BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara. Dari
definisi ini dapat disimak bahwa pendidikan selalu berlangsung dengan disengaja
sehingga proses pembelajaran antara guru dan siswa dapat berlangsung. Harapan
yang selayaknya diperoleh dari pendidikan adalah mampu dikembangkannya potensi
atau bakat yang dimiliki oleh anak secara maksimal. Pembentukan karakter dalam
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara guru, orang tua dan seluruh
stakeholder pendidikan.
Dalam
bab II pasal (3) UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dari pernyatan ini sudah dipaparkan bahwa tujuan
pendidikan bukanlah untuk membuat peserta didik pintar secara kognitif belaka,
tetapi banyak aspek yang perlu dicapai. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak
generasi muda yang ke depannya mampu menjadi tulang punggung bangsa dengan
karakter kebangsaan yang amat. Peserta didik adalah agen perubahan (agent of change), sehingga dengan
menanamkan karakter yang baik, niscaya bangsa ini ke depan akan dibawa menuju
perubahan yang lebih baik lagi.
Dalam
pendidikan yang baik, akan memberikan pemahaman kepada siswa mengenai kearifan
lokal daerah setempat. Maksudnya bahwa peserta didik semakin menyadari dari
mana dia berasal, bagaimana budaya di daerahnya, dan bagaimana kehidupan sosial
di masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat siswa menjadi lebih
berkarakter dan memahami keberadaan dirinya. Dengan memahami kearifan lokalnya,
siswa akan semakin mudah menemukan bakat yang ada dalam dirinya, sehingga
dengan hal tersebut akan mampu dikembangkan dengan cara yang lebih optimal. Kearifan
lokal tidak akan pernah bisa dilepaskan dari pendidikan, bahkan hal inilah yang
membuat ciri khas pendidikan antara sekolah satu dengan yang lainya. Dan
tentunya korelasi antara pendidikan dan kearifan lokal ini tidak boleh berjalan
tanpa pedoman pasti, melainkan sudah ada kurikulum yang akan menjadi batas dan
pedoman agar tidak melenceng dari
standar nasional.
Berbicara
mengenai kearifan lokal, Putut Setiyadi (2012: 75) menyatakan bahwa kearifan
lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh
sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih
dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah
tertentu. Kearifan lokal ini akan menjadi senjata bagi peserta didik ketika
telah ikut tergabung dalam masyarakat untuk menghadapi kendala dalam kehidupan.
Dengan kearifan lokal tradisi dan budaya di setiap daerah akan dapat
dilestarikan, dan hal ini tentunya amat baik ketika pendidikan yang tidak bisa
dilepaskan dari unsur budaya digandengi oleh kearifan lokal.
Berbicara
mengenai pendidikan, tentu akan diingat bahwa pendidikan dibagi menjadi tiga
kelompok besar sesuai dengan tempat berlangsungnya, yaitu pendidikan informal
yang merupakan pendidikan pertama dan utama yang berlangsung di lingkungan
keluarga, kemudian ada pendidikan formal yang merupakan pendidikan di instansi
pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), dan ada pula pendidikan nonformal,
yaitu pendidikan yang prosesnya hampir sama dengan pendidikan formal hanya saja
tidak berlangsung di instansi pendidikan, seperti tempat kursus, pasraman,
pesantren, dan lainnya.
Dalam
kaitannya dengan peserta didik Hindu, pasraman menjadi pilihan yang sangat
tepat. Melalui pendidikan pasraman diharapkan penanaman nilai-nilai kearifan
lokal kepada para peserta didika akan menjadi semakin mudah. Menurut Tim
Penyusun (2006: 11) Pasraman merupakan lembaga pendidikan khusus agama Hindu
yang dijadikan alternatif pendidikan agama Hindu. Sehingga pasraman tidak boleh
dikembangkan oleh umat selain Hindu, dan tentunya untuk digandengi pengembangan
kearifan lokal, maka Bali menjadi tempat ideal untuk dilaksanakan. Hal ini
didasari oleh eratnya kesinambungan antara agama Hindu dan budaya masyarakat
Bali.
Dalam PP No 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan disebutkan bahwa
Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk
sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam PP tersebut juga
dituliskan bahwa pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur
pendidikan formal dan nonformal. Keberadaan pasraman semakin dipertegas pula
dengan adanya PMA No. 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu yang
menyatakan bahwa Pendidikan Keagamaan Hindu adalah jalur pendidikan formal dan
nonformal dalam wadah pasraman. Pasraman formal adalah jalur pendidikan
pasraman yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan atas. Sedangkan pasraman nonformal adalah
jalur pendidikan di luar pasraman formal yang dilaksanakan secara terstruktur,
dan pasraman non-formal inilah yang dirasa untuk saat ini cocok untuk dikembangkan
melihat keadaan sosial masyarakat dan keberadaan desa pakraman sebagai payung
pasraman non-formal tersebut.
Keberadaan pasraman
non-formal di Bali tentunya menjadi pilihan yang tepat untuk memperkenalkan
kearifan lokal kepada para siswa. Pasraman non-formal yang memang dalam
pemilihan materinya belum mengacu pada standar kurikulum tertentu hingga saat
ini selalu memperhatikan kearifan lokal. Inilah yang kemudian diajarkan kepada
para siswa sehingga pemahaman yang tidak diperoleh dari bangku pendidikan
formal dapat diperoleh melalui pasraman non-formal ini. dan berdasarkan hal
tersebut, pada kesempatan ini penulis mencoba menguraikan perihal keberadaan
kearifan lokal dalam pembelajaran pasraman non-formal melalui sebuah makalah
yang berjudul "Pasraman sebagai
Penyelenggara Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal".
1.2
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang telah penulis uraikan, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang menjadi acuan dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
a.
Apakah Definisi Pasraman?
b. Apakah Definisi Kearifan Lokal?
c.
Bagaimanakah peranan Pasraman
sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk memahami definisi Pasraman.
b. Untuk memahami definisi Kearifan Lokal.
c.
Untuk menggambarkan peranan
Pasraman sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
yang dapat diperoleh melalui penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.
Penulis dan pembaca dapat memahami
definisi pasraman.
b. Penulis dan pembaca dapat memahami definisi kearifan lokal.
c.
Penulis dan pembaca dapat
mengetahui peran Pasraman sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan
lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pasraman
Ada beberapa
pengertian pasraman yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: 1) Menurut Budi
(2011: 7) Pasraman merupakan lembaga pendidikan non formal yang dibentuk oleh
masyarakat yang telah terdaftar pada instansi pemerintah, sehingga proses pembinaan
dan pengawasannya oleh pemerintah bersama dengan pihak Bimas Hindu yang
mendirikannya memiliki tanggung jawab. 2) Kata "Pasraman" berasal
dari kata “Asrama” (sering ditulis dan di baca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar
atau pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri,
mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras,
pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman
yang berkembang sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di
India, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Veda dan hingga kini masih tetap
terpelihara (Tim Penyusun, 2006 : 11). Dalam Wikipedia (Desember, 2016) disebutkan
bahwa pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu. Lembaga ini
merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah
formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu.
Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan
di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan
disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.
Dari pengertian
pasraman di atas, dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pasraman dalam
makalah ini adalah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar secara non
formal yang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India dan
dibentuk oleh masyarakat Hindu guna mengembangkan kemampuan keagamaan secara
teori maupun praktek, serta akhlak sesuai ajaran agama Hindu.
Apabila ditinjau lebih
jauh, sesungguhnya keberadaan pasraman ini sangatlah penting bagi umat Hindu,
hal ini disebabkan dengan manajemen yang baik, pasraman akan mampu menunjukkan
fungsi keberadaannya sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan
oleh tim penyusun bahwa Pasraman diharapkan mempunyai fungsi:
1.
Penyelenggara prosesi pembelajaran
pendidikan agama hindu,
2. Pengembang kemampuan dasar
pendidikan agama Hindu,
3. Lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama
Hindu bagi warga yang memerlukannya,
4.
Institusi yang mampu memberikan
bimbingan dalam pelaksanaan pengalaman nilai-nilai budi pekerti ajaran Hindu,
5.
Menjadi mediator menjalin hubungan
kerjasama antara warga Pasraman dengan masyarakat Hindu. (Tim Penyusun,
2006:15-16)
Selain fungsi,
penyelenggaraan Pasraman juga memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut:
1)
Memberikan bekal kemampuan dasar
kepada siswa untuk mengembangkan pribadi yang memiliki Sradha dan Bhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Membina siswa agar memiliki
pengalaman, pengetahuan, keterampilan yang dapat dikembangkan dalam
kehidupannya (Tim Penyusun, 2006: 16).
2.1.1 Strategi Pembelajaran
Pasraman
Proses
pembelajaran adalah suatu sistem, dalam proses ini ada beberapa komponen yang
saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah
siswa, guru, materi/bahan ajar, strategi/model pembelajaran. Strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di
dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan
itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan
siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru,
namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke
depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa (Syaiful. 2010, 37- 41).
Menurut
Tim Penyusun (2006: 34) dalam proses pembelajaran ada beberapa komponen yang
saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Beberapa model pembelajaran yang
dapat digunakan oleh guru-guru di Pasraman antara lain dengan menggunakan
metode pembinaan agama Hindu yang dikenal dengan sad dharma, yaitu :
1.
Dharma Tula, yaitu bertimbang wirasa atau
berdiskusi. Tujuan metode dharma tula adalah sebagai salah satu metode yang
dapat dipakai sarana untuk melaksanakan proses pembelajaran agar siswa lebih
aktif, dengan harapan para siswa nantinya mampu dan memiliki keberanian untuk
mengemukakan pendapat serta dalam rangka melatih siswa untuk berargumentasi dan
berbicara tentang keberadaan Hindu.
2. Dharma Wacana, adalah metode pembelajaran agama Hindu yang dapat digunakan untuk
mendiskripsikan materi pembelajaran agama Hindu kepada siswa.
3. Dharma Gita, adalah nyanyian tentang dharma atau sebagai dharma, maksudnya ajaran
agama Hindu yang dikemas dalam bentuk nyanyian spiritual yang bernilai ritus
sehingga yang menyanyikan dan yang mendengarkannya sama-sama dapat belajar
menghayati serta memperdalam ajaran dharma.
4. Dharma Yatra, yaitu usaha meningkatkan pemahaman dan pengalaman pembelajaran agama
Hindu melalui persembahyangan langsung ke tempat-tempat suci.
5. Dharma Sadhana, adalah realisasi ajaran dharma yang harus ditanamkan kepada siswa
dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk selalu taat dan mantap dalam
menjalankan ajaran agama Hindu.
6. Dharma Santi, yaitu kebiasaan saling memaafkan di antara sesame umat, bahkan di
antara umat beragama.
2.2 Definisi Kearifan Lokal
Kearifan
lokal menurut Magdalia Alfian (2013: 428) diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu
Putut Setiyadi (2012: 75) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan
kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara
turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh
masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Zuhdan K. Prasetyo (2013: 3)
mengatakan bahwa local wisdom (kearifan
lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Selanjutnya Nuraini
Asriati (2012: 111) berpandangan bahwa kearifan lokal merupakan suatu gagasan
konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara
terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan
kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian keseharian dari hidup
dan sifatnya biasa-biasa saja). Hal senada disampaikan oleh Ni Wayan Sartini
(2004: 111) yang mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local wisdom is basic knowledge gained from living in balance with nature.
It is related to culture in the community which is accumulated and passed on (Roikhwanphut Mungmachon, 2012: 176). Definisi di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal
merupakan pengetahuan dasar yang diperoleh
dari keseimbangan hidup dengan alam, hal ini terkait dengan kebudayaan masyarakat yang terakumulasi secara
terus-menerus.
Didied Affandy and
Putu Wulandari (2012: 64) mengatakan Local
wisdom refers to the knowledge that comes from the community’s experiences and
the accumulation of local knowledge. Local
wisdom is found in societies, communities, and individuals. Pendapat ini
mempunyai arti bahwa kearifan lokal mengacu pada pengetahuan yang berasal dari
pengalaman masyarakat dan merupakan akumulasi dari pengetahuan lokal. Kearifan
lokal ditemukan di dalam masyarakat, komunitas dan individu. Selanjutnya
Haidlor Ali Ahmad (2010: 5) mendefinisikan: "Kearifan lokal sebagai suatu
sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang
berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya
yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat."
Dari pendapat para
ahli di atas, penulis dapat mengambil benang merah bahwa kearifan lokal
merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam
sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa,
kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.
2.2.1 Bentuk Kearifan Lokal
Nuraini
Asriati (2012: 111) mengatakan bahwa bentuk kearifan lokal dalam masyarakat
dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal
ialah:
a.
Cinta kepada Tuhan, alam semesta
beserta isinya.
b. Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri.
c. Jujur.
d. Hormat dan santun.
e. Kasih sayang dan peduli.
f. Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah.
g. Keadilan dan kepemimpinan.
h. Baik dan rendah hati.
i.
Toleransi, cinta damai, dan
persatuan.
Haidlor Ali Ahmad (2010: 34)
mengemukakan kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi
acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:
a.
Tata aturan yang menyangkut
hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar
individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan
dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari
b.
Tata aturan menyangkut hubungan
manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya
konservasi alam.
c.
Tata aturan yang menyangkut
hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan
lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, maupun pepatah.
Dalam masyarakat, kearifan-kearifan
lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan
kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Sama halnya dengan
pendapat Nurma Ali Ridwan (2007:7) yang mengatakan bahwa kearifan lokal ini
akan mewujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal akan tercermin dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu.
Kearifan lokal diungkapkan dalam
bentuk kata-kata bijak (falsafah) berupa nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore (cerita lisan) dan sebagainya;
aturan, prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem
sosial; ritus, seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang
terlihat dalam perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial (Joko Tri Haryanto,
2013: 368).
Ni Wayan Sartini (2009: 28)
mengatakan bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah
bahasa dan budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai
alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan
budaya suatu masyarakat. Karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di
lingkungan suatu masyarakat (Farid Rusdi, 2012 : 347). Bahasa daerah merupakan
salah satu bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota masyarakat
pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Banyak sekali bahasa daerah yang
terdapat di nusantara ini seperti bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa,
bahasa Melayu, dan lain-lain.
Francis Fukuyama (dalam Puspa dan
Siti Czafrani, 2010: 10), memandang kearifan lokal sebagai modal sosial yang
dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan perekonomian
masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat memicu pertumbuhan di berbagai sektor
perekonomian karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan
hubungan dalam jaringan yang lebih luas yang tumbuh di kalangan masyarakat.
2.2.2
Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Kearifan Lokal dalam hal ini juga
dapat disebut dengan keunggulan lokal, local
genius atau local wisdom, seperti
yang dikatakan oleh Kemendikbud bahwa Istilah local wisdom, local genius, kearifan Lokal, yang kemudian disebut
keunggulan lokal (dalam Zuhdan K. Prasetyo, 2013: 3). Kearifan lokal dapat
dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan
budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah.
Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
menurut Zuhdan K. Prasetyo (2013:3) merupakan usaha sadar yang terencana
melalui penggalian dan pemanfaatan potensi daerah setempat secara arif dalam
upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian, pengetahuan dan
sikap dalam upaya ikut serta membangun bangsa dan negara.
a.
Landasan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Landasan yuridis kebijakan nasional
tentang pendidikan berbasis keunggulan lokal /kearifan lokal, diantaranya:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 BAB XIV Pasal 50
ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar
dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.
2)
Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 pasal 34, bahwa “Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah
pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan
dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah”,
3)
Peraturan Pemerintah Nomor Nomor
17 Tahun 2010 pasal 35 ayat 2, bahwa “Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan
dan/atau memfasilitasi perintisan program dan/atau satuan pendidikan yang sudah
atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi
program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis
keunggulan lokal”.
4) Renstra Kemendiknas 2010-2014 bahwa: Pendidikan harus menumbuhkan
pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu
pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan harus
memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab sosial dan natural
untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari
sistem sosial yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian dari sistem
alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya.
b.
Tujuan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Pendidikan berbasis kearifan lokal
tentu memiliki tujuan yang bersifat positif bagi peserta didik, seperti
dikatanakan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012: 41) yang menyebutkan beberapa
tujuan pendidikan berbasis kearifan lokal yaitu:
1) Agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal, memahami
berbagai aspek yang berhubungan dengan kearifan lokal tersebut.
2)
Mampu mengolah sumber daya, terlibat
dalam pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan,
sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan
sumber daya yang menjadi unggulan daerah, serta mampu bersaing secara nasional
dan global.
3)
Siswa diharapkan mencintai tanah
kelahirannya, percaya diri menghadapi masa depan, dan bercita-cita
mengembangkan potensi lokal, sehingga daerahnya bias berkembang pesat seiring
dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.
2.3
Pasraman Sebagai Penyelenggara Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Dalam PMA No. 56 Tahun 2014 pasal
(3) disebutkan bahwa Pasraman keagamaan Hindu terdiri dari dua jenis, yaitu
Pasraman Formal, dan Pasraman Non-Formal. Dalam pembahasan makalah ini, penulis
mengkaji Pasraman Non-formal, sebagaimana hingga saat ini sebagian besar
pasraman yang berkembang dan sedang berjalan adalah Pasraman Non-Formal
tersebut, yang mana di Bali biasanya pasraman Non-Formal berada dibawah tanggung jawab desa Pakraman.
Keberadaan Pasraman Non-formal di
masyarakat biasanya memiliki berbagai sebutan sebagaimana yang dituliskan dalam
PMA No. 56 Tahun 2014 pasal (21) ayat 1, bahwa Pasraman non-formal
diselenggarakan dalam bentuk Pesantian, Sad Dharma, Padepokan, Aguron-guron,
Parampara, Gurukula dan bentuk lainnya yang sejenis. Dan dalam pasal (22)
disebutkan bahwa dalam penyelenggaraannya wajib memiliki Acarya, Brahmacari,
dan Widya Mandala (Tempat pembelajaran). Dalam pasal (23) disebutkan bahwa
Acarya atau sebutan sejenis harus memiliki kompetensi ilmu Agama Hindu.
Keberadaan Pasraman Non-formal di
masyarakat sesungguhnya menjadi tempat belajar tambahan bagi para siswa, karena
pembelajaran utamanya tetap dilaksanakan di sekolah formal. Munculnya gagasan
perlu dibentuk Pasraman non-formal didasari oleh alasan pendidikan agama Hindu
yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di
perguruan tinggi hanya sepintas saja tanpa ada diberikan pemahaman yang lebih dalam.
Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan
pendidikan Pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia
dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan
gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang sekarang
diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India sebagaimana
disuratkan dalam kitab suci Veda dan hingga kini masih tetap terpelihara.
Sistem Asrama menggambarkan hubungan akrab antara guru (acarya) dengan para
sisyanya, bagaikan dalam sebuah keluarga, oleh karena itu sistem ini dikenal
pula dengan nama sistem pendidikan "gurukula".
(Tim Penyusun, 2006: 11).
Selain mendapat pembelajaran agama
secara lebih mendalam, pendidikan pasraman juga menjadi salah satu cara untuk
memberikan pendidikan terkait kearifan lokal (local wisdom) suatu daerah (terutama di Bali). Pendidikan berbasis
kearifan lokal ini sangat perlu diberikan kepada para generasi muda Bali yang
ke depannya akan menjadi tulang punggung pelestari kebudayaan Bali. Budaya Bali
yang sudah sangat terkenal hingga ke manca negara memang menjadi senjata utama
Bali dalam menarik wisatawan. Namun di sekolah formal, hal semacam ini tidak
pernah disinggung secara utuh, sehingga pasraman menjadi jawaban untuk
melaksanakan pendidikan berbasis kearifan lokal ini kepada para pemuda Bali.
Dengan harapan, ke depannya pemuda Bali tidak tabu dengan kearifan lokal yang
telah membawa Bali seperti sekarang ini.
Untuk pelaksanaan Pasraman di setiap
desa yang ada di Bali pastinya selalu dijalankan sesuai dengan aturan desa
setempat, kegiatannya juga dilakukan di luar jam sekolah siswa sebagai bentuk
pembelajaran tambahan. Dalam kegiatannya, pasraman ini dipimpin oleh seseorang
yang ditunjuk oleh masyarakat setempat untuk mengelola proses pembelajaran di
pasraman. Dan disinilah terlihat bahwa kegiatan-kegiatan
pembelajaran yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan saja,
tetapi pengetahuan tentang budaya lokal secara khususnya. Pengetahuan budaya
lokal seperti, mekidung (belajar menyanyikan lagu keagamaan untuk mengiringi
masyarakat hindu pada saat bersembahyang), mejejahitan (belajar membuat alat-alat
persembahyangan seperti, canang, bokor, banten, dan tipat), dan menari Bali.
Setiap daerah memiliki kearifan
lokal tersendiri, sehingga dalam pasraman Non-formal tidak menggunakan
Kurikulum yang baku. Sesuai pernyataan sebelumnya bahwa Pasraman dijalankan
sesuai dengan aturan desa setempat. Antara daerah di Gianyar, Klungkung,
Karangasem, dan lainnya memiliki kearifan lokal yang berbeda. Olehnya apabila
sistem pasraman di Gianyar mengadopsi pelaksanaan pasraman di Karangasem yang
tidak memiliki kesamaan tradisi atau budaya maka kemungkinan berjalannya
pasraman sangat kecil. Begitu pula dengan daerah yang lain.
Kegiatan pasraman sendiri pastinya
akan diikuti oleh seluruh pelajar yang ada di desa tersebut, karena sesuai
dengan awig-awig krama desa bahwa setiap pelajar yang berada di desa setempat
harus mengikuti kegiatan pasraman dengan baik. Apabila tidak mau aktif dalam
kegiatan pasraman, sanksi moral juga sudah ditetapkan sesuai dengan hukum adat
setempat. Maka dari itu, pasraman memiliki peran yang sangat penting bagi
generasi muda yang ada di Bali untuk membentuk karakter yang berkualitas dan pastinya
akan selalu menjaga kelestarian budaya lokalnya. Selain dengan adanya peraturan
hukum adat setempat, pasraman bagi masyarakat Bali yang beragama hindu hukumnya
wajib untuk diikuti dengan baik, karena kegiatan yang ada di dalamnya sebagai
bentuk darma (berbuat kebajikan) sesuai ajaran agamanya. Akan tetapi bagi
pelajar non-hindu juga bisa mengikuti kegiatan pembelajaran di pasraman
tersebut, melainkan mengikuti pembelajaran yang berkaitan dengan mata pelajaran
di sekolah.
Dalam perkembangannya, pasraman
sudah mampu memberikan manfaat yang sangat besar bagi generasi muda di Bali
yang khususnya dalam menjaga budaya lokalnya. Akan tetapi sesuai dengan
perkembangan zaman, pihak pemerintah Bali dan masing-masing pengurus pasraman
harus memberikan terobosan-terobosan yang bersifat inovatif dalam mengembangkan
kegiatan masing-masing pasraman. Meski masih kental dengan budaya dan adat
setempat, tetapi kegiatan pasraman juga harus dikolaborasikan dengan
perkembangan zaman yang semakin modern, seperti dalam memberikan pelajaran
mejejahitan dan tarian Bali dengan penggunaan teknologi yang terbarukan. Selain
itu agar kegiatan pasraman tidak monoton, maka dibuatkan agenda dengan
diadakannya lomba antar pasraman sebagai bentuk apresiasi kepada pelajar
pasraman atas prestasinya. Maka dari itu, pasraman di Bali juga harus selalu
diperhatikan dan dikembangkan sesuai dengan filosofi agama hindu, yakni Tri
Hita Karana yang selalu memperhatikan ketiga kunci kehidupan, parahyangan (manusia berhubungan dengan
tuhan), pawongan (manusia berhubungan
dengan manusia), dan palemahan
(manusia berhubungan dengan lingkungan).
Dari strategi pendidikan berbasis
pasraman di atas, maka pendidikan di Indonesia dan khususnya di Bali akan
mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkearifan lokal pastinya. Selain
itu juga harus selalu diberikan inovasi-inovasi dalam memajukan pasraman untuk
mewujudkan pendidikan lokal yang lebih baik lagi. Meski pasraman berbasikan
dengan filosofi masyarakat hindu, tetapi di setiap daerah yang non-hindu bisa
menerapkan sistem pendidikan yang berbasis kearifan lokal dengan memadukan
hukum atau aturan yang sesuai dengan ajaran agamanya.
Untuk menggambarkan adanya
pendidikan berbasis kearifan lokal dalam penyelenggaraan Pasraman penulis
mengambil sampel Pasraman Widya Sastra yang ada di Banjar Apuh, Sebatu,
Tegallalang, Gianyar. Pasraman ini diikuti oleh anak-anak di lingkungan Apuh
yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Pembelajaran Pasraman juga dilakukan
hanya dua kali dalam seminggu yaitu hari kamis dan minggu. Pelaksanaan Pasraman
berlangsung di balai wantilan Banjar Apuh. Hingga saat ini, pasraman non-formal
di Apuh ini, memang belum memiliki badan hukum, tetapi sudah terdaftar di
Kementerian Agama Kabupaten Gianyar, sebagaimana yang tercantum dalam PMA No.
56 Tahun 2014 pasal (21) ayat 3 bahwa Pasraman non-formal yang diselenggarakan
dalam bentuk program dan memiliki Brahmacari sebanyak 15 (lima belas) orang
atau lebih, wajib didaftarkan pada Kantor Kementerian agama Kabupaten/Kota.
Dalam pelaksanaan Pasraman, Desa
pekraman akan menunjuk seseorang yang dianggap mampu untuk menjadi Ketua
Pasraman, dibantu sekretaris dan bendahara. Kemudian staf pasraman ini akan
mengurusi segala administrasi Pasraman. Sedangkan untuk program yang akan dijalankan
pasraman, tidak langsung ditentukan begitu saja oleh pengurus Pasraman,
melainkan melalui rapat krama Banjar. Sebagaimana Pasraman non-formal tersebut
yang merupakan milik masyarakat dan untuk masyarakat, programnyapun harus
sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Program yang diusulkan biasanya
mengacu pada kepentingan adat, maksudnya
bahwa masyarakat akan mengusulkan materi ajar yang belum/jarang diberikan di
sekolah formal sehingga melalui kegiatan pasraman ini, anak didik tetap
memiliki kemampuan di bidang tertentu yang bertalian erat dengan kearifan
lokal. Untuk Pasraman Widya Sastra sendiri, disepakati oleh krama Banjar bahwa
program pembelajaran yang dijalankan berupa pelajaran Tari, Dharma Gita, Tabuh,
Aksara Bali, Mejejaitan, Meulat-ulatan, Seni Ukir, dan Pendidikan Agama Hindu.
Dipilihnya program tersebut tentunya
mendasar pada keadaan masyarakat di Banjar Apuh, Sebatu, Tegallalang, Gianyar.
Masyarakat disana memang sebagian besar berprofesi sebagai pematung, yang juga
selalu mengutamakan adat dan tradisi lokal dengan mulai menggali pemahaman
Agama Hindu sesuai ajaran Weda ditengah pemahaman "Mule Keto" yang
melekat.
2.3.1
Proses Pengenalan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Pasraman
Kearifan lokal yang dipahami sebagai
gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah
masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa,
kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari, diperkenalkan kepada para siswa
pasraman melalui cara tidak langsung. Pembelajaran di pasraman akan berlangsung
dengan lebih mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik, olehnya dalam
kegiatan pasraman lebih didominasi oleh kegiatan yang sifatnya praktis sambil
dalam pembelajaran itu secara perlahan guru (acarya) memperkenalkan kearifan
lokal.
Secara lebih jauh, pengenalan
kearifan lokal akan sangat dirasakan oleh para siswa Pasraman ketika mereka
menerapkan ilmu yang telah didapat di pasraman dalam kehidupan adat di
masyarakat. Dalam acara tersebut para siswa akan mendapat kesempatan untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Dengan mendapat kesempatan untuk
bermasyarakat, para siswa pasraman akan mendapatkan pemahaman yang disebut
sebagai kearifan lokal.
Pengenalan kearifan lokal ini,
sesuai dengan cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses
untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya
siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar
realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan
pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan
teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008: 71).
Menurut Teori Belajar Kontruktivisme
Jean Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi),
yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan
lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat
diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mengisap, menatap,
menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang
dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka
anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan
fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk
melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang amat penting dalam
teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif
organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan
menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik (Hergenhan dan Olson,
2008: 314-315).
Apa yang disampaikan oleh Jean
Piaget mengenai teori Kontruktivisme memiliki benang merah dengan pelaksanaan
pasraman sebagai tempat pendidikan berbasis kearifan lokal. Yang mana
pengetahun (kognitif) yang diperoleh oleh
siswa pasraman akan sangat berkaitan dengan materi (sesuai daerah) yang
diberikan. Seperti contoh sebelumnya, yaitu pasraman Widya Sastra yang masih
berada di kawasan kabupaten Gianyar yang terkenal dengan daerah seni, maka
materi pembelajaran pasramannya juga tidak bisa lepas dari hal tersebut, dan
bahkan menjadi materi belajar unggulan (Tari, Tabuh, Seni Ukur).
Menurut teori kontruktivisme juga,
bahwa proses pengenalan kearifan lokal oleh pasraman yang berlangsung secara
tidak langsung tidak lepas dari adanya asimilasi dan akomodasi dalam proses
pembelajarannya. Karena proses inilah siswa akan mengenal kearifan lokalnya
secara perlahan tetapi pasti. Karena pada dasarnya Piaget juga berpendapat
bahwa setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi
pengetahuannya sendiri. Pengeathuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek,
maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan
(Sanjaya, 2009:124). Sehingga benar adanya, bahwa pendidikan berbasis kearifan
lokal ini, hanya untuk memicu kembali pemahaman siswa akan kearifan lokalnya.
Padahal sejak lahir seorang anak sudah digandengi dengan kearifan lokal, yang
hanya saja jika tidak diberikan sentuhan kembali pamahaman itu tidak akan
sampai secara utuh kepada para siswa.
2.3.2
Analisa Proses Pelaksanaan
1. Kebijakan dan Isu
Global
Telah dinyatakan secara tegas dalam
dalam Deklarasai Hak-hak Asasi Manusia pasal 26 dinyatakan bahwa: "Setiap
orang berhak mendapatkan pengajaran … pengajaran harus dengan cuma-cuma,
setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus
mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan
antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan
kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia …"
Sehingga dari pernyataan dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia tersebut, pelaksanaan pasraman berbasis kearifan
lokal menjadi sesuatu yang sah dilakukan guna menunjang kualitas generasi muda
Hindu di Bali dalam rangka menjaga budaya dan adat istiadat yang telah menjadi
kebanggaan sejak masa lampau. Selain itu, dengan adanya pasrasman berbasis
kearifan lokal ini, generasi muda akan menjadi lebih cerdas dalam beragama, dan
memahami secara lebih jelas mengenai konsep agama yang dianut (dalam hal ini
Hindu).
2.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah
telah menunjukkan dukungannya berkenaan dengan keberadaan pasraman baik formal
maupun non formal dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Agama No. 56 Tahun
2014 tentang pendidikan keagamaan Hindu. Dari hal ini, menjadi bukti bahwa
Pemerintah selalu mendukung hal-hal positif, salah satunya yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pasraman.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
makalah yang telah penulis selesaikan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu
sebagai berikut
a.
Pasraman adalah tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar secara non formal yang diadopsi dari
sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India dan dibentuk oleh masyarakat
Hindu guna mengembangkan kemampuan keagamaan secara teori maupun praktek, serta
akhlak sesuai ajaran agama Hindu. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan di
pasraman biasanya melalui metode sad
dharma, yaitu: Dharma Tula, Dharma
Wacana, Dharma Gita, Dharma Yatra, Dharma Sedhana, dan Dharma Santi.
b. Kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara
terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata
aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari. Adapun bentuk
kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus).
c.
Pelaksanaan Pasraman di setiap
desa yang ada di Bali pastinya selalu dijalankan sesuai dengan aturan desa
setempat, kegiatannya juga dilakukan di luar jam sekolah siswa sebagai bentuk
pembelajaran tambahan. Dalam kegiatannya, pasraman ini dipimpin oleh seseorang
yang ditunjuk oleh masyarakat setempat untuk mengelola proses pembelajaran di
pasraman. Dan disinilah terlihat bahwa
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan ilmu
pengetahuan saja, tetapi pengetahuan tentang budaya lokal secara khususnya. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal,
pengenalannya kepada para siswa berlangsung secara tidak langsung dan perlahan.
Adapun terkait pengembangan Pasraman di era kini paling tidak sudah ada dua
aspek yang memayungi, yaitu Deklarasai Hak-hak Asasi Manusia pasal 26 dan PMA
No. 56 Tahun 2014.
3.2 Saran-saran
Dari pemikiran yang
telah penulis tuangkan dalam penyusunan makalah ini, ada beberapa saran yang
dapat saya sampaikan, yaitu sebagai berikut:
a.
Sebagai generasi muda Hindu,
marilah bersama-sama mengembangkan Pasraman dimanapun berada, hal ini
dimaksudkan guna meningkatkan kualitas generasi muda Hindu baik dalam bidang
keagamaan maupun kearifan lokal.
b.
Pasraman harus mampu menjadi
penyelenggara pendidikan berbasis kearifan lokal untuk menjaga kelesatarian
budaya dan adat istiadat, selain juga mempersiapkan generasi muda untuk menjadi
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Affandy, Didied dan Putu Wulandari.
2012. An Expliration Local Wisdom
Priority in Public Budgeting Process ol Local Goverment. Int. J. Eco. Res.
5(III).
Alfian, Magdalia. 2013. Potensi Kearifan Lokal dalm Pembentukan Jati
Diri danKarakter Bangsa. Prosiding
The 5th International Cofereence on Indonesian Studies: “Ethnicity and
Globalization”. Jakarta: FIPB UI.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Yogyakarta: DIVA Press.
Asriati, Nuraini. 2012. Mengembangkan Karakter Peserta Didik
Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan
Sosiologi dan Humaniora. 2(III).
Budi, Made. 2011. Peranan Pendidikan
Pasraman Santi Aji di Lingkungan Keluarga Hindu Dusun Kembang Sari Desa
Sepayung Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa Besar. Skripsi tidak
dipublikasikan oleh STAHN Gde Pudja Mataram
Djamarah, Syaiful Bahri. 2010:
Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta. Jakarta
Haidlor Ali Ahmad. 2010. Kearifan Lokal sebagai Landasan Pembangunan
Bangsa. Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius. 34(IX).
https://id.wikipedia.org/wiki/Pasraman,
akses: 30 Desember 2016
Mungmachon, Roikhwanphut. 2012. Knowledge and Local Wisdom: Community
Treasure. International Journal of Humanities and Social Science. 13(II).
Peraturan Menteri Agama No. 56 Tahun
2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu
Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Puspa Rini & Siti Czafrani. 2010. Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis
Kearifan Lokal oleh Pemuda dalam rangka Menjawab Tantangan Ekonomi. Jurnal UI
untuk Bangsa Sosial dan Humaniora. 1(I). Hlm. 12-24.
Rusdi, Farid. 2012. Bahasa dan Industri Radio. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan
Lokal. 4(II). Hlm. 347-356.
Sartini, Ni Wayan. 2004. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa
Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasan). Jurnal Ilmiah Bahasa dan
Sastra. V(1)
Setiyadi, Putut. 2012. Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa
dalam Tembang Macapat dan Pemanfaatannya sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti
Bangsa. Magistra.
Tim Penyusun. 2006. Pedoman Pengelolaan Pasraman. Surabaya:
Paramita
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zuhdan K. Prasetyo.
2013. Pembelajaran Sains Berbasis
Kearifan Lokal. Prosidind, Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika.
Surakarta: FKIP UNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar