adapun tradisi-tradisi yang sering kita dengar di antaranya : tradisi mekepung (Negara), tradisi megibung (Tabanan), tradisi dawang-dawang (Buleleng), tradisi Omed-omedan (Sesetan) dan masih banyak tradisi lainnya
.
Pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu dari tradisi yang ada di Bali sebagai topik permasalahan yaitu tradisi Omed-omedan yang ada di Br.Kaje Sesetan. Penulis mengambil tradisi ini sebagai topik permasalahan karena tradisi  ini merupakan tradisi yang sangat terkenal di Bali khususnya di Denpasar dan bahkan sampai ke luar daerah Bali. Tradisi ini sangatlah unik dan banyak orang tertarik untuk ingin mengetahuinya. Karena itu Omed-omedan merupakan Ikon Budaya dan Pariwisata Denpasar.
Tradisi Omed-omedan yang begitu unik menimbulkan banyak pro dan kontra dikalangan masyarakat, ada yang berpendapat itu hal wajar dalam sebuah tradisi, ada pula yang berpendapat mengapa melakukan sentuhan fisik berbeda jenis kelamin dibudayakan terlebih untuk kaum muda mudi. Atas dasar inilah penulis merasa termotivasi untuk lebih mencari nilai kebenaran yang ada dikaitkan dengan nilai-nilai dalam kitab suci Weda melalui penulisan makalah dengan judul “Implementasi Ajaran Weda dalam Tradisi Omed-omedan

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan, ada beberapa rumusan masalah yang dapat penulis uraikan, antara lain:
1.      Bagaimana Kaitan Weda dengan tradisi Hindu?
2.      Mengapa tradisi Omed-omedan dilaksanakan?
3.      Bagaimana implementasi ajaran Weda dalam tradisi Omed-omedan?

1.3  Tujuan Penulisan
Berkaca dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini, yakni:
1.      Agar pembaca dan penulis mengetahui apa pengertian Weda.
2.      Agar pembaca dan penulis mengetahui dasar pelaksanaan tradisi Omed-omedan.
Agar pembaca dan penulis mengetahui implementasi ajaran Weda dalam tradisi Omed-omedan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Weda
            Weda adalah kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta. Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.
Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.
“Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerth,
te sarrtheswamimamsye tab
hyam dharmohi nirbabhau.” (M. Dh.11.1o).

Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)

“Weda khilo dharma mulam
smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadhunam
atmanastustireqaca.” (M. Dh. II.6).

Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).

Srutir wedah samakhyato
dharmasastram tu wai smrth,
te sarwatheswam imamsye
tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).




Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=29, 10 Desember 2013)

2.2 Pengertian Tradisi
            Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan.  
            Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. Misalnya dalam acara tertentu masyarakat sangat menggemari kesenian rabab. Rabab sebagai sebuah seni yang sangat digemari oleh anggota masyarakat karena belum ada alternatif untuk menggantikannya disaat itu. Tapi karena desakan kemajuan dibidang kesenian yang didukung oleh kemajuan teknologi maka bermunculanlah berbagai jenis seni musik. Dewasa ini kita sudah mulai melihat bahwa generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak lagi mengenal kesenian rabab. Mereka lebih suka seni musik dangdut misalnya. (http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/definisi-dan-pengertian-tradisi.html, 5 Desember 2013)
            Tradisi biasanya sangat disesuaikan dengan suku dan ras suatu bangsa. Antar suku satu denga suku yang lain biasanya memiliki tradisi yang berbeda yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Dengan adanya komunikasi yang baik dari generasi ke generasi dalam sebuah suku atau bangsa tertentu maka tradisi akan tetap ajeg dan warisan adi luhung nenek moyang akan terjaga.
           
2.3 Kaitan Weda dengan Tradisi Hindu
            Weda sebagai Kitab Suci Agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber ilmu. Tidak ada hal di dunia ini yang tidak bersumber dari Weda, termasuk tradisi. Intisari Tradisi Hindulah Weda itu, sehingga semua tradisi Hindu tidak boleh bertentangan dengan Weda. Sebuah Sloka menyebutkan,
“Idanim daharma pramaanaanyaa.
Vedo'khilo dharma mulam.
Smrtisile ca tadvidam.
Acarascaiva saadhuunaam
Aatmanastustireva ca.”
Maksudnya:
Sruti (sabda Tuhan) sumber pertama dari Dharma (agama), kemudian Smrti (Sastra Veda), Sila (pedoman tingkat laku) Acara (Veda yang telah ditradisikan oleh masyarakat) dan akhirnya mencapai kepuasan Atman.
Sloka kitab suci Manawa Dharmasastra yang dikutip ini menunjukkan bagaimana cara melihat persamaan dan perbedaan penampilan tradisi Hindu dalam kehidupan beragama baik di tingkat daerah, nasional maupun global. Bentuk luar dari agama Hindu selalu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Apalagi, tradisi Hindu di antara satu negara dengan tradisi Hindu di negara lain pasti berbeda-beda. Ini disebabkan keberadaan struktur budaya dan sosial satu daerah dengan daerah yang lain itu berbeda-beda.
Berdasarkan Sloka di atas, Hindu kalau dilihat dari Veda Sruti, Smrti dan Sila akan selalu sama. Tetapi kalau sudah sampai di tingkat Acara (tradisi Hindu) dan Atmanastusti (kepuasan rohani) masing-masing umat akan penuh dengan perbedaan. Perbedaan itu berupa bentuk luarnya atau kemasan budayanya. Bagi mereka yang kurang paham dengan sistem dan pengalaman, memandang agama Hindu di satu daerah dengan daerah lainnya itu berbeda-beda secara total. Bahkan, para ilmuwan empiris sering membeda-bedakannya secara mutlak bahkan perbedaan itu dipertentangkan. Seolah-olah agama Hindu di Bali dan di Jawa atau di India berbeda-beda. Sesungguhnya agama Hindu itu di mana-mana sama.
Persamaan Hindu itu hendaknya dilihat dari sudut esensinya. Semua tradisi Hindu bersumber dari Weda. Mengapa Hindu itu bentuk luarnya selalu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya? Karena sistem penerapannya itu mengajarkan harus disesuaikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Dalam penerapannya, tidak boleh bertentangan dengan Tattwa. Tattwa itu adalah intisari kebenaran Weda. Pedoman penerapan agama Hindu ini sudah sering diungkapkan dalam media ini. Karena keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala itu selalu berbeda-beda, di mana pun Hindu selalu menampilkan tradisi yang berbeda-beda juga.
Jika dibedah isinya di mana pun Hindu itu pasti sama isinya yaitu Tattwa kebenaran menurut Weda. Dalam kutipan Sloka Manawa Dharmasastra di atas tergambar bahwa Weda Sruti sabda Tuhan itu dijabarkan ke dalam Dharmasastra atau Smrti. Dari Smrti ini terus dijabarkan ke dalam Sila, bentuk tingkah laku yang sangat banyak dijumpai pada cerita Itihasa dan Purana.
Di dalam ceritra Itihasa dan Purana kita akan mendapatkan banyak sekali cerita tentang Sila. Ada Sila atau tingkah laku yang patut diteladani ada tingkah laku yang tidak patut ditiru. Kalau kita umpamakan Weda itu sebagai makanan. Intisari makanan yang dibutuhkan oleh umat manusia seisi dunia ini sama. Semua manusia membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dll. Namun bentuk makanan yang dimakan sangat berbeda-beda dan tergantung pada budaya setempat. Misalnya karbohidrat. Ada yang menggunakan nasi, ada sagu, ada roti, ada jagung, dll. Demikianlah ajaran Hindu itu bentuk pengamalannya berbeda-beda, namun yang diamalkan adalah tetap Sanatana Dharma intisari Weda. Misalnya di dalam Weda diajarkan untuk memenangkan Dharma dalam pertarungan kehidupan ini.
Salah satu cara untuk menanamkan sikap hidup memenangkan Dharma itu melalui hari raya agama. Hari raya mengingatkan umat Hindu memenangkan Dharma adalah hari raya Galungan dan Kuningan. Ilustrasi ceritranya soal menangnya Dewa Indra melawan Maya Danawa. Sementara di India, hari raya Galungan sama dengan hari raya Wijaya Dasami. Kata Galungan sama artinya dengan Wijaya. Di India Utara perayaan Wijaya Dasami itu ilustrasi ceritranya menangnya Sri Rama melawan Rahwana. Versi India Selatan menangnya Dewi Durgha melawan Raksasa Mahesasura. Di Bali ada upacara melasti dan Nyepi, di India ada upacara Kumbha Mela yang kegiatannya meliputi Nagasankirtan (melasti) dan dilanjutkan dengan Nyepi.
Di Bali ada Tumpek Wariga, di India ada hari raya Sangkara Puja. Di Bali ada Tumpek Landep, di India ada Ayudha Puja. Sesungguhnya banyak sekali contoh yang dapat dikemukakan mengenai persamaan esensi Hindu dan perbedaan kemasan budayanya. Demikian juga Hindu di Indonesia antara budaya Hindu di Bali bentuk luarnya dengan Hindu di Jawa, Kaharingan, di Batak Karo, Tengger sangat berbeda. Namun kalau dibedah pasti akan dijumpai kesamaan tattwa-nya. Seperti upacara Tiwah di Kaharingan, upacara Pitra Yadnya di Jawa dan Bali Tattwanya sama persis.

2.4 Tradisi Omed-Omedan
            Terkait dengan adanya keanekaragaman tradisi dalam umat Hindu tidak lepas dengan Bali. Di Bali agama Hindu merupakan nafas kebudayaannya, yang mana inti ajarannya adalah Sanatana Dharma, yaitu Satyam, Siwam, dan Sundaram, artinya Bali dibangun dengan cara menegakkan kebenaran dan kesucian yang dimiliki oleh budaya masyarakat, landasannya adalah keharmonisan dan keindahan serta dengan falsafah hidup yang berkesinambungan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu aktivitas yang merupakan unsur kebudayaan telah dilakoni oleh masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan ialah tradisi Omed-Omedan sebagai cara untuk ikut melestarikan budaya Bali. Tradisi ini sejak tahun 1980-an dilaksanakan pada hari raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi). Yang mana kata Omed-Omedan atau yang sering disebut dengan Omed-omedan secara harfiah dapat diartikan dengan “tarik-tarikan” atau “tarik-menarik” (Munggah, 2008: 41).
            Omed-Omedan merupakan tradisi yang dilakoni anak-anak muda. Remaja perempuan dan lelaki berbaris satu barisan yang saling berhadap-hadapan. Dari barisan lelaki dan perempuan, yang akan melakukan ritual Omed-Omedan akan digendong. Keduanya lalu dipertemukan. Mereka berciuman. Ciuman mereka terhenti ketika para tetua adat membunyikan pluit dan menyiramkan air (http://www.balilivatour.com/beritabali.php?id=34, 25 November 2013). Jika dipikir secara logika memang tradisi ini terbilang aneh dan unik, namun begitulah kenyataan. Walaupun bagaimana orang-orang berpendapat tradisi ini terus dilestarikan dan bahkan mengundang ketertarikan banyak pihak termasuk wisatawan lokal maupun mancanegara.
2.4.1 Peserta dan Tata cara dilakukannya Omed-omedan.
            Omed-omedan di ikuti oleh puluhan anggota Sekaha Teruna-teruni (perkumpulan pemuda pemudi) Satya Dharma Kerthi Banjar Kaja Sesetan. Acara diawali dengan persembahyangan bersama, dan dilanjutkan pementasan tarian barong bangkal (barong berkepala babi) sampai penarinya kesurupan–tanda bahwa acara ini mendapat izin dari Ida Bathara yang berstana (bersemayam) di Pura Banjar.
Sekaha Teruna-teruni dibagi dalam dua kelompok. Sekaha Teruna (laki-laki) berdiri di satu sisi, dan anggota Sekaha Teruni (perempuan) berada di sisi lain. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 30 remaja. Keduanya terpisah jarak sekitar 100 meter.
Dalam acara Omed-omedan ini adapun sejumlah petugas adat yang ditunjuk untuk mengatur acara meniup sempritan. Setelah Aba-aba diberikan, segera kemudian kedua kelompok saling berlari ke arah lawannya. Masing-masing mendorong seorang remaja yang diberi kesempatan pertama untuk saling berciuman, untuk kemudian ditarik secepat mungkin.
2.4.2 Perubahan Pelaksanaan hari Omed-Omedan
            Sejak tahun 1980-an karena adanya pengaturan, penataan dan pembinaan umat Hindu secara profesional oleh Parisada Hindu Dharma (Pusat), hari Nyepi benar-benar dilaksanakan sipeng selama 24 jam dan keesokan harinya pada Ngembak Geni dirayakan sesuia dengan isi Himpunan Keputusan Seminar Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV. Jadi hari Ngembak Geni sejak saat itu diperingati sebagai hari raya dengan acara utama masima krama atau dharma santi dan dilanjutkan dengan melaksanakan tradisi Omed-Omedan sebagaimana yang disaksikan orang seperti sekarang setiap tahunnya (Munggah, 2008: 33).
2.4.3 Proses Terjadinya acara Omed-Omedan
            Beberapa puluh tahun setelah diadakan reorientasi penataan pelaksaaan tradisi Omed-Omedan, kira-kira di sekitar tahun 1984-an, para tokoh masyarakat di Banjar Kaja kelurahan Sesetan yang dipelopori beberapa orang merencanakan meniadakan tradisi Omed-Omedan. Dasar pemikiran mereka pada waktu itu ialah masyarakatnya terdiri atas banyak anak muda yang sebagian besarnya adalah anak-anak pelajar/mahasiswa dan di samping itu ada dirasakan cemohan, bahwa anak-anak muda-mud di Banjar Kaja, Sesetan mengadakan hiburan dengan variasi cium-ciuman di depan umum.
            Terhadap cemohan seperti itu I Gusti ngurah Oka Putra, selaku salah seorang tokoh masyarakat, pemegang andil besar dalam berlangsungnya Omed-Omedan dan salah seorang pewaris keturunan tokoh Puri Oka di Desa Sesetan dengan tegas menolak tudingan miring tersebut dan mengatakan, “kami warga Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan sangat menolak tudingan miring yang mencemohkan warga kami.”
            Setelah menepis tudinagan itu, beliau berkomentar lebih lanjut, “gesekan anak-anak muda dalam pergulatan Omed-Omedan itu mungkin saja terjadi, tetapi rencana untuk bercium-ciuman sama sekali tidak pernah ada dan malahan Prajuru Banjar dalam setiap arahan dan nasihatnya selalu mengingatkan para peserta Omed-Omedan agar menghindari kesengajaan opersentuhan muka dengan lawan bermainnya.” (Munggah, 2008: 34)
            Pada suatu saat ngembak geni di tempat.arena Omed-Omedan pernah dipasang pengumuman bahwa “Omed-Omedan hari ini ditiadakan”. Walaupun dipasang pengumuman seperti itu, warga masyarakat dan para penonton dari luar Bajar Kaja, sesetan, tetap datang dan berjubel di tempat yang biasanya diadakan Omed-Omedan. Saat itu tidak ada yang tahu, dari mana datangnya, di tengah-tengah kerumunan orang yang demikian banyak itu, terjadilah perkelahian dua ekor babi. Tak lama seorangpun mampu memisahkan kedua babi yang sampai berdarah-darah itu.
            Berdasarkan keajaiban terakhir ini, segera para prajuru Banjar dan tokoh masyarakat di tempat itu bermusyawarah untuk merembugkan tentang kejadian itu dan menganalisis apa kira-kira yang akan terjadi akibat peristiwa itu. Keputusan yang dihasilkan dari musyawarah itu ialah, bahwa tradisi Omed-Omedan diadakan lagi sampai selesai seperti biasanya. (Munggah, 2008:35)
Alternatif Spiritual
            Berdasarkan atas dua keajaiban yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat setempat dengan logika dan akal pikiran, maka tokoh-tokoh tersebut mencari alternatif lain yaitu menempuh jalan spiritual. Para tokoh adat/agama Banjar Kaja, mohon petunjuk kepada orang yang kesurupan (mapinunas) di Pura Bale Banjar pada suatu hari piodalan setempat tentang kejadian yang dianggap aneh/menakutkan yaitu terjadinya perkelahian babi yang berdarah-darah pada saat ngembak geni yang lalu. Jawaban singkat diberikan oleh yang kerauhan bahwa Omed-Omedan itu adalah kehendak sesuhunan yang berstana di pura Bale Banjar dan harap terus dilaksanakan.
Selanjutnya kini masyarakat di Banjar Kaja berketetapan hati meneruskan, melestarikan dan mengembangkan tradisi Omed-Omedan agar lebih rapi dan menjadi lebih sempurna untuk diwariskan kepada generasi pelanjut mereka. (Munggah, 2008: 35-36)

2.5 Implementasi ajaran Weda dalam Tradisi Omed-Omedan
            Perdebatan Bali sentris atau India sentris seyogianya tidak terjadi apa bila pemahaman akan konsep penerapan ajaran Hindu itu dipahami secara mendalam dan tuntas. Tujuan Weda disabdakanTuhan bukan untuk menghilangkan identitas ciptaanNya. Weda disabdakan justru untuk menguatkan dan mengeksistensikan identitas jati diri semua ciptaanNya untuk memberi makna atas kehadiranya di bumi ini. Penerapan ajaran suci Weda di muka bumi ini bukan untuk membuat manusia dan masyarakat menjadi seragam dimana Weda dianut. Bukan pula untuk menghilangkan perbedaan yang merupakan kodrat alami ciptaan Tuhan. Penerapan Weda tidak dengan menghilangkan apa yang ada di muka bumi ini. Weda disabdakan justru untuk meningkatkan aspek purity atau kemurnian dari apa yang tercipta. Tanah, air, udara, panas dan ether terlindungi tak tercemar kemurniannya.
            Weda memang turun disabdakan di India, namun demikian tidak ada suatu keharusan umat Hindu di luar India harus seperti di India. Abad ke 4 M, Weda dianut di Kalimantan. Kemudian Hindu dianut di Jawa, terus ke Bali dan menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara bahkan sampai keluar Nusantara. Proses penyebaran Hindu di berbagai wilayah tidak meng-India-kan wilayah tersebut. Kalimantan dibangun menjadi Kalimantan yang semakin bernilai plus. Di Kalimantan ada peninggalan Yupa Yadnya dan ada Upacara Tiwah bagi Suku Kaharingan di Kalimantan seperti Upacara Atiwa Tiwa dalam Pitra Yadnya di Bali.
            Demikian juga setelah agama Hindu dianut di Bali, berbagai potensi Bali dieksistensikan oleh Agama Hindu, sehingga adat istiadat Hindu pun di Bali menjadi adat istiadat yang adi luhung. Hal ini sangat jelas terekam dalam berbagai kepustakaan dan arsitektur spiritual Hindu di Bali. Ini artinya, Kalimantan, Jawa, Bali dan daerah lainya tidak di-India-kan. Bali justru lebih di Bali-kan oleh agama Hindu. Kalau ada hal-hal yang positif di mana pun asalnya, tentunya sah-sah saja diambil untuk menguatkan dan memperkaya adat istiadat Hindu setempat, asal tidak menyimpang dari Tattwa-nya, Weda kitab suci Hindu. Karena itu wacana India sentris maupun Bali sentis tidak perlu membuat umat Hindu saling mencurigai. Adanya akulturisasi kebudayaan termasuk kebudayaan yang dijiwai oleh Agama Hindu tidak perlu dirisaukan dan dibuat berdikotomis, apalagi dalam jaman kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun demikian lembaga yang mengurusi bidang keagamaan ini tetap berkewajiban untuk mendorong terciptanya iklim berbudaya dan beradat istiadat Hindu yang damai dan toleran. Dengan demikian Hindu akan meng-India-kan India, menjadi India yang lebih baik, Jawa menjadi Jawa yang semakin baik, Bali menjadi Bali yang semakin baik dan mulia. (http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati-diri.html, 15 Desember 2013)
            Beranjak dari sudut pandang tersebut, kemudian dikaitkan dengan tradisi Omed-omedan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang ada di Banjar kaja, sesetan. Tradisi ini mungkin oleh sebagian orang yang tidak mengerti atau paham secara mendetail tentang bagaimana ajaran Weda yang sesungguhnya akan dilihat sebagai sebuah tradisi yang aneh, melenceng dari norma atau bahkan disebut porno aksi. Sesungguhnya tidak ada harapan seperti tersebut, murni tradisi dilaksanakan karena terdapat nilai plus yang membuat Bali semakin Bali dengan adanya kombinasi antara ajaran Hndu yang tertuang dalam kitab suci Weda dan tradisi yang ada. Hal ini bisa dibuktikan dengan penjelasan tentang bagaimana Omed-Omedan tersebut (Dalam http://paduarsana.com/2012/08/01/omed-omedantradisi-vs-porno-aksi/) oleh Pakula Warga Sesetan, antara lain: Bendesa Desa Pakraman Sesetan, Ir. I Wayan Megananda, Ms.Ars; Klian Adat Banjar Kaja Sesetan, I Wayan Sunarya; Kepala Lingkungan Banjar Kaja Sesetan, I Gede Semara, S.E. yaitu:
1.      Masyarakat Banjar Kaja Sesetan melakukan tradisi Omed-omedan ini demi mencapai kenyamanannya dalam menapak kehidupan yang lebih harmonis, setidaknya pada tatanan keluarga, banjar, dan desa. Tradisi ini dilakukan sehari setelah Nyepi (Ngembak Geni). Kalau toh orang luar ikut berperan serta, itu ada aturan prosesi yang harus diikuti karena kegiatan ini mengandung nilai spiritual magis, dan hanya bisa dirasakan oleh pelakunya.
2.      Omed-omedan dilakukan bukan secara paksa. Pelakunya semua merasakan itu adalah kewajiban yang harus dilakukan dan prosesinya harus melakukan persembahyangan bersama terlebih dulu.
3.      Pandangan kami terhadap tradisi itu adalah yang di Bali disebut dresta, yang juga berupa aturan di masyarakat Desa Sesetan yang disebut dengan Catur Dresta: Purwa Dresta (aturan-aturan masa permulaan), Desa Dresta (aturan menurut keadaan desa setempat), Sastra Dresta (aturan menurut ajaran yang tersebut di dalam kitab), Loka Dresta (aturan menurut keadaan zaman). Alasan lainnya, konsekuensi praktis dari agama sejati adalah kehidupan yang diabadikan untuk memenuhi kehendak Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang terimplementasi pada ajaran Catur Guru.
4.      Mengenai warga negara asing (Taiwan, bukan Jepang) yang ikut dalam prosesi, dia itu adalah seorang artis. Memang dia sendirilah yang memohon supaya diizinkan untuk ikut dan dia mau mengikuti sesuai dengan aturan prosesinya.
5.      Mengenai tujuan komersial buat turis-turis asing, sampai saat ini dari pihak-pihak penyelenggara praktik ke arah itu tidak ada. Kegiatan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh warga Teruna-Teruni Satya Dharma Kerti, Banjar Kaja, Desa Sesetan, untuk menangkal hal-hal negatif yang mungkin akan bisa menimpa warganya bila prosesi itu tidak dilaksanakan.
6.      Mengenai tidak diperbolehkannya melakukan adegan seperti itu menurut ajaran agama, kami lebih tepat tidak berkomentar. Alasannya, kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang Bhineka Tunggal Ika yang berbeda-beda agama dan suku. Sedangkan dalam satu agama pun tumbuh perbedaan penafsiran. Kami harapkan hal ini bisa dimaklumi.
7.      Tradisi ini sudah diangkat dan dikaji dalam sebuah tesis oleh I Made Munggah, 2007, pada Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, telah diuji dan disetujui selanjutnya mendapat pengesahan sesuai dengan tata tertib sebuah karya ilmiah.
8.      Mengenai kesucian hari Nyepi, pada hari penyepian, warga kami, sebagaimana umat Hindu lainnya juga melaksanakan Catur Brata Penyepian (empat pengendalian diri pada saat Nyepi): amati karya (tidak melakukan pekerjaan), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelanguan (tidak bersenang-senang), amati lelungan (tidak melakukan perjalanan).
Jadi dari bukti tersebut, tradisi Omed-omedan dibenarkan dalam Weda, tidak ada pelencengan yang terjadi. Tradisi tetaplah warisan adi luhung yang patut kita jaga kelestariannya. Tetapi yang membuat tradisi menjadi terkadang seakan-akan sangat salah adalah manusia sebagai pribadi yang berkembang. Manusia selalu ingin mengekplorasi kemampuan yang ada dalam dirinya, apabila itu diberlakukan untuk hal positif, sungguh mulialah hasil yang akan diterima. Akan tetapi ketika seorang manusia menggunakan kreatifitasnya untuk memodifikasi tradisi yang ada adalah sebuah kesalahan besar. Terkait dengan tradisi Omed-omedan ini, mengapa tradisi yang bersifat lokal bisa dijadikan sebuah Festival? Inilah yang salah. Dengan alasan menarik wisatawan, membuat kebanggaan atau lainnya, hasilnya ketika para pelaku terlena maka akan terjadi penyimpangan dari harapan awal tradisi itu diadakan.
Omed-omedan bukanlah ajang tahunan para muda-mudi di Banjar kaja, Sesetan untuk malakukan cium-ciuman di depan umum. Ini adalah ajang mesima krama antar pemuda dan pemudi desa setempat agar selalu tercipta keharmonisan. Keakraban di antara mereka supaya terjalin dengan murni, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan yang tidak mengenakkan. Dengan rutin mesima krama setiap tahunnya, maka masyarakat Bali yang harmonis berawal dari muda-mudi perlahan akan terwujud, sebagai implementasi ajaran Tri Hita Karana khususnya bagian pawongan.
Bali tidak men-copy-paste tradisi yang ada di India, tetapi Bali menjadi lebih Bali dengan akulturasi ajaran Hindu dengan tradisi lokal. Weda tidak pernah menyalahkan tradisi yang berkembang, walaupun terkadang ada tradisi yang seakan-akan menyimpang dari etika. Atas hal tersebutlah maka tradisi Omed-omedan dapat dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Weda, apabila tradisi masih berlangsung tidak menyimpang dari tujuan awal tradisi diadakan.
Berbicara kitab suci Weda dan tradisi Omed-omedan harus ditemukan bagaimana keterkaitannya dan implementasi Weda dalam tradisi seperti apa. Pada dasarnya penerapan inti sari Weda agar sukses atau disebut Dharma siddhiyarta dalam Manawa Dharmasastra VII.10 harus diterapkan dengan lima dasar pertimbangan. Lima pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala, dan Patra mengemas Tattwa Weda yang Sanatana Dharma itu. Iksha adalah pandangan masyarakat setempat, di mana Weda dianut. Sakti artinya kemampuan, Desa artinya norma suci yang berlaku di daerah setempat dan Kala artinya waktu. Di setiap daerah memiliki Iksha, Sakti, Desa, Kala, dan Patra yang berbeda-beda dengan mengemas Tattwa Weda yang sama. Weda itu diterapkan dengan kemasan luar yang berbeda-beda. Karena itu Hindu dimanapun berada, maka kemasan luarnya akan berbeda-beda, tetapi intinya tattwa-nya sama. (http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati-diri.html, 15 Desember 2013)
Kelima aspek apabila dikaitkan dengan tradisi Omed-omedan, maka sebagai berikut:
a)      Iksha, masyarakat Banjar Kaja, Sesetan telah menyepakati tradisi diadakan tanpa ada keraguan di benak semua pihak. Sebaliknya, masyarakat akan merasa bersalah ketika tradisi warisan nenek moyang mereka ditiadakan.
b)      Sakti, masyarakat khususnya para muda-mudi yang menjadi pelaku dalam acara merasa mampu dan sanggup melaksanakan semua rangkaian acara tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak lain.
c)      Desa, tradisi ini berlangsung tanpa menghilangkan norma suci (di Bali tersurat dalam awig-awig) di desa setempat. Dibuktikan dengan persetujuan semua pihak untuk melangsungkan acara ini.
d)     Kala, waktu pelaksanaan tradisi Omed-omedan ini tepat sehari setelah Nyepi, yakni ketika Ngembak Geni. Dimana pada saat itu semua umat Hindu melakukan Dharma Santi, melakukan sima krama untuk menciptakan keharmonisan dalam hubungan khususnya manusia dengan manusia.

e)      Patra, maksudnya keadaan di Banjar Kaja, Sesetan sangat mendukung untuk melangsngkan tradisi Omed-omedan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Dari makalah yang sudah penulis selesaikan dapat dirumuskan beberapa simpulan, antara lain:
1.      Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi.
2.      Tradisi Omed-omedan dilaksanakan dengan beberapa dasar seperti; Masyarakat Banjar Kaja Sesetan melakukan tradisi Omed-omedan ini demi mencapai kenyamanannya dalam menapak kehidupan yang lebih harmonis, setidaknya pada tatanan keluarga, banjar, dan desa. Tradisi ini dilakukan sehari setelah Nyepi (Ngembak Geni). Kalaupun seandainya orang luar ikut berperan serta, itu ada aturan prosesi yang harus diikuti karena kegiatan ini mengandung nilai spiritual magis, dan hanya bisa dirasakan oleh pelakunya. Selain itu, tradisi ini juga merupakan sebuah acara yang dikehendaki oleh sesuwunan yang berstana di pura setempat. Dibuktikan ketika tradisi berencana tidak diadakan ada sepasang babi yang berkelahi sampai berdarah-darah yang kemudian kebur tidak tahu kemana, yang kemudian dicari nilai spiritualnya dengan melakukan mapinunas (mohon petunjuk pada orang yang kerauhan).
3.      Tradisi Omed-omedan merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Weda yang disesuaikan dengan budaya dimana ajaran Hindu itu berkembang. Weda bersifat universal, sehingga untuk mempermudah umat Hindu yang ada di Bali Weda di-akulturasi dengan Budaya Bali dan salah satunya lahirlah tradisi Omed-omedan. Menyimpang tidaknya suatu tradisi dari ajaran Weda dapat dilihat dari lima aspek yang dijadikan acuan, yaitu Ikhsa, Sakti, Desa, Kala dan Patra. Apabila memenuhi kelima aspek ini, sebuah tradisi dapat disebut sebagai tradisi Weda pula sesuai dengan yang tersurat dalam Manawa Dharmasastra VII.10. sehingga nilai Tattwa dari tradisi yang dijalankan tidak akan menyimpang dari ajaran Dharma.

3.2    Saran-saran
Berdasarkan makalah yang sudah penulis selesaikan, dapat disampaikan beberapa saran, antara lain:
1.      Janganlah selalu berpikir bahwa tradisi Hindu yang benar adalah seperti yang berlangsung di India, biarkan seyogyanya tradisi berkembang sesuai dimana dan kapan Weda itu dikembangkan. India sentris berbeda dengan Bali sentris, tetapi inti dari ajaran Weda itu adalah sama.
2.      Ketika suatu tradisi sudah ada dan berkembang di masyarakat, hendaknya jalankan tradisi tersebut sesuai dengan tujuan awal untuk apa tradisi diadakan. Jangan mengambil keuntungan secara materi dari tradisi tersebut yang nantinya secra tidak langsung terkadang menodai kemurnian dari tradisi yang sudah ada.
3.      Kepada para pembaca, marilah kita bersama-sama jaga tradisi adi luhung yang sudah ada dan terus berkembang di masyarakat kita. Jangan biarkan ada oknum-oknum yang menodai kemurnian tradisi kita. Mari berusaha bersam-sama agar tradisi tersebut dapat tetap ajeg sesuai dengan tujuan awal untuk apa tradisi itu diadakan. Sehingga dengan demikian kita akan mampu mengambil nilai positif dari tradisi tersebut tanpa meragukan dan mencemooh tradisi yang ada.


DAFTAR PUSTAKA

http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/definisi-dan-pengertian-tradisi.html, 5 Desember 2013
http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/10/tradisi-weda-menguatkan-jati diri.html, 15 Desember 2013
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=29, 10 Desember 2013
Munggah, I Made. 2008. Med-medan Tradisi unik dari Sesetan. Denpasar: Pustaka Bali Post.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar