PASRAMAN SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam UU No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara. Dari definisi ini dapat disimak bahwa pendidikan selalu berlangsung dengan disengaja sehingga proses pembelajaran antara guru dan siswa dapat berlangsung. Harapan yang selayaknya diperoleh dari pendidikan adalah mampu dikembangkannya potensi atau bakat yang dimiliki oleh anak secara maksimal. Pembentukan karakter dalam pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara guru, orang tua dan seluruh stakeholder pendidikan.

            Dalam bab II pasal (3) UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari pernyatan ini sudah dipaparkan bahwa tujuan pendidikan bukanlah untuk membuat peserta didik pintar secara kognitif belaka, tetapi banyak aspek yang perlu dicapai. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak generasi muda yang ke depannya mampu menjadi tulang punggung bangsa dengan karakter kebangsaan yang amat. Peserta didik adalah agen perubahan (agent of change), sehingga dengan menanamkan karakter yang baik, niscaya bangsa ini ke depan akan dibawa menuju perubahan yang lebih baik lagi.
            Dalam pendidikan yang baik, akan memberikan pemahaman kepada siswa mengenai kearifan lokal daerah setempat. Maksudnya bahwa peserta didik semakin menyadari dari mana dia berasal, bagaimana budaya di daerahnya, dan bagaimana kehidupan sosial di masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat siswa menjadi lebih berkarakter dan memahami keberadaan dirinya. Dengan memahami kearifan lokalnya, siswa akan semakin mudah menemukan bakat yang ada dalam dirinya, sehingga dengan hal tersebut akan mampu dikembangkan dengan cara yang lebih optimal. Kearifan lokal tidak akan pernah bisa dilepaskan dari pendidikan, bahkan hal inilah yang membuat ciri khas pendidikan antara sekolah satu dengan yang lainya. Dan tentunya korelasi antara pendidikan dan kearifan lokal ini tidak boleh berjalan tanpa pedoman pasti, melainkan sudah ada kurikulum yang akan menjadi batas dan pedoman agar  tidak melenceng dari standar nasional.
            Berbicara mengenai kearifan lokal, Putut Setiyadi (2012: 75) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Kearifan lokal ini akan menjadi senjata bagi peserta didik ketika telah ikut tergabung dalam masyarakat untuk menghadapi kendala dalam kehidupan. Dengan kearifan lokal tradisi dan budaya di setiap daerah akan dapat dilestarikan, dan hal ini tentunya amat baik ketika pendidikan yang tidak bisa dilepaskan dari unsur budaya digandengi oleh kearifan lokal.
            Berbicara mengenai pendidikan, tentu akan diingat bahwa pendidikan dibagi menjadi tiga kelompok besar sesuai dengan tempat berlangsungnya, yaitu pendidikan informal yang merupakan pendidikan pertama dan utama yang berlangsung di lingkungan keluarga, kemudian ada pendidikan formal yang merupakan pendidikan di instansi pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), dan ada pula pendidikan nonformal, yaitu pendidikan yang prosesnya hampir sama dengan pendidikan formal hanya saja tidak berlangsung di instansi pendidikan, seperti tempat kursus, pasraman, pesantren, dan lainnya.
            Dalam kaitannya dengan peserta didik Hindu, pasraman menjadi pilihan yang sangat tepat. Melalui pendidikan pasraman diharapkan penanaman nilai-nilai kearifan lokal kepada para peserta didika akan menjadi semakin mudah. Menurut Tim Penyusun (2006: 11) Pasraman merupakan lembaga pendidikan khusus agama Hindu yang dijadikan alternatif pendidikan agama Hindu. Sehingga pasraman tidak boleh dikembangkan oleh umat selain Hindu, dan tentunya untuk digandengi pengembangan kearifan lokal, maka Bali menjadi tempat ideal untuk dilaksanakan. Hal ini didasari oleh eratnya kesinambungan antara agama Hindu dan budaya masyarakat Bali.
Dalam PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan disebutkan bahwa Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam PP tersebut juga dituliskan bahwa pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal. Keberadaan pasraman semakin dipertegas pula dengan adanya PMA No. 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu yang menyatakan bahwa Pendidikan Keagamaan Hindu adalah jalur pendidikan formal dan nonformal dalam wadah pasraman. Pasraman formal adalah jalur pendidikan pasraman yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan atas. Sedangkan pasraman nonformal adalah jalur pendidikan di luar pasraman formal yang dilaksanakan secara terstruktur, dan pasraman non-formal inilah yang dirasa untuk saat ini cocok untuk dikembangkan melihat keadaan sosial masyarakat dan keberadaan desa pakraman sebagai payung pasraman non-formal tersebut.
Keberadaan pasraman non-formal di Bali tentunya menjadi pilihan yang tepat untuk memperkenalkan kearifan lokal kepada para siswa. Pasraman non-formal yang memang dalam pemilihan materinya belum mengacu pada standar kurikulum tertentu hingga saat ini selalu memperhatikan kearifan lokal. Inilah yang kemudian diajarkan kepada para siswa sehingga pemahaman yang tidak diperoleh dari bangku pendidikan formal dapat diperoleh melalui pasraman non-formal ini. dan berdasarkan hal tersebut, pada kesempatan ini penulis mencoba menguraikan perihal keberadaan kearifan lokal dalam pembelajaran pasraman non-formal melalui sebuah makalah yang berjudul "Pasraman sebagai Penyelenggara Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal".
1.2 Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang telah penulis uraikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi acuan dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
a.       Apakah Definisi Pasraman?
b.      Apakah Definisi  Kearifan Lokal?
c.       Bagaimanakah peranan Pasraman sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal?
1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk memahami definisi Pasraman.
b.      Untuk memahami definisi Kearifan Lokal.
c.       Untuk menggambarkan peranan Pasraman sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal.
1.4 Manfaat Penulisan
            Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.       Penulis dan pembaca dapat memahami definisi pasraman.
b.      Penulis dan pembaca dapat memahami definisi kearifan lokal.
c.       Penulis dan pembaca dapat mengetahui peran Pasraman sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pasraman
Ada beberapa pengertian pasraman yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: 1) Menurut Budi (2011: 7) Pasraman merupakan lembaga pendidikan non formal yang dibentuk oleh masyarakat yang telah terdaftar pada instansi pemerintah, sehingga proses pembinaan dan pengawasannya oleh pemerintah bersama dengan pihak Bimas Hindu yang mendirikannya memiliki tanggung jawab. 2) Kata "Pasraman" berasal dari kata “Asrama” (sering ditulis dan di baca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar atau pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Veda dan hingga kini masih tetap terpelihara (Tim Penyusun, 2006 : 11). Dalam Wikipedia (Desember, 2016) disebutkan bahwa pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu. Lembaga ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.
Dari pengertian pasraman di atas, dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pasraman dalam makalah ini adalah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar secara non formal yang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India dan dibentuk oleh masyarakat Hindu guna mengembangkan kemampuan keagamaan secara teori maupun praktek, serta akhlak sesuai ajaran agama Hindu.
Apabila ditinjau lebih jauh, sesungguhnya keberadaan pasraman ini sangatlah penting bagi umat Hindu, hal ini disebabkan dengan manajemen yang baik, pasraman akan mampu menunjukkan fungsi keberadaannya sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh tim penyusun bahwa Pasraman diharapkan mempunyai fungsi:
1.      Penyelenggara prosesi pembelajaran pendidikan agama hindu,
2.      Pengembang kemampuan dasar  pendidikan agama Hindu,
3.      Lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama Hindu bagi warga yang memerlukannya,
4.      Institusi yang mampu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan pengalaman nilai-nilai budi pekerti ajaran Hindu,
5.      Menjadi mediator menjalin hubungan kerjasama antara warga Pasraman dengan masyarakat Hindu. (Tim Penyusun, 2006:15-16)
Selain fungsi, penyelenggaraan Pasraman juga memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut:
1)      Memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan pribadi yang memiliki Sradha dan Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2)      Membina siswa agar memiliki pengalaman, pengetahuan, keterampilan yang dapat dikembangkan dalam kehidupannya (Tim Penyusun, 2006: 16).
2.1.1 Strategi Pembelajaran Pasraman
            Proses pembelajaran adalah suatu sistem, dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi/bahan ajar, strategi/model pembelajaran. Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa (Syaiful. 2010, 37- 41).
            Menurut Tim Penyusun (2006: 34) dalam proses pembelajaran ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru-guru di Pasraman antara lain dengan menggunakan metode pembinaan agama Hindu yang dikenal dengan sad dharma, yaitu :
1.      Dharma Tula, yaitu bertimbang wirasa atau berdiskusi. Tujuan metode dharma tula adalah sebagai salah satu metode yang dapat dipakai sarana untuk melaksanakan proses pembelajaran agar siswa lebih aktif, dengan harapan para siswa nantinya mampu dan memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat serta dalam rangka melatih siswa untuk berargumentasi dan berbicara tentang keberadaan Hindu.
2.      Dharma Wacana, adalah metode pembelajaran agama Hindu yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan materi pembelajaran agama Hindu kepada siswa.
3.      Dharma Gita, adalah nyanyian tentang dharma atau sebagai dharma, maksudnya ajaran agama Hindu yang dikemas dalam bentuk nyanyian spiritual yang bernilai ritus sehingga yang menyanyikan dan yang mendengarkannya sama-sama dapat belajar menghayati serta memperdalam ajaran dharma.
4.      Dharma Yatra, yaitu usaha meningkatkan pemahaman dan pengalaman pembelajaran agama Hindu melalui persembahyangan langsung ke tempat-tempat suci.
5.      Dharma Sadhana, adalah realisasi ajaran dharma yang harus ditanamkan kepada siswa dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk selalu taat dan mantap dalam menjalankan ajaran agama Hindu.
6.      Dharma Santi, yaitu kebiasaan saling memaafkan di antara sesame umat, bahkan di antara umat beragama.

2.2 Definisi Kearifan Lokal
            Kearifan lokal menurut Magdalia Alfian (2013: 428) diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu Putut Setiyadi (2012: 75) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Zuhdan K. Prasetyo (2013: 3) mengatakan bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Selanjutnya Nuraini Asriati (2012: 111) berpandangan bahwa kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja). Hal senada disampaikan oleh Ni Wayan Sartini (2004: 111) yang mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local wisdom is basic knowledge gained from living in balance with nature. It is related to culture in the community which is accumulated and passed on (Roikhwanphut Mungmachon, 2012: 176). Definisi di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan dasar yang diperoleh dari keseimbangan hidup dengan alam, hal ini terkait dengan kebudayaan masyarakat yang terakumulasi secara terus-menerus.
Didied Affandy and Putu Wulandari (2012: 64) mengatakan Local wisdom refers to the knowledge that comes from the community’s experiences and the accumulation of local knowledge. Local wisdom is found in societies, communities, and individuals. Pendapat ini mempunyai arti bahwa kearifan lokal mengacu pada pengetahuan yang berasal dari pengalaman masyarakat dan merupakan akumulasi dari pengetahuan lokal. Kearifan lokal ditemukan di dalam masyarakat, komunitas dan individu. Selanjutnya Haidlor Ali Ahmad (2010: 5) mendefinisikan: "Kearifan lokal sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat."
Dari pendapat para ahli di atas, penulis dapat mengambil benang merah bahwa kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.
2.2.1 Bentuk Kearifan Lokal
            Nuraini Asriati (2012: 111) mengatakan bahwa bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal ialah:
a.       Cinta kepada Tuhan, alam semesta beserta isinya.
b.      Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri.
c.       Jujur.
d.      Hormat dan santun.
e.       Kasih sayang dan peduli.
f.       Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah.
g.      Keadilan dan kepemimpinan.
h.      Baik dan rendah hati.
i.        Toleransi, cinta damai, dan persatuan.
            Haidlor Ali Ahmad (2010: 34) mengemukakan kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:
a.       Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari
b.      Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam.
c.       Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, maupun pepatah.
            Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Sama halnya dengan pendapat Nurma Ali Ridwan (2007:7) yang mengatakan bahwa kearifan lokal ini akan mewujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu.
            Kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak (falsafah) berupa nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore (cerita lisan) dan sebagainya; aturan, prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem sosial; ritus, seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang terlihat dalam perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial (Joko Tri Haryanto, 2013: 368).
            Ni Wayan Sartini (2009: 28) mengatakan bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat. Karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat (Farid Rusdi, 2012 : 347). Bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Banyak sekali bahasa daerah yang terdapat di nusantara ini seperti bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Melayu, dan lain-lain.
            Francis Fukuyama (dalam Puspa dan Siti Czafrani, 2010: 10), memandang kearifan lokal sebagai modal sosial yang dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan perekonomian masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat memicu pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang lebih luas yang tumbuh di kalangan masyarakat.
2.2.2 Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
            Kearifan Lokal dalam hal ini juga dapat disebut dengan keunggulan lokal, local genius atau local wisdom, seperti yang dikatakan oleh Kemendikbud bahwa Istilah local wisdom, local genius, kearifan Lokal, yang kemudian disebut keunggulan lokal (dalam Zuhdan K. Prasetyo, 2013: 3). Kearifan lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah.
            Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal menurut Zuhdan K. Prasetyo (2013:3) merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian, pengetahuan dan sikap dalam upaya ikut serta membangun bangsa dan negara.
a. Landasan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
            Landasan yuridis kebijakan nasional tentang pendidikan berbasis keunggulan lokal /kearifan lokal, diantaranya:
1)     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 BAB XIV Pasal 50 ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.
2)     Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 34, bahwa “Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah”,
3)     Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 17 Tahun 2010 pasal 35 ayat 2, bahwa “Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan dan/atau memfasilitasi perintisan program dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal”.
4)     Renstra Kemendiknas 2010-2014 bahwa: Pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab sosial dan natural untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari sistem sosial yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya.
b. Tujuan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
            Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang bersifat positif bagi peserta didik, seperti dikatanakan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012: 41) yang menyebutkan beberapa tujuan pendidikan berbasis kearifan lokal yaitu:
1)     Agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan kearifan lokal tersebut.
2)     Mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan, sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah, serta mampu bersaing secara nasional dan global.
3)     Siswa diharapkan mencintai tanah kelahirannya, percaya diri menghadapi masa depan, dan bercita-cita mengembangkan potensi lokal, sehingga daerahnya bias berkembang pesat seiring dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.

2.3 Pasraman Sebagai Penyelenggara Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
            Dalam PMA No. 56 Tahun 2014 pasal (3) disebutkan bahwa Pasraman keagamaan Hindu terdiri dari dua jenis, yaitu Pasraman Formal, dan Pasraman Non-Formal. Dalam pembahasan makalah ini, penulis mengkaji Pasraman Non-formal, sebagaimana hingga saat ini sebagian besar pasraman yang berkembang dan sedang berjalan adalah Pasraman Non-Formal tersebut, yang mana di Bali biasanya pasraman Non-Formal berada  dibawah tanggung jawab desa Pakraman.
            Keberadaan Pasraman Non-formal di masyarakat biasanya memiliki berbagai sebutan sebagaimana yang dituliskan dalam PMA No. 56 Tahun 2014 pasal (21) ayat 1, bahwa Pasraman non-formal diselenggarakan dalam bentuk Pesantian, Sad Dharma, Padepokan, Aguron-guron, Parampara, Gurukula dan bentuk lainnya yang sejenis. Dan dalam pasal (22) disebutkan bahwa dalam penyelenggaraannya wajib memiliki Acarya, Brahmacari, dan Widya Mandala (Tempat pembelajaran). Dalam pasal (23) disebutkan bahwa Acarya atau sebutan sejenis harus memiliki kompetensi ilmu Agama Hindu.
            Keberadaan Pasraman Non-formal di masyarakat sesungguhnya menjadi tempat belajar tambahan bagi para siswa, karena pembelajaran utamanya tetap dilaksanakan di sekolah formal. Munculnya gagasan perlu dibentuk Pasraman non-formal didasari oleh alasan pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di perguruan tinggi hanya sepintas saja tanpa ada diberikan pemahaman yang lebih dalam. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan pendidikan Pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Veda dan hingga kini masih tetap terpelihara. Sistem Asrama menggambarkan hubungan akrab antara guru (acarya) dengan para sisyanya, bagaikan dalam sebuah keluarga, oleh karena itu sistem ini dikenal pula dengan nama sistem pendidikan "gurukula". (Tim Penyusun, 2006: 11).
            Selain mendapat pembelajaran agama secara lebih mendalam, pendidikan pasraman juga menjadi salah satu cara untuk memberikan pendidikan terkait kearifan lokal (local wisdom) suatu daerah (terutama di Bali). Pendidikan berbasis kearifan lokal ini sangat perlu diberikan kepada para generasi muda Bali yang ke depannya akan menjadi tulang punggung pelestari kebudayaan Bali. Budaya Bali yang sudah sangat terkenal hingga ke manca negara memang menjadi senjata utama Bali dalam menarik wisatawan. Namun di sekolah formal, hal semacam ini tidak pernah disinggung secara utuh, sehingga pasraman menjadi jawaban untuk melaksanakan pendidikan berbasis kearifan lokal ini kepada para pemuda Bali. Dengan harapan, ke depannya pemuda Bali tidak tabu dengan kearifan lokal yang telah membawa Bali seperti sekarang ini.
            Untuk pelaksanaan Pasraman di setiap desa yang ada di Bali pastinya selalu dijalankan sesuai dengan aturan desa setempat, kegiatannya juga dilakukan di luar jam sekolah siswa sebagai bentuk pembelajaran tambahan. Dalam kegiatannya, pasraman ini dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk oleh masyarakat setempat untuk mengelola proses pembelajaran di pasraman. Dan disinilah  terlihat bahwa kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi pengetahuan tentang budaya lokal secara khususnya. Pengetahuan budaya lokal seperti, mekidung (belajar menyanyikan lagu keagamaan untuk mengiringi masyarakat hindu pada saat bersembahyang), mejejahitan (belajar membuat alat-alat persembahyangan seperti, canang, bokor, banten, dan tipat), dan menari Bali.
            Setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri, sehingga dalam pasraman Non-formal tidak menggunakan Kurikulum yang baku. Sesuai pernyataan sebelumnya bahwa Pasraman dijalankan sesuai dengan aturan desa setempat. Antara daerah di Gianyar, Klungkung, Karangasem, dan lainnya memiliki kearifan lokal yang berbeda. Olehnya apabila sistem pasraman di Gianyar mengadopsi pelaksanaan pasraman di Karangasem yang tidak memiliki kesamaan tradisi atau budaya maka kemungkinan berjalannya pasraman sangat kecil. Begitu pula dengan daerah yang lain.
            Kegiatan pasraman sendiri pastinya akan diikuti oleh seluruh pelajar yang ada di desa tersebut, karena sesuai dengan awig-awig krama desa bahwa setiap pelajar yang berada di desa setempat harus mengikuti kegiatan pasraman dengan baik. Apabila tidak mau aktif dalam kegiatan pasraman, sanksi moral juga sudah ditetapkan sesuai dengan hukum adat setempat. Maka dari itu, pasraman memiliki peran yang sangat penting bagi generasi muda yang ada di Bali untuk membentuk karakter yang berkualitas dan pastinya akan selalu menjaga kelestarian budaya lokalnya. Selain dengan adanya peraturan hukum adat setempat, pasraman bagi masyarakat Bali yang beragama hindu hukumnya wajib untuk diikuti dengan baik, karena kegiatan yang ada di dalamnya sebagai bentuk darma (berbuat kebajikan) sesuai ajaran agamanya. Akan tetapi bagi pelajar non-hindu juga bisa mengikuti kegiatan pembelajaran di pasraman tersebut, melainkan mengikuti pembelajaran yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah.
            Dalam perkembangannya, pasraman sudah mampu memberikan manfaat yang sangat besar bagi generasi muda di Bali yang khususnya dalam menjaga budaya lokalnya. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, pihak pemerintah Bali dan masing-masing pengurus pasraman harus memberikan terobosan-terobosan yang bersifat inovatif dalam mengembangkan kegiatan masing-masing pasraman. Meski masih kental dengan budaya dan adat setempat, tetapi kegiatan pasraman juga harus dikolaborasikan dengan perkembangan zaman yang semakin modern, seperti dalam memberikan pelajaran mejejahitan dan tarian Bali dengan penggunaan teknologi yang terbarukan. Selain itu agar kegiatan pasraman tidak monoton, maka dibuatkan agenda dengan diadakannya lomba antar pasraman sebagai bentuk apresiasi kepada pelajar pasraman atas prestasinya. Maka dari itu, pasraman di Bali juga harus selalu diperhatikan dan dikembangkan sesuai dengan filosofi agama hindu, yakni Tri Hita Karana yang selalu memperhatikan ketiga kunci kehidupan, parahyangan (manusia berhubungan dengan tuhan), pawongan (manusia berhubungan dengan manusia), dan palemahan (manusia berhubungan dengan lingkungan).
            Dari strategi pendidikan berbasis pasraman di atas, maka pendidikan di Indonesia dan khususnya di Bali akan mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkearifan lokal pastinya. Selain itu juga harus selalu diberikan inovasi-inovasi dalam memajukan pasraman untuk mewujudkan pendidikan lokal yang lebih baik lagi. Meski pasraman berbasikan dengan filosofi masyarakat hindu, tetapi di setiap daerah yang non-hindu bisa menerapkan sistem pendidikan yang berbasis kearifan lokal dengan memadukan hukum atau aturan yang sesuai dengan ajaran agamanya.
            Untuk menggambarkan adanya pendidikan berbasis kearifan lokal dalam penyelenggaraan Pasraman penulis mengambil sampel Pasraman Widya Sastra yang ada di Banjar Apuh, Sebatu, Tegallalang, Gianyar. Pasraman ini diikuti oleh anak-anak di lingkungan Apuh yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Pembelajaran Pasraman juga dilakukan hanya dua kali dalam seminggu yaitu hari kamis dan minggu. Pelaksanaan Pasraman berlangsung di balai wantilan Banjar Apuh. Hingga saat ini, pasraman non-formal di Apuh ini, memang belum memiliki badan hukum, tetapi sudah terdaftar di Kementerian Agama Kabupaten Gianyar, sebagaimana yang tercantum dalam PMA No. 56 Tahun 2014 pasal (21) ayat 3 bahwa Pasraman non-formal yang diselenggarakan dalam bentuk program dan memiliki Brahmacari sebanyak 15 (lima belas) orang atau lebih, wajib didaftarkan pada Kantor Kementerian agama Kabupaten/Kota.
            Dalam pelaksanaan Pasraman, Desa pekraman akan menunjuk seseorang yang dianggap mampu untuk menjadi Ketua Pasraman, dibantu sekretaris dan bendahara. Kemudian staf pasraman ini akan mengurusi segala administrasi Pasraman. Sedangkan untuk program yang akan dijalankan pasraman, tidak langsung ditentukan begitu saja oleh pengurus Pasraman, melainkan melalui rapat krama Banjar. Sebagaimana Pasraman non-formal tersebut yang merupakan milik masyarakat dan untuk masyarakat, programnyapun harus sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
            Program yang diusulkan biasanya mengacu pada kepentingan adat,  maksudnya bahwa masyarakat akan mengusulkan materi ajar yang belum/jarang diberikan di sekolah formal sehingga melalui kegiatan pasraman ini, anak didik tetap memiliki kemampuan di bidang tertentu yang bertalian erat dengan kearifan lokal. Untuk Pasraman Widya Sastra sendiri, disepakati oleh krama Banjar bahwa program pembelajaran yang dijalankan berupa pelajaran Tari, Dharma Gita, Tabuh, Aksara Bali, Mejejaitan, Meulat-ulatan, Seni Ukir, dan Pendidikan Agama Hindu.
            Dipilihnya program tersebut tentunya mendasar pada keadaan masyarakat di Banjar Apuh, Sebatu, Tegallalang, Gianyar. Masyarakat disana memang sebagian besar berprofesi sebagai pematung, yang juga selalu mengutamakan adat dan tradisi lokal dengan mulai menggali pemahaman Agama Hindu sesuai ajaran Weda ditengah pemahaman "Mule Keto" yang melekat.
2.3.1 Proses Pengenalan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Pasraman
            Kearifan lokal yang dipahami sebagai gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari, diperkenalkan kepada para siswa pasraman melalui cara tidak langsung. Pembelajaran di pasraman akan berlangsung dengan lebih mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik, olehnya dalam kegiatan pasraman lebih didominasi oleh kegiatan yang sifatnya praktis sambil dalam pembelajaran itu secara perlahan guru (acarya) memperkenalkan kearifan lokal.
            Secara lebih jauh, pengenalan kearifan lokal akan sangat dirasakan oleh para siswa Pasraman ketika mereka menerapkan ilmu yang telah didapat di pasraman dalam kehidupan adat di masyarakat. Dalam acara tersebut para siswa akan mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Dengan mendapat kesempatan untuk bermasyarakat, para siswa pasraman akan mendapatkan pemahaman yang disebut sebagai kearifan lokal.
            Pengenalan kearifan lokal ini, sesuai dengan cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008: 71).
            Menurut Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mengisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik (Hergenhan dan Olson, 2008: 314-315).
            Apa yang disampaikan oleh Jean Piaget mengenai teori Kontruktivisme memiliki benang merah dengan pelaksanaan pasraman sebagai tempat pendidikan berbasis kearifan lokal. Yang mana pengetahun (kognitif) yang diperoleh oleh  siswa pasraman akan sangat berkaitan dengan materi (sesuai daerah) yang diberikan. Seperti contoh sebelumnya, yaitu pasraman Widya Sastra yang masih berada di kawasan kabupaten Gianyar yang terkenal dengan daerah seni, maka materi pembelajaran pasramannya juga tidak bisa lepas dari hal tersebut, dan bahkan menjadi materi belajar unggulan (Tari, Tabuh, Seni Ukur).
            Menurut teori kontruktivisme juga, bahwa proses pengenalan kearifan lokal oleh pasraman yang berlangsung secara tidak langsung tidak lepas dari adanya asimilasi dan akomodasi dalam proses pembelajarannya. Karena proses inilah siswa akan mengenal kearifan lokalnya secara perlahan tetapi pasti. Karena pada dasarnya Piaget juga berpendapat bahwa setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengeathuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009:124). Sehingga benar adanya, bahwa pendidikan berbasis kearifan lokal ini, hanya untuk memicu kembali pemahaman siswa akan kearifan lokalnya. Padahal sejak lahir seorang anak sudah digandengi dengan kearifan lokal, yang hanya saja jika tidak diberikan sentuhan kembali pamahaman itu tidak akan sampai secara utuh kepada para siswa.
2.3.2 Analisa Proses Pelaksanaan
1. Kebijakan dan Isu Global
            Telah dinyatakan secara tegas dalam dalam Deklarasai Hak-hak Asasi Manusia pasal 26 dinyatakan bahwa: "Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran … pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia …"
            Sehingga dari pernyataan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia tersebut, pelaksanaan pasraman berbasis kearifan lokal menjadi sesuatu yang sah dilakukan guna menunjang kualitas generasi muda Hindu di Bali dalam rangka menjaga budaya dan adat istiadat yang telah menjadi kebanggaan sejak masa lampau. Selain itu, dengan adanya pasrasman berbasis kearifan lokal ini, generasi muda akan menjadi lebih cerdas dalam beragama, dan memahami secara lebih jelas mengenai konsep agama yang dianut (dalam hal ini Hindu).
2. Kebijakan Pemerintah
            Pemerintah telah menunjukkan dukungannya berkenaan dengan keberadaan pasraman baik formal maupun non formal dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Agama No. 56 Tahun 2014 tentang pendidikan keagamaan Hindu. Dari hal ini, menjadi bukti bahwa Pemerintah selalu mendukung hal-hal positif, salah satunya yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pasraman.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari makalah yang telah penulis selesaikan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut
a.       Pasraman adalah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar secara non formal yang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India dan dibentuk oleh masyarakat Hindu guna mengembangkan kemampuan keagamaan secara teori maupun praktek, serta akhlak sesuai ajaran agama Hindu. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan di pasraman biasanya melalui metode sad dharma, yaitu: Dharma Tula, Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Yatra, Dharma Sedhana, dan Dharma Santi.
b.      Kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari. Adapun bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus).
c.       Pelaksanaan Pasraman di setiap desa yang ada di Bali pastinya selalu dijalankan sesuai dengan aturan desa setempat, kegiatannya juga dilakukan di luar jam sekolah siswa sebagai bentuk pembelajaran tambahan. Dalam kegiatannya, pasraman ini dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk oleh masyarakat setempat untuk mengelola proses pembelajaran di pasraman. Dan disinilah  terlihat bahwa kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi pengetahuan tentang budaya lokal secara khususnya. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal, pengenalannya kepada para siswa berlangsung secara tidak langsung dan perlahan. Adapun terkait pengembangan Pasraman di era kini paling tidak sudah ada dua aspek yang memayungi, yaitu Deklarasai Hak-hak Asasi Manusia pasal 26 dan PMA No. 56 Tahun 2014.
3.2 Saran-saran
Dari pemikiran yang telah penulis tuangkan dalam penyusunan makalah ini, ada beberapa saran yang dapat saya sampaikan, yaitu sebagai berikut:
a.       Sebagai generasi muda Hindu, marilah bersama-sama mengembangkan Pasraman dimanapun berada, hal ini dimaksudkan guna meningkatkan kualitas generasi muda Hindu baik dalam bidang keagamaan maupun kearifan lokal.
b.      Pasraman harus mampu menjadi penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal untuk menjaga kelesatarian budaya dan adat istiadat, selain juga mempersiapkan generasi muda untuk menjadi masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Affandy, Didied dan Putu Wulandari. 2012. An Expliration Local Wisdom Priority in Public Budgeting Process ol Local Goverment. Int. J. Eco. Res. 5(III).
Alfian, Magdalia. 2013. Potensi Kearifan Lokal dalm Pembentukan Jati Diri danKarakter Bangsa. Prosiding The 5th International Cofereence on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”. Jakarta: FIPB UI.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Pendidikan berbasis keunggulan lokal. Yogyakarta: DIVA Press.
Asriati, Nuraini. 2012. Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora. 2(III).
Budi, Made. 2011. Peranan Pendidikan Pasraman Santi Aji di Lingkungan Keluarga Hindu Dusun Kembang Sari Desa Sepayung Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa Besar. Skripsi tidak dipublikasikan oleh STAHN Gde Pudja Mataram
Djamarah, Syaiful Bahri. 2010: Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta. Jakarta
Haidlor Ali Ahmad. 2010. Kearifan Lokal sebagai Landasan Pembangunan Bangsa. Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius. 34(IX).
https://id.wikipedia.org/wiki/Pasraman, akses: 30 Desember 2016
Mungmachon, Roikhwanphut. 2012. Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science. 13(II).
Peraturan Menteri Agama No. 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu
Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Puspa Rini & Siti Czafrani. 2010. Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Kearifan Lokal oleh Pemuda dalam rangka Menjawab Tantangan Ekonomi. Jurnal UI untuk Bangsa Sosial dan Humaniora. 1(I). Hlm. 12-24.
Rusdi, Farid. 2012. Bahasa dan Industri Radio. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. 4(II). Hlm. 347-356.
Sartini, Ni Wayan. 2004. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasan). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. V(1)
Setiyadi, Putut. 2012. Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam Tembang Macapat dan Pemanfaatannya sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bangsa. Magistra.
Tim Penyusun. 2006. Pedoman Pengelolaan Pasraman. Surabaya: Paramita
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zuhdan K. Prasetyo. 2013. Pembelajaran Sains Berbasis Kearifan Lokal. Prosidind, Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika. Surakarta: FKIP UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar