AGAMA, TRADISI DAN BUDAYA (Nyepi di Tengah Badai Covid-19)




            Sebagai negara yang religius dan mengakui nilai-nilai ketuhanan, negara Indonesia menghargai hak-hak tiap warga negaranya untuk memeluk agama sesuai kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Ada enam agama yang diakui di Indonesia (hingga artikel ini ditulis), yaitu Islam, Hindu, Buda, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Dari enam agama tersebut agama Islam merupakan agama dengan pemeluk terbanyak. Dan Hindu merupakan agama yang paling kental dengan tradisi, budaya serta kearifan local.

            Pembahasan kali ini bukanlah tentang perbandingan antar agama atau agama mana yang paling baik, melainkan merujuk pada konsep korelasi Agama, tradisi dan budaya. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi (complement) dalam konteks kehidupan beragama. Karena saya adalah seorang Hindu, maka kali ini saya akan mencoba menguraikan terkait ketiga konsep tersebut dalam sudut pandang saya sebagai Hindu.
Korelasi Agama, Budaya dan Tradisi
            Agama merupakan kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan itu. Dalam konsep Hindu secara etimologi dijelaskan Agama berasal dari kata “A” berarti tidak dan “Gam” berarti pergi. Jadi Agama adalah sesuatu yang tidak pergi, dalam artian keberadaannya selalu masih ada dan diturunkan secara turun tumurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perwujudan orang beragama biasanya dilakukan melalui sembahyang (beryadnya), dan melaksanakan ajaran yang tertuang dalam ajaran agama.
            Sementara tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Ada juga yang menyebutkan, tradisi dipahami sebagai sesuatu yang sudah dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Dan saya teringat dosen saya Prof. Duija sempat mengutarakan bahwa dalam arti sempit, suatu kegiatan yang sudah dilakukan minimal selama lima kali berturut-turut akan bisa disebut sebagai tradisi.
            Kemudian, berbicara mengenai Budaya, Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga menjadi penciri atau kekhasan dari suatu daerah ataupun suatu suku, olehnya sebagai negara yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia memiliki begitu banyak kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
            Pada hakikatnya tujuan beragama dalam hindu adalah mencapai kemanunggalan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Moksa;  yang berarti bebas, lepas). Untuk mecapai hal tersebut, dalam ajaran Hindu disebutkan ada empat cara yang bisa ditempuh, yang dikenal dengan Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga adalah  empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keempat jalan itu adalah Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Beragama dalam Hindu tidak melulu dilakukan dengan jalan bhakti/sembahyang (Bhakti Marga Yoga), tetapi juga bisa dilakukan dengan bekerja dengan sungguh-sungguh, terlebih melakukan pelayanan baik pada sesama umat maupun kepada Tuhan sebagai realisasi konsep ngayah (Karma Marga Yoga). Kemudian bisa pula dilakukan dengan berbagi pengetahuan secara sungguh-sungguh untuk mencerdaskan para generasi penerus (Jnana Marga Yoga), dan jalan tertinggi adalah dengan menerapkan disiplin Tapa Brata Yoga Semadhi (Raja Marga Yoga).
            Kembali pada pemikiran, bahwa beragama dalam Hindu tidak hanya direalisasikan melalui sembahyang (beryadnya). Hal ini membuat keberadaan budaya memiliki tempat tersendiri dalam pelaksanaan kehidupan beragama Hindu. Dalam agama Hindu, terlebih Hindu yang berkembang di Bali keberadaan budaya begitu kental adanya. Sulit untuk menemukan kehidupan beragama orang Hindu Bali yang tidak diinternalisasi dengan nilai budaya. Setiap perayaan hari besar keagamaan selalu menonjolkan budaya. Hal ini tentunya sejalan dengan 7 unsur kebudayaan yang dikemukakan Koentjaraningat (Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi , dan Kesenian) terkhusus pada unsur sistem religi.
            Sistem religi ini terinternalisasi dalam tradisi yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah. Tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun bahkan oleh oknum tertentu dipandang sebagai satu kesatuan dengan kehidupan beragama. Padahal sesungguhnya tradisi itu menunjang eksistensi budaya masyarakat dan sebagai perekat kehidupan sosial masyarakat. Tradisi kebanyakan bersifat tradisional, artinya banyak filosofi yang terkandung dari pelaksanaan suatu tradisi, bukan karena agama yang mengharuskan itu, tetapi kesepakatan dan nilai historis tertentu dari suatu daerah.  Terlebih era modern ini, banyak pihak yang selalu berbicara melestarikan tradisi, tetapi tidak mengetahui esensi dasar pelaksanaan tradisi tersebut. Olehnya, saya memandang tradisi sangat perlu dilestarikan, tetapi lebih perlu dan penting untuk mengetahui esensi dan nilai filosofis pelaksanannya. Tidak cukup dengan jawaban “mula keto (Memang begitu)”.
Agama, Budaya, dan Tradisi dalam Perayaan Nyepi
            Bukan merupakan pengetahuan baru lagi jika perayaan hari raya dalam agama Hindu Bali, didasarkan pada sasih dan pawukon. Yang berdasarkan perhitungan sasih (bulan) dilaksanakan setiap setahun sekali, sementara yang dilaksanakan berdasarkan pawukon dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Salah satu hari  yang dilaksanakan setiap setahun sekali adalah perayaan hari raya Nyepi. Nyepi dilaksanakan pada Pinanggal Apisan Sasih Kedasa (Tanggal 1 bulan ke sepuluh). Dan rangkaian pelaksanaan Nyepi adalah Pengrupukan (Tawur Agung Kesanga) sehari sebelumnya, dan Ngembak Geni sehari setelahnya.
            Pelaksanaan Tawur Agung Kesanga merupakan salah satu wujud pelaksanaan konsep Tri Hita Karana pada bagian Palemahan (hubungan yang harmonis manusia dengan alam). Namun pelaksanaan tawur agung ini tentu saja sudah berintegrasi dengan nilai budaya, sehingga masing-masing daerah punya cara tersendiri dalam pelaksanaannya sesuai desa, kala, dan patra. Hal paling mengesankan dalam Tawur Agung Kesanga ini, biasanya sering hadir sosok Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Raksasa.
            Keberadaan Ogoh-ogoh dalam sudut pandang saya lebih pada nilai budaya dan tradisi. Sementara posisi agama dalam ogoh-ogoh saya kira kecil adanya. Mengapa? Karena seringkali Tawur Agung Kesanga (pengerupukan) tidak disertai ogoh-ogoh, toh juga tetap terlaksana, tidak ada mengurangi pelaksanaanya dalam sudut pandang agama. Ada ataupun tidak ada Ogoh-ogoh, Tawur Agung tetap terlaksana, dan tujuan mengharmonikan alam semesta dapat dilaksanakan. Ketika Nyepi, juga tetap boleh melaksanakan catur brata penyepian (Amati Geni, Amati Lelanguan, Amati Lelanguan, Amati Karya) meskipun tidak membuat ogoh-ogoh.
            Apakah hal ini berarti saya tidak setuju dengan pembuatan ogoh-ogoh? Tentu saja tidak. Saya mendukung adanya Ogoh-ogoh dalam perayaan Nyepi. Hal ini akan mengajeggan budaya dan tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada, yang pada akhirnya akan memperkokoh keberadaan Agama Hindu sebagai agama tertua. Keberadaan Ogoh-ogoh akan semakin meningkatkan daya kreatifitas dan nilai estetik generasi muda hindu. Terbukti dengan begitu indah, menawan dan menakjubkannya berbagai karakter Ogoh-ogoh yang dibuat oleh generasi muda Hindu. Melalui pembuatan Ogoh-ogoh ini pula persatuan antar pemuda (menyama braya) semakin terjalin. Mereka bersatu, berbagi ide, bekerja sama sehingga ogoh-ogoh yang didesain bisa dihasilkan dengan nilai kepuasan tinggi.
            Namun kembali lagi, Ogoh-ogoh ini bukanlah syarat mutlak untuk merayakan hari raya nyepi. Agama Hindu tidak akan membatalkan perayaan Nyepi tanpa hadirnya Ogoh-ogoh. Budaya dan tradisilah yang tidak jalan, budaya dalam berkesenian, dan tradisi ngarak ogoh-ogoh pada malam pengrupukan. Saya teringat pula dengan tulisan Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi: 1 Pemisahan antara “yang suci” dan “yang profan”, 2) Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa, dan 3) Macam-macam bentuk ritual.
            Merujuk pada bentuk dasar yang pertama, pemisahan antara antara “yang suci” dan “yang profane”. Ini berarti dalam beragama, kita harus mampu membedakan mana yang suci “Sacred” yang keberadaan/pelaksanaan wajib dalam beragama dan mana yang sifatnya hiburan “Profan”, sehingga tidak bias dalam pelaksanaan kehidupan beragama. Beragama adalah perihal sesuatu yang “sacred” jadi keberadaan yang “profan” itu sifatnya tidak wajib. Sama dengan perayaan Nyepi, tawur agung, caru, dan lainnya adalah “sacred” ini tidak bisa ditunda di hari lain, tetapi keberadaan ogoh-ogoh adalah “profan” tidak wajib adanya, dan bisa ditunda di hari lain.
Nyepi di Tengah Badai Covid-19
            Ada yang berbeda dengan perayaan Nyepi tahun 2020 ini. Nyepi jatuh pada tanggal 25 Maret 2020 dan Pengrupukan pada tanggal 24 Maret 2020 dirayakan tepat di tengah badai Covid-19. Pandemi Global yang sudah mewabah ke sebagian besar belahan dunia ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi kehidupan global. Kesehatan adalah asset yang utama, ya benar sekali. Olehnya, sebagai antisipasi penularan virus yang begitu cepat pemerintah menghimbau agar seluruh masyarakat mengurangi aktivitas yang melibatkan banyak orang.
            Hal ini berdampak pada Parade Ogoh-Ogoh yang biasa dilaksanakan oleh sebagian besar umat hindu Bali. Banyak ogoh-ogoh sudah selesai dibuat dengan menghabiskan dana jutaan rupiah. Tetapi dengan himbauan pemerintah agar menghindari keramaian, terlebih melalui Instruksi Gubernur Bali Nomor 267/01-B/HK/2020 tentang Pelaksanaan Rangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 di Bali pada instruksi point Kedua yang berbunyi “Tidak Melaksanakan Pengarakan Ogoh-Ogoh, dalam bentuk apapun dan dimanapun” menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
            Satu sisi masyarakat setuju, guna mengurangi resiko penyebaran Virus Corona. Di sisi lain mereka kecewa ogoh-ogoh yang sudah digarap dan siap diarak justru hanya akan menjadi pajangan belaka. Berbagai wujud ekspresi ketidakpuasanpun muncul. Menanggapi hal ini, saya kembali ke konsep awal terkait Agama, Budaya dan Tradisi. Ogoh-ogoh ini adalah tradisi yang tentunya bisa dilakukan lagi tahun depan. Sekarang marilah kita ikuti instruksi gubernur untuk kebaikan kita bersama. Bukankah kesehatan adalah asset yang utama?
            Terkait dengan tradisi, dalam film Serial Mahabharata ada percakapan yang cukup menggelitik antara Krishna dan Bhisma, yang isinya begini, “Tradisi itu sama dengan buah manga Bhisma. Ketika mereka muncul rasanya pahit sekali, tak lama kemudian rasa meraka akan asam. Hanya mereka yang suka asam yang bisa menerimanya dengan baik. Dan setelah beberapa waktu kemudian, rasanyapun berubah jadi manis. Mereka menjadi makanan kesukaan banyak orang. Tetapi setelah beberapa waktu kemudian mereka berubah menjadi busuk. Merekapun menjadi sangat mengganggu. Orang yang memakannyapun bisa sakit, dan akhirnya yang tersisa hanyalah bagian kering dari bijinya”.
            Petikan percakapan ini, memberikan gambaran pada kita, bahwa janganlah terlalu mendewakan sebuah tradisi. Karena tradisi akan eksis pada masanya, dan akan gugur pula pada waktunya. Tradisi adalah ciptaan manusia, kepuasan tradisi ada pada kepuasan yang dirasakan oleh sebagian besar manusianya. Jangan pernah memaksa menjalankan tradisi apabila dirasa malah akan merugikan kehidupan manusia itu sendiri.
            Pengarakan Ogoh-ogoh menjelang Nyepi tahun  2020 ini hendaknya mengikuti instruksi gubernur, yaitu tidak dilaksanakan. Untuk saat ini, hal ini adalah yang terbaik untuk kelangsungan hidup bersama. Agama kita (Hindu) akan tetap melaksanakan perayaan Nyepi tanpa mengurangi esensinya, tetapi mari kita turunkan ego dalam kaitannya dengan budaya dan tradisi, yaitu ogoh-ogoh. Agama akan dikuatkan dengan keberadaan budaya dan tradisi, tetapi akan tetap diwariskan dari generasi ke generasi meskipun tradisi dan budaya telah mati termakan waktu. Mari cerdas dalam beragama, karena agama mengajarkan kita untuk cerdas, baik cerdas intelektual, cerdas emosional maupun cerdas spiritual.

Oleh:
I Wayan Rudiarta

Sumber rujukan:
id.wikipedia.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar