FILSAFAT PENDIDIKAN HINDU



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Filsafat adalah pertanyaan dan bukan penyataan. Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan terus bertanya guna mendapatkan jawaban yang mendalam (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luasnya) mengenai suatu realitas, ide atau konsep yang bersifat fundamental. Begitu pula ketika kita membicarakan mengenai pendidikan dalam sebuah konsep yang perlu digali secara mendalam, maka filsafat pendidikan akan menjadi jawaban untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan.

            Merujuk pada Pendidikan, terkhusus pendidikan Agama Hindu sejak keluarnya Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran, hingga UU No. 20 tahun 2003 masih tetap merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pembelajaran Agama Hindu di Sekolah mengalami berbagai persoalan yang sangat kompleks.Terbatasnya sumber daya manusia yang professional yang benar-benar memahami karakteristik pembelajaran Agama Hindu tampaknya merupakan kendala dalam mengadakan inovasi pembelajaran. Akibatnya, permasalahan yang muncul dalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah tidak terselesaikan dengan tuntas.
Kondisi seperti itu tampaknya merupakan hambatan dalam mewujudkan inovasi pembelajaran agama Hindu yang efektif dan efesien, terlebih proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata yang mampu menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, diperlukan adanya inovasi terhadap pembelajaran Agama Hindu di Sekolah yang mampu memediasi pengetahuan agama dengan pengetahuan lainnya melalui pendekatan multidisipliner.
Terkait permasalahan yang dihadapi dalam pendidikan agama Hindu, munculnya filsafat Pendidikan Hindu diharapkan akan mampu memberikan solusi terbaik. Harapan ini muncul sebagai sebuah cita-cita mewujudkan pendidikan agama Hindu yang lebih baik ke depannya, terlebih dengan disahkannya Peraturan Menteri Agama nomor 56 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Apabila permasalahan-permasalahan pendidikan agama Hindu tidak segera dicarikan solusi maka ini akan menjadi sebuah bumerang ketika Pasraman, Pesantian ataupun bentuk lembaga pendidikan Hindu lainnya baik formal maupun non-formal beroperasi.
Menilik pada permasalahan tersebut, maka munculah kiat penulis untuk lebih menggali secara lebih mendalam mengenai filsafat Pendidikan Hindu. Memang kini sudah ada gagasan-gagasan dari Barat terkait dunia pendidikan. Penggunaannyapun dalam upaya mengatasi permasalahan pendidikan tidak menjadi suatu perkara. Akan tetapi seirama dengan berkembangnya karakteristik pemikiran filsafat Postmodern, gagasan besar seperti yang diutarakan oleh tokoh-tokoh ilmuwan dari barat tidak langsung mau diterima begitu saja, tetapi ada upaya untuk menggali gagasan-gagasan baru terkait kearifan lokal termasuk agama.

1.2 Rumusan Masalah
            Permasalahan yang dapat dijadikan rumusan dalam penyusunan makalah ini adalah:
a.       Bagaimanakah konsep pendidikan dalam Kitab Suci Hindu?
b.      Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Hindu?
c.       Bagaimanakah Pemikiran Filsafat Pendidikan Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penyusunan makalah terkait Filsafat Pendidikan Hindu ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk memahami konsep pendidikan dalam Kitab Suci Hindu.
b.      Untuk memahami konsep Pemikiran Filsafat Hindu.
c.       Untuk memahami konsep Pemikiran Filsafat Pendidikan Hindu.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pendidikan dalam Agama Hindu
Ada kebutuhan dalam masyarakat akan pencerahan keagamaan yang tingkat urgensinya sangat tinggi, dan sistem pendidikan Hindu harus mampu memenuhi tuntutan itu. Sistem pendidikan Hindu harus mampu menciptakan manusia Hindu yang siap berhadapan dengan segala macam tantangan di jaman kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini.
Agama Hindu mengenal sebuah konsep yang disebut dengan Catur Asrama Dharma. Konsep ini adalah tentang empat tahapan hidup manusia di dunia dimana tahap yang pertama adalah Brahmacarya. Periode ini dimulai saat anak memasuki usia sekitar lima tahun. Sebelum memasuki masa Brahmacarya (di bawah lima tahun) anak merupakan tanggung jawab orang tua. Ia dididik dengan kasih sayang yang melimpah. Brahmacarya asrama, ialah masa menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup, realisasinya kini adalah pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah formal maupun informal (Titib, 2003 :15)
Tiga tujuan dari asrama ini adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan, membangun karakter, dan belajar untuk memanggul tanggung jawab yang akan ia dapatkan pada saat kehidupannya menjadi orang dewasa(Pandit, 2005 : 295). Unsur-unsur yang menjadi tujuan Brahmacarya ini sangat mirip dengan konsep aspek-aspek modern yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.Tahap ini dimulai ketika seorang anak memasuki sekolah pada umur yang sangat muda dan melanjutkannya sampai menyelesaikan semua sekolah dan dipersiapkan memikul tanggung jawab masa depan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, seseorang dalam konsep Hindu memasuki tahap selanjutnya yaitu Grhasta Asrama (tahapan berumah tangga), Wanaprastha Asrama (tahapan tinggal di hutan), dan Bhiksuka Asrama (tahapan penyangkalan). Perhatikan pula bagaimana konsep ini disebut Catur Asrama Dharma. Kata Dharma menyiratkan sebuah arti yang penting dalam menelaah konsep ini. Dharma secara umum didefinisikan sebagai “kebajikan” atau “kewajiban” (Sivananda, 2003: 39). Dengan memahami bahwa dalam agama Hindu merupakan satu kewajiban, maka kita dapat menarik beberapa poin penting, antara lain :
a.       Pendidikan bukanlah hak, sehingga seharusnya ia tidak diperjuangkan, tapi diharuskan,
b.      Pendidikan merupakan kewajiban bagi peserta didik, pendidik, pengguna produk pendidikan, dan pemerintah,
c.       Karena merupakan kewajiban, maka pendidikan harus dipenuhi. Masa Brahmacarya harus dituntaskan sampai masa tertentu sebelum memasuki tahap selanjutnya.
            Agama Hindu juga mengenal konsep Catur Purushārtha yang merupakan empat tujuan hidup manusia Hindu yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Secara spesifik juga dapat dilihat bahwa empat elemen ini merupakan tujuan dari diselenggarakannya pendidikan dalam perspektif Hindu.
Umumnya kata Dharma diterjemahkan sebagai kebenaran, namun sebenarnya kata Dharma memiliki pengertian yang lebih kompleks dan beragam serta tergantung konteks penggunaannya. Akan tetapi bila kita pahami esensi dari Dharma tersebut, maka berbagai pengertian itu mengarah pada satu pengertian tunggal. Kata dharma berasal dari kata dhr, yang artinya menyangga dan arti asal usul katanya adalah “yang menyangga” dunia ini, atau penghuni dunia atau segenap ciptaan dari bhuwana kecil sampai bhuwana agung serta merupakan Hukum Tuhan yang abadi dari Tuhan (Sivananda, 2003 : 38).
Secara garis besar, dharma dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sadharana dharma, atau kewajiban yang ditujukan pada setiap orang tanpa mengacu pada kedudukan mereka dalam kehidupan atau keadaan-keadaan khusus, dan
b.      Visesha dharma atau kewajiban relatif, yang adalah, kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh keadaan atau tahap seseorang dalam kehidupan. (Pappu, 2004: 156)
            Sebelum masuk ke wilayah pemirkiran filsafat Hindu, mungkin ada baiknya memperoleh sepintas gambaran mengenai tujuan hidup dan model klasifikasi masyarakat India (pada masa kuno) sebagai landasan analisis untuk memahami perkembangan pemikiran spekulatif filsafat Hindu pada zamannya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh Zimmer (2003) berikut. Tujuan hidup manusia yang terpenting diklasifikasi menjadi empat, yaitu artha, kama, dharma, dan moksa. 
a.       Artha sebagai tujuan pertama adalah kepemilikan material. Ilmu pengetahuan yang melatari tujuan ini adalah ilmu ekonomi dan politik, teknik bertahan hidup untuk melawan sifat iri hati, terjun dalam persaingan, menentang fitnah dan pemerasan, tirani raja-raja lalim yang mengganggu, dan kekerasan para tetangga yang sembrono. Secara literer, kata “artha” berarti benda, objek, substansi, dan meliputi seluruh objek nyata yang dapat dimiliki, dinikmati dan hilang, dan yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup yang benar, seperti antara lain untuk menghidupi rumah tangga, keluarga, dan membayar kewajiban agama. Objek ini, juga memberi kontribusi pada kesenangan inderawi, kenikmatan perasaan, dan kepuasan manusiawi yang alami, seperti cinta, karya seni yang indah, bunga, emas, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman, kesenangan di meja makan.
Kata artha berkonotasi sebagai “memperoleh kekayaan dan kesejahteraan duniawi, kemajuan, keuntungan, harta-benda”, juga “hasil”; dalam dunia perdagangan: ”keluhan, aksi, dan petisi”. Kalau mengacu pada dunia eksternal, artha dalam konotasi yang paling luas, berarti bahwa “yang dapat dipahami, yakni objek inderawi”; kalau mengacu dunia jiwa batiniah, berarti “akhir dan tujuan, objek harapan, nafsu, motif, penyebab, alasan, kepentingan, manfaat, keinginan, dan kepedulian”; dan sebagai suku kata majemuk – artha berarti demi kepentingan, atas nama, dengan maksud”. Istilah ini juga meliputi semua makna (a) objek pencarian manusia, (b) alat untuk mencari, dan (c) kebutuhan dan nafsu yang mendorong pencarian ini.
Di India ada sebuah literatur khusus tentang pengetahuan yang cakupannya dipersempit pada wilayah politik, baik politik individu dalam kehidupan sehari-hari, maupun politik untuk mendapatkan, menguji, dan melanggengkan kekuasaan dan kekayaan sebagai raja. Ilmu pengetahuan ini diilustrasikan dalam fabel sebagai alat yang paling penting untuk menyampaikan filsafat kehidupan yang nyata. Buku teks itu kering, lucu, kasar, dan sinikal yang merefleksikan hukum rimba yang keras dalam kehidupan manusia. Manusia yang saling memangsa, menyerang, dan membunuh mengilhami pola berpikir seperti itu. Prinsip-prinsip dasarnya terbenam di bawah laut; sehingga ajarannya dinamakan Mastya-nyaya, “Prinsip atau Hukum (nyaya) Ikan (matsya)” – yang katakanlah “ikan-ikan besar memakan sesamanya yang kecil”. Ajaran ini, juga disebut Arthasastra, “Pedoman (sastra) tentang Pengetahuan Kekayaan (artha)”, yang di dalamnya bisa dijumpai semua hukum, politik, ekonomi, diplomasi, dan perang yang abadi.
Dua fabel yang paling terkenal adalah Pancatantra, “Lima (panca) Tenunan (tantra)”, yakni “Lima Risalah”, dan Hitopadesa, “Perintah (upadesa) di dalam Apa yang Disebut Faedah dan Keuntungan (hita)”. Salah satu risalah sistematis yang paling penting adalah sebuah karya ensiklopedik yang dikenal dengan Kautiliya Arthasastra, yang namanya dilekatkan setelah, dan secara tradisonal diatribusikan kepada, Canakya Kautilya, Ketua Candragupta Maurya, yang legendaris dan hidup akhir abad ke-4 SM. Sebuah risalah yang lebih pendek, yang kemudian disebut Barshapatya Arthasastra, adalah kumpulan pendek aforisme yang dianggap sebagai karya Brhaspati yang suci, seorang ketua mitos, pendeta istana, dan ketua penasihat politik Indra, raja dari dewa-dewa. Risalah pendek lain adalah karya Kamandaki, Nitisastra, “Sari, Buah atau Esensi (sastra) Perintah, atau Perilaku yang Benar (niti)”. Pelajaran-pelajaran yang bernilai, juga tampak dalam banyak dialog, kisah, dan fabel didaktik pada epos besar, Mahabharata – fragmen-fragmen dari risalah-risalah yang kini hilang itu berasal dari zaman feodal India abad ke-8 dan 9 SM.
b.      Kama adalah kesenangan dan cinta. Di dalam mitologi India, Kama adalah bagian dari Dewa Asmara. Dia adalah dewa cinta Hindu, yang dengan selembar bunga dan lima anak panah, mengirim hasrat yang menggetarkan hati. Kama adalah hasrat untuk berinkarnasi, dan tuan serta guru bumi, juga penguasa wilayah langit bagian bawah. Karya klasik Kama India yang masih bertahan adalah Kamasutra, ditulis oleh Vatsyayana. Karya ini menyebabkan India terkenal dengan reputasinya yang ambisius tentang sensualitas yang menyesatkan, karena masalah ini dihadirkan pada tingkat yang sepenuhnya sekular dan teknis, sebuah buku teks untuk para pecinta dan pelacur. Sikap Hidu yang utama sebenarnya adalah teliti, suci, dan sangat tenang, yang ditandai dengan penekanannya pada pencarian yang sepenuhnya spiritual dan kekhusukan pengalaman religius serta mistis. Ajaran Kama muncul untuk mengoreksi dan mencegah frustasi dalam kehidupan suami-istri yang pasti selalu terjadi di mana pernikahan itu mewadahinya dan percintaan menjadi tidak terkecualikan. Selama berabad-abad, pernikahan semakin sarat dengan masalah-masalah keluarga. Persetujuan kepala keluarga, yang didasarkan pada horoskop yang dibuat oleh para astrolog dan didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial, menentukan nasib pasangan pengantin muda. Tidak diragukan lagi ada banyak rumah tangga yang membosankan dan menyiksa yang bisa diatasi dengan studi kecil tentang pengetahuan pelacuran. Studi ini ditujukan untuk sebuah masyarakat yang dingin, tidak jangak; dan studi ini berisikan ikhtisar tentang teknik-teknik pemanasan dan perangsangan seks.
Walaupun terlalu teknis, beberapa pandangannya yang mendasar tentang sikap terhadap lawan jenis masih dapat diambil darinya – suatu konsep tentang psikologi cinta Hindu, analisis perasaan, dan ungkapan emosional, serta pandangan tentang tugas dan wilayah cinta. Oleh karena itu Kamasutra sebenarnya tidak jauh dari ajaran tantra, yang tiada lain adalah ajaran tentang penguasaan terhadap rasa dalam berbagai wujudnya, bahkan pada puncaknya mengarah pada hakikat sifatnya yang religius-spritual, teologis. Selain kitab tersebut, Natyasastra merupakan salah satu buku yang sejenis, mengenai teknik menari, berpantomim, bernyanyi, dan drama bagi para profesional.
c.       Dharma berisi seluruh kewajiban agama dan moral. Dharma itu, juga dipersonifikasikan sebagai dewa, tetapi dia merupakan pribadi yang relatif abstrak. Buku yang membahas tentang dharma adalah Dharmasastra dan Dharmasutra, atau buku-buku tentang Hukum. Sebagian buku ini diatribusikan pada tokoh-tokoh khayal terkemuka, seperti Manu, nenek moyang manusia, dan sebagian buku lainnya diatribusikan pada santa-santa dan guru-guru Brahman yang terkenal pada zaman dahulu. Karya-karya awal berisi petunjuk-petunjuk sosial, ritual, dan agama yang kemudian menjadi aliran-aliran Vedic. Akan tetapi buku-buku hukum terkemudian – dan yang paling terkenal adalah ikhtisar besar yang disusun oleh Manu – berisi seluruh konteks kehidupan Hindu ortodoks. Ritual-ritual dan tata cara sosial dari tiga kasta tinggi ini, Brahmana (pendeta), Ksatriya (bangsawan), dan Vaisya (pedagang dan petani) diformulasikan secara teliti berdasarkan praktek-praktek pribadi yang diduga berasal dari ajaran Sang Pencipta sendiri. Bukan raja atau milyuner, tetapi orang bijak, santa, Mahatma (yang secara literer berarti “murah hati”: “Diri atau Jiwa (atman) yang besar (mahat)” yang mendapat tempat atau penghormatan tertinggi dalam sistem ini. Sebagai tukang ramal, lidah atau juru bicara kebenaran abadi, dia merupakan orang yang menciptakan seluruh tatanan masyarakat. Sementara itu, raja, lebih tepatnya, menjadi pengelola tatanan tersebut; para petani dan pedagang berperan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk tatanan itu; dan para pekerja (sudra) adalah orang-orang yang menyumbangkan tenaga fisiknya. Semua kasta ini diselaraskan dengan wahyu, pemeliharaan, dan pengalaman Yang Maha Agung sebagai imaji suci. Dengan demikian dharma adalah ajaran tentang kewajiban dan hak setiap manusia dalam sebuah masyarakat ideal, dan hukum atau cermin seluruh perilaku moral.
d.      Moksa, apavarga, nirvrtti, atau nivrtti adalah penebusan dosa, atau pembebasan spiritual. Pembebasan spiritual dianggap sebagai tujuan puncak, kebaikan manusia yang tertinggi, dan mengatasi tiga tujuan sebelumnya. Artha, Kama, dan Dharma yang dikenal sebagai trivarga, kelompok tiga, adalah pencarian dunia; masing-masing mengimplikasikan orientasi atau filsafat hidupnya sendiri-sendiri, dan memiliki sebuah literatur khusus. Tujuan tertinggi dalam pemikiran, penelitian, ajaran, dan tulisan India ini menyangkut tema pembebasan spiritual terbesar dari kebodohan dan nafsu ilusif duniawi pada umumnya, yaitu moksa. Moksa berasal dari kata muc, “melepaskan, membebaskan, mengeluarkan, mengirim; meninggalkan, lari, keluar”, berarti “pembebasan, pelarian, kebebasan, pelepasan; penyelamatan, pengiriman; pembebasan jiwa terakhir”. Apavarga, dari kata kerja apavrj, “mencegah, menghancurkan, menghilang; melepaskan, mencabut, mengeluarkan”, berarti “pelemparan, penembakan (peluru), pembebasan; penyempurnaan, pencapaian, pembebasan dari eksistensi, kepuasan, kebahagiaan, penyudahan, pelenyapan; pantangan dari kegiatan atau kerja; pemberhentian, pengunduran diri; berhenti dari perilaku atau emosi duniawi; diam, pelepasan dari dunia; istirahat, tidur, kebahagiaan yang luar biasa”. Semua istilah tersebut berarti suatu tujuan tertinggi manusia yang dipahami oleh orang suci India.
2.2 Pemikiran Filsafat Hindu
            Walaupun kaya akan filsafat, namun AgamaHindu tidak mengenal istilah filsafat, melainkanmemakai istilah darshana. Istilah darshana disamakandengan filsafat. Kata darshana berartimelihat atau mengalami. Pemaknaan seperti inimemberikan petunjuk, bahwa filsafat dalamkonteks Agama Hindu, tidak hanya merupakanspekulasi metafisika, tetapi didasari pula olehdata langsung. Pengalaman langsung adalahsumber darimana pikiran India mengalir, dan iniditerima sebagai dasar filsafat di India. Gagasan ini menarik,karena menunjukkan kesamaan dengan gagasanAlfred North Whiteheid (dalam Atmadja, 2013)tentang filsafat yang dianggap memiliki duawajah sekaligus, yakni rasional dan empiris. Hubunganantara keduanya bersifat dinamis, salingmenguji, menjelaskan, menjustifikasi, bahkanmemfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaianantara kerangka dan materinya. Hal ini harus diusahakanoleh filsafat, sehingga darshana tidakhanya memuat pemikiran spekulasi metafisika,tetapi memuat pula pengalaman atau meminjamide Immanuel Kant memadukan antara rasionalismedan empirisme.
Walaupun filsafat Hindu sangat menghargaiolah pikiran dan pengalaman, namun ada aspekpenting yang membedakannya, yakni penghargaanterhadap intuisi (Sivananda, 2006). Gejalaini berkaitan dengan hakikat manusia, yaknimemiliki kesadaran supra yang memberikannyakemampuan untuk mendapatkan pengetahuansecara intuitif yang di dalamnya mencakup olahrasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya,1991). Jadi, dalam rangka mendapatkanpengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya bermuatanolah pikiran (rasionalisme) dan olahpengalaman (empirisme) atau memadukan wadahrasional dan empiris sebagaimana yanglazim berlaku pada filsafat Barat, melainkanmeminjam gagasan Knight (2007) memperhatikanpula intusi yang di dalamnya mencakup kesadaran supra, olah rasa dan olah batin. Namun di balik pencarian kebenaran secara falsafati maka peran Agama Hindu sebagai sumber kebenaran tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah kebenaran yang berdimensi kewahyuan sehingga kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri (murni) (Atmadja, 2013).   
            Pokok-pokok ajaran Sad Darsa diuraikan dalam bagian Sad Darsana sebagai berikut:
a.        Nyaya
Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
b.        Samkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kapila, beliau yang menulis Samkhyasutra. Di dalam sastra Bhagavatapurana disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang di tulis oleh Isvarakrsna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Sruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Kata Samkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti.
c.         Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada.
d.        Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda.

e.         Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.
f.         Vedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti Akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.
2.3 Pemikiran Filsafat Pendidikan Hindu
            Bawa Atmadja (2013) menyampaikan bahwa filsafat pendidikan Hindu mengacu pada proses Dewanisasi Insani. Realitas ini disadari oleh Agama Hindu, terbukti dari kenyataan, bahwa Agama Hindu banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal, terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno sebagai berikut.
(1) Sa vidya ya vimuktaye
(Pembelajaran adalah yang membebaskan manusia)
(2) Vidya tritiyo netrah
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
(3) Vidyayamrihtamashnute
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
(4) Na hi jnanen sadrisnham pavitramih vidyate
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan)
(5) Vidya balam chandrabalamstathaiva
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan menganugrahi kamu sekalian)
(6) Vidya gurunam guruh
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
(7) Kim kim na sadhyati Kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembelajaran itu? Ia merupakan sebuah tumbuhan magis atau pohon kebijaksanaan)
(8) Vidya vihinah pashuh
(Seseorang yang tanpa pembelajaran adalah binatang).
            Agama Hindumenyebut pendidikan dengan istilah aguron-aguronatau asewakadharma. Pendidikan bisadilakukan di sekolah atau pada zaman Vedadisebut sakha atau patasala. Pada masyarakatBali mengenal istilah asrama, pasraman ataukatyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006).Apa pun nama lembaga pendidikan, baik asramamaupun sekolah, pasti memiliki tujuan-hakikatmanusia sebagai makhluk teleologis. Dengan mengacu kepada Suhartono (2006: 80) tujuan pendidikan adalah “... pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan matang dalam hal berperilaku”.
            Gagasan Suhartono (2006) menarikdicermati, mengingat bahwa kata pendewasaanyang sebagai salah satu dimensi tujuan pendidikan merupakan turunan dari kata dalam Bahasa Sanskerta, yakni dewasa (dewa dan sya yang berarti memiliki sifat sebagai dewa). Titib (2003) menjelaskan makna kata dewasa sebagai berikut.
Bila kita kaji tentang makna pendidikan mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan .... maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya dengan kata dewa atau devata, dimaksudkan seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena kata dewasa (dewasya) berasal dari kosa kata bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat dewa, juga berarti yang bercahaya, tentu diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran ketuhanan atau memancarkan nilai-nilai ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifatsifat keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003: 4).
            Dengan definisi ini, maka tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik agar dewasa dalam arti perkembangan badaniah seperti dikemukakanSuhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter kedewataan (daiwisampat) atau divine human yang sekaligus berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat) atau demonic human. Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009) gagasan ini jelas bernuansa filosofis, sebab kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat ingin tahu tentang hakikat pendidikan, tetapi memuat pula cita-cita ideal tentang tujuanpendidikan – mewujudkan divine human. Pendekkata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah proses mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain bisa pula dikemukakan, bahwa hakikat pendidikan menurut pandangan Filsafat Pendidikan Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi insani dan deraksasanisasi atas manusia (membasmi sifat-sifat raksana) sehingga melahirkan insan ideal, yakni divine human atau daiwisampat, bukan manusia berkarakter raksasa, asurisampati atau demonic human.
2.3.1 Ciri-ciri Daiwisampad
Pemaknaan pendidikan sebagai dewatanisasiinsani atau deraksasanisasi insani gunamembentuk daiwisampat atau divine human,bukan manusia asurisampati atau demonichuman, memberikan petunjuk, bahwa AgamaHindu menggunakan konsep oposisi biner (rwabhineda) dalam melihat eksistensi manusia. Gagasanini berkaitan erat dengan pandanganAgama Hindu tentang hakikat manusia, yaknisecara substansial terdiri dari unsur tubuh,pancaindra, pikiran (manah), budi (budhi,kecerdasan), dan atman (rokh, spriton, kesadaran)(Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuhdan pancaindra memunculkan hasrat atau kama.Hasrat selalu berkecenderungan untuk menikmatisesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidakjauh berbeda daripada gagasan Aristotelestentang tujuan hidup manusia, yakni mencarinikmat dan menghindarkan rasa sakit (Magnis-Suseno, 2010).
Pengaktualisasian hasrat atau kama selaludibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensibenar dan patut dan tamas guna – tendensi-tendensisalah dan tidak patut. Bayangan tattwaguna dan tamas guna tidak bisa dilenyapkan,karena keduanya melekat pada tubuh manusia.Akibatnya, dalam memenuhi hasrat manusia selaluberpeluang untuk berbuat baik (sattwa guna)atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamasguna) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009;Pandit, 2005). Dengan demikian, secara psikogenetikmanusia adalah makhluk berkarakterganda, yakni kedewataan dan keraksasaan sehinggamelahirkan divine human dan demonichuman. Manusia selalu berpeluang untuk berbuatkebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakniberbuat kejahatan (tamas guna) baik dalamkehidupan bermasyarakat maupun bernegara.Kemana peluang karakter manusia, apakahsattwa guna (divine human) atau tamas guna(demonic human), bergantung pada dominasiproporsi masing-masing sebagai satu kesatuandalam tubuh manusia (Pendit, 2005).
Kemunculan perbuatan baik atau burukdalam memenuhi hasrat, selain karena kemelekatansattwa guna dan tamas guna pada tubuhmanusia, bergantung pula pada pengendalianpikiran (manah) dan kecerdasan (budhi) (Singh,2004, 2007; Sudharta, 2001). Pikiran dan kecerdasanmemberikan pertimbangan atas dasar rasionalitasdan moralitas atau akal sehat dan rasa,yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja,2010). Tubuh dan pancaindra sebagai sumberhasrat – manusia pabrik hasrat, selalu menuntutkenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Bratayuddhayang ajeg dalam tubuh manusia, yakniperang antara partai Korawa, simbol tubuh, pancaindra dan hasrat berlandaskan tamas guna, dan partai Pandawa, simbol tubuh, pancaindra, dan hasrat yang dikendalikan oleh manah dan budhi berlandaskan sattwa guna. Jika Korawaisme (Duryadanaisme), tubuh pancaindra, danhasrat mengalahkan Pandawaisme manah, budhidan sattwa guna. Maka muncul tindakan manusiabersifat tamas guna atau keraksasaan. Jikaterjadi hal yang sebaliknya, yakni Pandawaisme(Yudistiraisme), manah dan budhi mampu mengendalikanKorawaisme tubuh, pancaindria hasrat,dan tamas guna maka muncullah tindakansattwa guna atau kedewataan.Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwapendidikan sebagai dewatanisasi insani secaraideal diarahkan kepada pembentukkan manusiaberkarakter ideal, yakni: pertama, mampumengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh,pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) danbudhi (kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikanmanah dan budhi sebagai kekuatan dominatifdan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan hasrat.Kedua, sattwa guna mengendalikan tamasguna. Ketiga, pengikut setia partai Pandawa(Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikanpartai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme).Keempat, karakter kedewataan mengendalikankarakter keraksasaan atau divine human mengendalikandemonic human. Walaupun berpihakpada daya manah dan budhi, sattwa guna, Pandawaismeatau divine human, namun tidakberarti, bahwa daya tubuh, panca-indra, hasrat,tamas guna, Kowaisme atau demonic human,karena secara substansial tidak bisa dilenyapkan,bahkan harus ada dalam konteks kehidupanmanusia.
Gagasan Agama Hindu tentang kemanunggalantubuh dengan sattwa gana dan tamasguna, begitu pula manusia adalah pabrik hasratdan pikiran acap kali gagal mengendalikannya,bahkan hasrat (tubuh, pancaindria) menguasaipikiran sehingga peluang manusia untuk berbuatburuk selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkanimplikasi, bahwa pendidikan sebagai prosesmendewasakan (dewasanisasi) atau mendewatakanmanusia (dewatanisasi) tidak berhenti hanyapada saat manusia mencapai taraf kedewasaanbiologis, melainkan berlangsung sepanjanghayat. Selain keewasaan secara biologis, manusiamenuntut pula kendewasaan secara sosiobudayayang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewujudkankedewasaan secara sosiobudaya tidakmudah, baik karena faktor psikogenetik – manusiamemiliki tubuh, pancaindria, hasrat, dantamas guna maupun karena pengaruh lingkungansehingga sepanjang perjalanan hidupnya, manusiaselalu berpeluang untuk berbuat kejahatan.Berkenaan dengan itu maka gagasan UNESCObahwa manusia harus melaksanakan pendidikanpermanen, yakni menciptakan masyarakat dimana setiap orang belajar tanpa dibatasi olehwaktu, sangatlah tepat. Perubahan sosial danbudaya mengharuskan manusia, baik yang belumdewasa maupun yang sudah dewasa untuk secaraterus-menerus mendewasakan pikirannya (Fingerdan Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocokdengan Filsafat Pendidikan Hindu yang melihat,bahwa manusia adalah multivalensi yang terkaitdengan logika samar, sehingga tidak ada manusiayang murni baik atau sebaliknya, yakni murnijahat. Berkenaan dengan itu maka dewatanisasitidak saja menjadi suatu keharusan bagi manusia,tetapi juga berlangsung sepanjang hayat. Jikadewatanisasi berhenti, maka hasrat yang menyatudengan virus tamas guna bisa memunculkanpenyakit, yakni perilaku menyimpang padasistem sosial – yang paling hebat apa yang olehWhitehead (dalam Bria, 2008) disebut kejahatanmoral.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari pembahasan yang telah penulis uraikan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a.       Konsep pendidikan dalam Agama Hindu mengacu pada ajaran Catur Asrama dan Catur Purusa Artha. Korelasi antara kedua ajaran ini adalah ajaran catur asrama sebagai tahapan-tahapan yang menguraikan antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan ketika berada pada fase kehidupan tertentu, baik itu dalam tahap brahmacari, grehasta, wanaprasta ataukah biksuka. Kemudian empat tahapan tersebut dikaitkan lagi dengan tujuan hidup manusia sebagai landasan analisis untuk memahami perkembangan pemikiran spekulatif filsafat Hindu pada zamannya masing-masing, yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
b.      Filsafat Hindu tercermin dalam filsafat India Kuno yang disebut dengan Darsana. Jumlahnya ada enam yang kemudian disebut Sad Darsana dengan bagiannya adalah Nyaya, Samhya, Yoga, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanta.
c.       Filsafat Pendidikan Hindu dikonsepkan dalam upaya pembentukan insan manusia yang berkarakter dewa (Daiwisampad). Hal ini dikaitkan dengan salah satu sub tujuan pendidikan adalah untuk mendewasakan peserta didik, yang kemudian kata dewasa dikaitkan ke dalam bahasa sansekerta "Dewasya", yang diartikan memiliki sifat-sifat dewa.

DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Bawa I Nengah. 2013. Dewatanisasi Insani: Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Hindu(Jurnal). Singaraja: Undiksa
Pandit, B. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. (IGA Dewi Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Suhartono, S. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz.
Titib, I M. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Bandung: Gabesa Exact.
Zimmer, H. 2003. Sejarah Filsafat India. (Agung Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar