BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat
adalah pertanyaan dan bukan penyataan. Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa
filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan terus bertanya guna mendapatkan
jawaban yang mendalam (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luasnya) mengenai suatu
realitas, ide atau konsep yang bersifat fundamental. Begitu pula ketika kita
membicarakan mengenai pendidikan dalam sebuah konsep yang perlu digali secara
mendalam, maka filsafat pendidikan akan menjadi jawaban untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan.
Merujuk
pada Pendidikan, terkhusus pendidikan Agama Hindu sejak keluarnya Undang-undang
No. 4 tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran, hingga UU No. 20 tahun 2003
masih tetap merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pembelajaran
Agama Hindu di Sekolah mengalami berbagai persoalan yang sangat kompleks.Terbatasnya
sumber daya manusia yang professional yang benar-benar memahami karakteristik
pembelajaran Agama Hindu tampaknya merupakan kendala dalam mengadakan inovasi
pembelajaran. Akibatnya, permasalahan yang muncul dalam pembelajaran Agama
Hindu di sekolah tidak terselesaikan dengan tuntas.
Kondisi seperti itu tampaknya
merupakan hambatan dalam mewujudkan inovasi pembelajaran agama Hindu yang efektif
dan efesien, terlebih proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya perubahan
sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata yang mampu
menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu,
diperlukan adanya inovasi terhadap pembelajaran Agama Hindu di Sekolah yang
mampu memediasi pengetahuan agama dengan pengetahuan lainnya melalui pendekatan
multidisipliner.
Terkait permasalahan yang dihadapi
dalam pendidikan agama Hindu, munculnya filsafat Pendidikan Hindu diharapkan
akan mampu memberikan solusi terbaik. Harapan ini muncul sebagai sebuah
cita-cita mewujudkan pendidikan agama Hindu yang lebih baik ke depannya,
terlebih dengan disahkannya Peraturan Menteri Agama nomor 56 tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Hindu. Apabila permasalahan-permasalahan pendidikan agama
Hindu tidak segera dicarikan solusi maka ini akan menjadi sebuah bumerang
ketika Pasraman, Pesantian ataupun bentuk lembaga pendidikan Hindu lainnya baik
formal maupun non-formal beroperasi.
Menilik pada permasalahan
tersebut, maka munculah kiat penulis untuk lebih menggali secara lebih mendalam
mengenai filsafat Pendidikan Hindu. Memang kini sudah ada gagasan-gagasan dari
Barat terkait dunia pendidikan. Penggunaannyapun dalam upaya mengatasi
permasalahan pendidikan tidak menjadi suatu perkara. Akan tetapi seirama dengan
berkembangnya karakteristik pemikiran filsafat Postmodern, gagasan besar
seperti yang diutarakan oleh tokoh-tokoh ilmuwan dari barat tidak langsung mau
diterima begitu saja, tetapi ada upaya untuk menggali gagasan-gagasan baru
terkait kearifan lokal termasuk agama.
1.2 Rumusan
Masalah
Permasalahan
yang dapat dijadikan rumusan dalam penyusunan makalah ini adalah:
a.
Bagaimanakah konsep
pendidikan dalam Kitab Suci Hindu?
b.
Bagaimanakah Pemikiran
Filsafat Hindu?
c.
Bagaimanakah Pemikiran
Filsafat Pendidikan Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penyusunan makalah terkait Filsafat Pendidikan Hindu ini adalah sebagai
berikut:
a.
Untuk memahami konsep
pendidikan dalam Kitab Suci Hindu.
b.
Untuk memahami konsep
Pemikiran Filsafat Hindu.
c.
Untuk memahami konsep
Pemikiran Filsafat Pendidikan Hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pendidikan dalam Agama Hindu
Ada kebutuhan dalam masyarakat
akan pencerahan keagamaan yang tingkat urgensinya sangat tinggi, dan sistem
pendidikan Hindu harus mampu memenuhi tuntutan itu. Sistem pendidikan Hindu
harus mampu menciptakan manusia Hindu yang siap berhadapan dengan segala macam
tantangan di jaman kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini.
Agama Hindu mengenal sebuah konsep
yang disebut dengan Catur Asrama Dharma. Konsep ini adalah tentang empat
tahapan hidup manusia di dunia dimana tahap yang pertama adalah Brahmacarya.
Periode ini dimulai saat anak memasuki usia sekitar lima tahun. Sebelum
memasuki masa Brahmacarya (di bawah lima tahun) anak merupakan tanggung jawab
orang tua. Ia dididik dengan kasih sayang yang melimpah. Brahmacarya asrama,
ialah masa menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup,
realisasinya kini adalah pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah
formal maupun informal (Titib, 2003 :15)
Tiga tujuan dari asrama ini adalah
untuk memperoleh ilmu pengetahuan, membangun karakter, dan belajar untuk
memanggul tanggung jawab yang akan ia dapatkan pada saat kehidupannya menjadi
orang dewasa(Pandit, 2005 : 295). Unsur-unsur yang menjadi tujuan Brahmacarya
ini sangat mirip dengan konsep aspek-aspek modern yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik.Tahap ini dimulai ketika seorang anak memasuki sekolah pada umur
yang sangat muda dan melanjutkannya sampai menyelesaikan semua sekolah dan
dipersiapkan memikul tanggung jawab masa depan.
Setelah menyelesaikan
pendidikannya, seseorang dalam konsep Hindu memasuki tahap selanjutnya yaitu
Grhasta Asrama (tahapan berumah tangga), Wanaprastha Asrama (tahapan tinggal di
hutan), dan Bhiksuka Asrama (tahapan penyangkalan). Perhatikan pula bagaimana
konsep ini disebut Catur Asrama Dharma. Kata Dharma menyiratkan sebuah arti
yang penting dalam menelaah konsep ini. Dharma secara umum didefinisikan
sebagai “kebajikan” atau “kewajiban” (Sivananda, 2003: 39). Dengan memahami
bahwa dalam agama Hindu merupakan satu kewajiban, maka kita dapat menarik
beberapa poin penting, antara lain :
a.
Pendidikan bukanlah
hak, sehingga seharusnya ia tidak diperjuangkan, tapi diharuskan,
b.
Pendidikan merupakan
kewajiban bagi peserta didik, pendidik, pengguna produk pendidikan, dan
pemerintah,
c.
Karena merupakan
kewajiban, maka pendidikan harus dipenuhi. Masa Brahmacarya harus dituntaskan
sampai masa tertentu sebelum memasuki tahap selanjutnya.
Agama Hindu
juga mengenal konsep Catur Purushārtha yang merupakan empat tujuan hidup
manusia Hindu yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Secara spesifik
juga dapat dilihat bahwa empat elemen ini merupakan tujuan dari
diselenggarakannya pendidikan dalam perspektif Hindu.
Umumnya kata Dharma diterjemahkan
sebagai kebenaran, namun sebenarnya kata Dharma memiliki pengertian yang lebih
kompleks dan beragam serta tergantung konteks penggunaannya. Akan tetapi bila
kita pahami esensi dari Dharma tersebut, maka berbagai pengertian itu mengarah
pada satu pengertian tunggal. Kata dharma berasal dari kata dhr, yang artinya
menyangga dan arti asal usul katanya adalah “yang menyangga” dunia ini, atau penghuni
dunia atau segenap ciptaan dari bhuwana kecil sampai bhuwana agung serta
merupakan Hukum Tuhan yang abadi dari Tuhan (Sivananda, 2003 : 38).
Secara garis besar, dharma dalam
agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Sadharana dharma, atau kewajiban
yang ditujukan pada setiap orang tanpa mengacu pada kedudukan mereka dalam
kehidupan atau keadaan-keadaan khusus, dan
b.
Visesha dharma atau kewajiban
relatif, yang adalah, kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh keadaan atau tahap
seseorang dalam kehidupan. (Pappu, 2004: 156)
Sebelum
masuk ke wilayah pemirkiran filsafat Hindu, mungkin ada baiknya memperoleh
sepintas gambaran mengenai tujuan hidup dan model klasifikasi masyarakat India
(pada masa kuno) sebagai landasan analisis untuk memahami perkembangan
pemikiran spekulatif filsafat Hindu pada zamannya masing-masing, sebagaimana
dijelaskan oleh Zimmer (2003) berikut. Tujuan hidup manusia yang terpenting
diklasifikasi menjadi empat, yaitu artha, kama, dharma, dan moksa.
a.
Artha sebagai tujuan
pertama adalah kepemilikan material. Ilmu pengetahuan yang melatari tujuan ini
adalah ilmu ekonomi dan politik, teknik bertahan hidup untuk melawan sifat iri
hati, terjun dalam persaingan, menentang fitnah dan pemerasan, tirani raja-raja
lalim yang mengganggu, dan kekerasan para tetangga yang sembrono. Secara
literer, kata “artha” berarti benda, objek, substansi, dan meliputi seluruh
objek nyata yang dapat dimiliki, dinikmati dan hilang, dan yang kita butuhkan
dalam kehidupan sehari-hari, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup yang benar,
seperti antara lain untuk menghidupi rumah tangga, keluarga, dan membayar
kewajiban agama. Objek ini, juga memberi kontribusi pada kesenangan inderawi,
kenikmatan perasaan, dan kepuasan manusiawi yang alami, seperti cinta, karya seni
yang indah, bunga, emas, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman, kesenangan di
meja makan.
Kata artha berkonotasi sebagai
“memperoleh kekayaan dan kesejahteraan duniawi, kemajuan, keuntungan,
harta-benda”, juga “hasil”; dalam dunia perdagangan: ”keluhan, aksi, dan
petisi”. Kalau mengacu pada dunia eksternal, artha dalam konotasi yang paling
luas, berarti bahwa “yang dapat dipahami, yakni objek inderawi”; kalau mengacu
dunia jiwa batiniah, berarti “akhir dan tujuan, objek harapan, nafsu, motif,
penyebab, alasan, kepentingan, manfaat, keinginan, dan kepedulian”; dan sebagai
suku kata majemuk – artha berarti demi kepentingan, atas nama, dengan maksud”.
Istilah ini juga meliputi semua makna (a) objek pencarian manusia, (b) alat
untuk mencari, dan (c) kebutuhan dan nafsu yang mendorong pencarian ini.
Di India ada sebuah literatur khusus
tentang pengetahuan yang cakupannya dipersempit pada wilayah politik, baik
politik individu dalam kehidupan sehari-hari, maupun politik untuk mendapatkan,
menguji, dan melanggengkan kekuasaan dan kekayaan sebagai raja. Ilmu
pengetahuan ini diilustrasikan dalam fabel sebagai alat yang paling penting
untuk menyampaikan filsafat kehidupan yang nyata. Buku teks itu kering, lucu,
kasar, dan sinikal yang merefleksikan hukum rimba yang keras dalam kehidupan
manusia. Manusia yang saling memangsa, menyerang, dan membunuh mengilhami pola
berpikir seperti itu. Prinsip-prinsip dasarnya terbenam di bawah laut; sehingga
ajarannya dinamakan Mastya-nyaya, “Prinsip atau Hukum (nyaya) Ikan (matsya)” –
yang katakanlah “ikan-ikan besar memakan sesamanya yang kecil”. Ajaran ini,
juga disebut Arthasastra, “Pedoman (sastra) tentang Pengetahuan Kekayaan
(artha)”, yang di dalamnya bisa dijumpai semua hukum, politik, ekonomi,
diplomasi, dan perang yang abadi.
Dua fabel yang paling terkenal adalah
Pancatantra, “Lima (panca) Tenunan (tantra)”, yakni “Lima Risalah”, dan
Hitopadesa, “Perintah (upadesa) di dalam Apa yang Disebut Faedah dan Keuntungan
(hita)”. Salah satu risalah sistematis yang paling penting adalah sebuah karya
ensiklopedik yang dikenal dengan Kautiliya Arthasastra, yang namanya dilekatkan
setelah, dan secara tradisonal diatribusikan kepada, Canakya Kautilya, Ketua
Candragupta Maurya, yang legendaris dan hidup akhir abad ke-4 SM. Sebuah
risalah yang lebih pendek, yang kemudian disebut Barshapatya Arthasastra,
adalah kumpulan pendek aforisme yang dianggap sebagai karya Brhaspati yang
suci, seorang ketua mitos, pendeta istana, dan ketua penasihat politik Indra,
raja dari dewa-dewa. Risalah pendek lain adalah karya Kamandaki, Nitisastra,
“Sari, Buah atau Esensi (sastra) Perintah, atau Perilaku yang Benar (niti)”.
Pelajaran-pelajaran yang bernilai, juga tampak dalam banyak dialog, kisah, dan
fabel didaktik pada epos besar, Mahabharata – fragmen-fragmen dari
risalah-risalah yang kini hilang itu berasal dari zaman feodal India abad ke-8
dan 9 SM.
b.
Kama adalah kesenangan
dan cinta. Di dalam mitologi India, Kama adalah bagian dari Dewa Asmara. Dia
adalah dewa cinta Hindu, yang dengan selembar bunga dan lima anak panah,
mengirim hasrat yang menggetarkan hati. Kama adalah hasrat untuk berinkarnasi,
dan tuan serta guru bumi, juga penguasa wilayah langit bagian bawah. Karya
klasik Kama India yang masih bertahan adalah Kamasutra, ditulis oleh
Vatsyayana. Karya ini menyebabkan India terkenal dengan reputasinya yang
ambisius tentang sensualitas yang menyesatkan, karena masalah ini dihadirkan
pada tingkat yang sepenuhnya sekular dan teknis, sebuah buku teks untuk para
pecinta dan pelacur. Sikap Hidu yang utama sebenarnya adalah teliti, suci, dan
sangat tenang, yang ditandai dengan penekanannya pada pencarian yang sepenuhnya
spiritual dan kekhusukan pengalaman religius serta mistis. Ajaran Kama muncul
untuk mengoreksi dan mencegah frustasi dalam kehidupan suami-istri yang pasti
selalu terjadi di mana pernikahan itu mewadahinya dan percintaan menjadi tidak
terkecualikan. Selama berabad-abad, pernikahan semakin sarat dengan
masalah-masalah keluarga. Persetujuan kepala keluarga, yang didasarkan pada
horoskop yang dibuat oleh para astrolog dan didasarkan pada pertimbangan
ekonomi dan sosial, menentukan nasib pasangan pengantin muda. Tidak diragukan
lagi ada banyak rumah tangga yang membosankan dan menyiksa yang bisa diatasi
dengan studi kecil tentang pengetahuan pelacuran. Studi ini ditujukan untuk
sebuah masyarakat yang dingin, tidak jangak; dan studi ini berisikan ikhtisar
tentang teknik-teknik pemanasan dan perangsangan seks.
Walaupun terlalu teknis, beberapa
pandangannya yang mendasar tentang sikap terhadap lawan jenis masih dapat
diambil darinya – suatu konsep tentang psikologi cinta Hindu, analisis
perasaan, dan ungkapan emosional, serta pandangan tentang tugas dan wilayah
cinta. Oleh karena itu Kamasutra sebenarnya tidak jauh dari ajaran tantra, yang
tiada lain adalah ajaran tentang penguasaan terhadap rasa dalam berbagai
wujudnya, bahkan pada puncaknya mengarah pada hakikat sifatnya yang
religius-spritual, teologis. Selain kitab tersebut, Natyasastra merupakan salah
satu buku yang sejenis, mengenai teknik menari, berpantomim, bernyanyi, dan
drama bagi para profesional.
c.
Dharma berisi seluruh
kewajiban agama dan moral. Dharma itu, juga dipersonifikasikan sebagai dewa,
tetapi dia merupakan pribadi yang relatif abstrak. Buku yang membahas tentang
dharma adalah Dharmasastra dan Dharmasutra, atau buku-buku tentang Hukum.
Sebagian buku ini diatribusikan pada tokoh-tokoh khayal terkemuka, seperti
Manu, nenek moyang manusia, dan sebagian buku lainnya diatribusikan pada
santa-santa dan guru-guru Brahman yang terkenal pada zaman dahulu. Karya-karya
awal berisi petunjuk-petunjuk sosial, ritual, dan agama yang kemudian menjadi
aliran-aliran Vedic. Akan tetapi buku-buku hukum terkemudian – dan yang paling
terkenal adalah ikhtisar besar yang disusun oleh Manu – berisi seluruh konteks
kehidupan Hindu ortodoks. Ritual-ritual dan tata cara sosial dari tiga kasta
tinggi ini, Brahmana (pendeta), Ksatriya (bangsawan), dan Vaisya (pedagang dan
petani) diformulasikan secara teliti berdasarkan praktek-praktek pribadi yang
diduga berasal dari ajaran Sang Pencipta sendiri. Bukan raja atau milyuner,
tetapi orang bijak, santa, Mahatma (yang secara literer berarti “murah hati”:
“Diri atau Jiwa (atman) yang besar (mahat)” yang mendapat tempat atau
penghormatan tertinggi dalam sistem ini. Sebagai tukang ramal, lidah atau juru
bicara kebenaran abadi, dia merupakan orang yang menciptakan seluruh tatanan
masyarakat. Sementara itu, raja, lebih tepatnya, menjadi pengelola tatanan
tersebut; para petani dan pedagang berperan menyediakan bahan-bahan untuk
membentuk tatanan itu; dan para pekerja (sudra) adalah orang-orang yang
menyumbangkan tenaga fisiknya. Semua kasta ini diselaraskan dengan wahyu,
pemeliharaan, dan pengalaman Yang Maha Agung sebagai imaji suci. Dengan
demikian dharma adalah ajaran tentang kewajiban dan hak setiap manusia dalam
sebuah masyarakat ideal, dan hukum atau cermin seluruh perilaku moral.
d.
Moksa, apavarga,
nirvrtti, atau nivrtti adalah penebusan dosa, atau pembebasan spiritual.
Pembebasan spiritual dianggap sebagai tujuan puncak, kebaikan manusia yang
tertinggi, dan mengatasi tiga tujuan sebelumnya. Artha, Kama, dan Dharma yang dikenal
sebagai trivarga, kelompok tiga, adalah pencarian dunia; masing-masing
mengimplikasikan orientasi atau filsafat hidupnya sendiri-sendiri, dan memiliki
sebuah literatur khusus. Tujuan tertinggi dalam pemikiran, penelitian, ajaran,
dan tulisan India ini menyangkut tema pembebasan spiritual terbesar dari
kebodohan dan nafsu ilusif duniawi pada umumnya, yaitu moksa. Moksa berasal
dari kata muc, “melepaskan, membebaskan, mengeluarkan, mengirim; meninggalkan,
lari, keluar”, berarti “pembebasan, pelarian, kebebasan, pelepasan;
penyelamatan, pengiriman; pembebasan jiwa terakhir”. Apavarga, dari kata kerja
apavrj, “mencegah, menghancurkan, menghilang; melepaskan, mencabut,
mengeluarkan”, berarti “pelemparan, penembakan (peluru), pembebasan;
penyempurnaan, pencapaian, pembebasan dari eksistensi, kepuasan, kebahagiaan,
penyudahan, pelenyapan; pantangan dari kegiatan atau kerja; pemberhentian,
pengunduran diri; berhenti dari perilaku atau emosi duniawi; diam, pelepasan
dari dunia; istirahat, tidur, kebahagiaan yang luar biasa”. Semua istilah
tersebut berarti suatu tujuan tertinggi manusia yang dipahami oleh orang suci
India.
2.2 Pemikiran
Filsafat Hindu
Walaupun
kaya akan filsafat, namun AgamaHindu tidak mengenal istilah filsafat,
melainkanmemakai istilah darshana. Istilah darshana disamakandengan filsafat.
Kata darshana berartimelihat atau mengalami. Pemaknaan seperti inimemberikan
petunjuk, bahwa filsafat dalamkonteks Agama Hindu, tidak hanya
merupakanspekulasi metafisika, tetapi didasari pula olehdata langsung. Pengalaman
langsung adalahsumber darimana pikiran India mengalir, dan iniditerima sebagai
dasar filsafat di India. Gagasan ini menarik,karena menunjukkan kesamaan dengan
gagasanAlfred North Whiteheid (dalam Atmadja, 2013)tentang filsafat yang
dianggap memiliki duawajah sekaligus, yakni rasional dan empiris.
Hubunganantara keduanya bersifat dinamis, salingmenguji, menjelaskan,
menjustifikasi, bahkanmemfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaianantara
kerangka dan materinya. Hal ini harus diusahakanoleh filsafat, sehingga
darshana tidakhanya memuat pemikiran spekulasi metafisika,tetapi memuat pula
pengalaman atau meminjamide Immanuel Kant memadukan antara rasionalismedan
empirisme.
Walaupun filsafat Hindu sangat
menghargaiolah pikiran dan pengalaman, namun ada aspekpenting yang
membedakannya, yakni penghargaanterhadap intuisi (Sivananda, 2006). Gejalaini
berkaitan dengan hakikat manusia, yaknimemiliki kesadaran supra yang
memberikannyakemampuan untuk mendapatkan pengetahuansecara intuitif yang di
dalamnya mencakup olahrasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya,1991).
Jadi, dalam rangka mendapatkanpengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya
bermuatanolah pikiran (rasionalisme) dan olahpengalaman (empirisme) atau
memadukan wadahrasional dan empiris sebagaimana yanglazim berlaku pada filsafat
Barat, melainkanmeminjam gagasan Knight (2007) memperhatikanpula intusi yang di
dalamnya mencakup kesadaran supra, olah rasa dan olah batin. Namun di balik
pencarian kebenaran secara falsafati maka peran Agama Hindu sebagai sumber
kebenaran tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah kebenaran yang berdimensi
kewahyuan sehingga kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri (murni)
(Atmadja, 2013).
Pokok-pokok
ajaran Sad Darsa diuraikan dalam bagian Sad Darsana sebagai berikut:
a.
Nyaya
Ajaran Nyaya
didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas
5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian
analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis
dan analitis.
b.
Samkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi
Kapila, beliau yang menulis Samkhyasutra. Di dalam sastra Bhagavatapurana
disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya
yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai
Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang di tulis oleh Isvarakrsna.
Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatnya
ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Sruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Kata Samkhya berarti: pemantulan,
yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya
mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena
terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu
purusa dan prakrti.
c.
Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi
Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu.
Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar
dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu
(atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali
mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas
empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama
disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian
ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada.
d.
Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh
Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa
berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara
khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber
ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab)
yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata
upacara menurut Veda.
e.
Vaisiseka
Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh
Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisisekasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat
pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi
satu dengan Nyaya.
f.
Vedanta
Ajaran Vedanta, sering juga
disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini
mengkaji bagian Weda, yaitu Upanisad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya
dan Antah yang berarti Akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab
Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini
adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna
Dwipayana.
2.3 Pemikiran Filsafat Pendidikan Hindu
Bawa
Atmadja (2013) menyampaikan bahwa filsafat pendidikan Hindu mengacu pada proses
Dewanisasi Insani. Realitas ini disadari oleh Agama Hindu, terbukti dari
kenyataan, bahwa Agama Hindu banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung
sejak awal, terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno sebagai berikut.
(1) Sa vidya ya
vimuktaye
(Pembelajaran adalah yang membebaskan manusia)
(2) Vidya tritiyo
netrah
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
(3) Vidyayamrihtamashnute
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
(4) Na hi jnanen
sadrisnham pavitramih vidyate
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada
pengetahuan)
(5) Vidya balam
chandrabalamstathaiva
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan
menganugrahi kamu sekalian)
(6) Vidya gurunam
guruh
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
(7) Kim kim na
sadhyati Kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembelajaran itu? Ia merupakan
sebuah tumbuhan magis atau pohon kebijaksanaan)
(8) Vidya vihinah
pashuh
(Seseorang yang tanpa pembelajaran adalah binatang).
Agama
Hindumenyebut pendidikan dengan istilah aguron-aguronatau
asewakadharma. Pendidikan
bisadilakukan di sekolah atau pada zaman Vedadisebut sakha atau patasala. Pada
masyarakatBali mengenal istilah asrama, pasraman ataukatyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006).Apa pun nama lembaga
pendidikan, baik asramamaupun sekolah, pasti memiliki tujuan-hakikatmanusia sebagai
makhluk teleologis. Dengan mengacu
kepada Suhartono (2006: 80) tujuan pendidikan adalah “... pendewasaan, pencerdasan,
dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan
jiwa, dan matang dalam hal berperilaku”.
Gagasan
Suhartono (2006) menarikdicermati, mengingat bahwa kata pendewasaanyang sebagai
salah satu dimensi tujuan pendidikan merupakan turunan dari kata dalam Bahasa
Sanskerta, yakni dewasa (dewa dan sya yang berarti memiliki sifat sebagai
dewa). Titib (2003) menjelaskan makna kata dewasa sebagai berikut.
Bila kita kaji tentang makna pendidikan
mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju ke tingkat dewasa atau
kedewasaan .... maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya dengan kata dewa
atau devata, dimaksudkan seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki
sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena kata dewasa (dewasya) berasal dari
kosa kata bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat dewa, juga berarti
yang bercahaya, tentu diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran ketuhanan atau
memancarkan nilai-nilai ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifatsifat
keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003: 4).
Dengan
definisi ini, maka tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik agar
dewasa dalam arti perkembangan badaniah seperti dikemukakanSuhartono (2006),
tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter kedewataan
(daiwisampat) atau divine human yang sekaligus berarti mencegah kehadiran
manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat) atau demonic human. Dengan meminjam
pendapat Surakhmad (2009) gagasan ini jelas bernuansa filosofis, sebab kandungannya
tidak sekedar memenuhi hasrat ingin tahu tentang hakikat pendidikan, tetapi memuat
pula cita-cita ideal tentang tujuanpendidikan – mewujudkan divine human.
Pendekkata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan dalam perspektif Filsafat
Pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah proses mendewatakan manusia atau
dewatanisasi insani yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan
berkarakter raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain bisa pula dikemukakan,
bahwa hakikat pendidikan menurut pandangan Filsafat Pendidikan Hindu memiliki wajah
ganda, yakni dewatanisasi insani dan deraksasanisasi atas manusia (membasmi sifat-sifat
raksana) sehingga melahirkan insan ideal, yakni divine human atau daiwisampat, bukan
manusia berkarakter raksasa, asurisampati
atau demonic human.
2.3.1 Ciri-ciri
Daiwisampad
Pemaknaan pendidikan sebagai
dewatanisasiinsani atau deraksasanisasi insani gunamembentuk daiwisampat atau
divine human,bukan manusia asurisampati atau demonichuman, memberikan petunjuk,
bahwa AgamaHindu menggunakan konsep oposisi biner (rwabhineda) dalam melihat
eksistensi manusia. Gagasanini berkaitan erat dengan pandanganAgama Hindu
tentang hakikat manusia, yaknisecara substansial terdiri dari unsur
tubuh,pancaindra, pikiran (manah), budi (budhi,kecerdasan), dan atman (rokh,
spriton, kesadaran)(Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuhdan pancaindra
memunculkan hasrat atau kama.Hasrat selalu berkecenderungan untuk
menikmatisesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidakjauh berbeda daripada
gagasan Aristotelestentang tujuan hidup manusia, yakni mencarinikmat dan
menghindarkan rasa sakit (Magnis-Suseno, 2010).
Pengaktualisasian hasrat atau kama
selaludibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensibenar dan patut dan tamas
guna – tendensi-tendensisalah dan tidak patut. Bayangan tattwaguna dan tamas
guna tidak bisa dilenyapkan,karena keduanya melekat pada tubuh
manusia.Akibatnya, dalam memenuhi hasrat manusia selaluberpeluang untuk berbuat
baik (sattwa guna)atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamasguna) (Singh,
2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009;Pandit, 2005). Dengan demikian, secara
psikogenetikmanusia adalah makhluk berkarakterganda, yakni kedewataan dan
keraksasaan sehinggamelahirkan divine human dan demonichuman. Manusia selalu
berpeluang untuk berbuatkebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakniberbuat
kejahatan (tamas guna) baik dalamkehidupan bermasyarakat maupun
bernegara.Kemana peluang karakter manusia, apakahsattwa guna (divine human)
atau tamas guna(demonic human), bergantung pada dominasiproporsi masing-masing
sebagai satu kesatuandalam tubuh manusia (Pendit, 2005).
Kemunculan perbuatan baik atau
burukdalam memenuhi hasrat, selain karena kemelekatansattwa guna dan tamas guna
pada tubuhmanusia, bergantung pula pada pengendalianpikiran (manah) dan
kecerdasan (budhi) (Singh,2004, 2007; Sudharta, 2001). Pikiran dan
kecerdasanmemberikan pertimbangan atas dasar rasionalitasdan moralitas atau
akal sehat dan rasa,yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja,2010).
Tubuh dan pancaindra sebagai sumberhasrat – manusia pabrik hasrat, selalu
menuntutkenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Bratayuddhayang ajeg dalam tubuh
manusia, yakniperang antara partai Korawa, simbol tubuh, pancaindra dan hasrat
berlandaskan tamas guna, dan partai Pandawa, simbol tubuh, pancaindra, dan
hasrat yang dikendalikan oleh manah dan budhi berlandaskan sattwa guna. Jika
Korawaisme (Duryadanaisme), tubuh pancaindra, danhasrat mengalahkan Pandawaisme
manah, budhidan sattwa guna. Maka muncul tindakan manusiabersifat tamas guna
atau keraksasaan. Jikaterjadi hal yang sebaliknya, yakni
Pandawaisme(Yudistiraisme), manah dan budhi mampu mengendalikanKorawaisme
tubuh, pancaindria hasrat,dan tamas guna maka muncullah tindakansattwa guna
atau kedewataan.Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwapendidikan sebagai
dewatanisasi insani secaraideal diarahkan kepada pembentukkan
manusiaberkarakter ideal, yakni: pertama, mampumengendalikan dominasi dan
hegemoni tubuh,pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) danbudhi
(kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikanmanah dan budhi sebagai kekuatan
dominatifdan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan hasrat.Kedua, sattwa guna
mengendalikan tamasguna. Ketiga, pengikut setia partai Pandawa(Pandawaisme,
Yudistiraisme) dan mengabaikanpartai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme).Keempat,
karakter kedewataan mengendalikankarakter keraksasaan atau divine human
mengendalikandemonic human. Walaupun berpihakpada daya manah dan budhi, sattwa
guna, Pandawaismeatau divine human, namun tidakberarti, bahwa daya tubuh,
panca-indra, hasrat,tamas guna, Kowaisme atau demonic human,karena secara
substansial tidak bisa dilenyapkan,bahkan harus ada dalam konteks
kehidupanmanusia.
Gagasan Agama Hindu tentang
kemanunggalantubuh dengan sattwa gana dan tamasguna, begitu pula manusia adalah
pabrik hasratdan pikiran acap kali gagal mengendalikannya,bahkan hasrat (tubuh,
pancaindria) menguasaipikiran sehingga peluang manusia untuk berbuatburuk
selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkanimplikasi, bahwa pendidikan sebagai
prosesmendewasakan (dewasanisasi) atau mendewatakanmanusia (dewatanisasi) tidak
berhenti hanyapada saat manusia mencapai taraf kedewasaanbiologis, melainkan
berlangsung sepanjanghayat. Selain keewasaan secara biologis, manusiamenuntut
pula kendewasaan secara sosiobudayayang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewujudkankedewasaan
secara sosiobudaya tidakmudah, baik karena faktor psikogenetik –
manusiamemiliki tubuh, pancaindria, hasrat, dantamas guna maupun karena
pengaruh lingkungansehingga sepanjang perjalanan hidupnya, manusiaselalu
berpeluang untuk berbuat kejahatan.Berkenaan dengan itu maka gagasan
UNESCObahwa manusia harus melaksanakan pendidikanpermanen, yakni menciptakan
masyarakat dimana setiap orang belajar tanpa dibatasi olehwaktu, sangatlah
tepat. Perubahan sosial danbudaya mengharuskan manusia, baik yang belumdewasa
maupun yang sudah dewasa untuk secaraterus-menerus mendewasakan pikirannya
(Fingerdan Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocokdengan Filsafat Pendidikan
Hindu yang melihat,bahwa manusia adalah multivalensi yang terkaitdengan logika
samar, sehingga tidak ada manusiayang murni baik atau sebaliknya, yakni
murnijahat. Berkenaan dengan itu maka dewatanisasitidak saja menjadi suatu
keharusan bagi manusia,tetapi juga berlangsung sepanjang hayat.
Jikadewatanisasi berhenti, maka hasrat yang menyatudengan virus tamas guna bisa
memunculkanpenyakit, yakni perilaku menyimpang padasistem sosial – yang paling
hebat apa yang olehWhitehead (dalam Bria, 2008) disebut kejahatanmoral.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah penulis uraikan, dapat ditarik beberapa kesimpulan,
antara lain:
a.
Konsep pendidikan
dalam Agama Hindu mengacu pada ajaran Catur Asrama dan Catur Purusa Artha.
Korelasi antara kedua ajaran ini adalah ajaran catur asrama sebagai
tahapan-tahapan yang menguraikan antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan
ketika berada pada fase kehidupan tertentu, baik itu dalam tahap brahmacari,
grehasta, wanaprasta ataukah biksuka. Kemudian empat tahapan tersebut dikaitkan
lagi dengan tujuan hidup manusia sebagai landasan analisis untuk memahami
perkembangan pemikiran spekulatif filsafat Hindu pada zamannya masing-masing,
yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
b.
Filsafat Hindu
tercermin dalam filsafat India Kuno yang disebut dengan Darsana. Jumlahnya ada
enam yang kemudian disebut Sad Darsana dengan bagiannya adalah Nyaya, Samhya,
Yoga, Waisiseka, Mimamsa, dan Wedanta.
c.
Filsafat Pendidikan
Hindu dikonsepkan dalam upaya pembentukan insan manusia yang berkarakter dewa
(Daiwisampad). Hal ini dikaitkan dengan salah satu sub tujuan pendidikan adalah
untuk mendewasakan peserta didik, yang kemudian kata dewasa dikaitkan ke dalam
bahasa sansekerta "Dewasya", yang diartikan memiliki sifat-sifat
dewa.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Bawa I Nengah. 2013. Dewatanisasi Insani: Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Hindu(Jurnal). Singaraja: Undiksa
Pandit, B. 2005. Pemikiran
Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. (IGA Dewi Paramita
Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Suhartono, S. 2006. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz.
Titib, I M. 2003. Menumbuhkembangkan
Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Bandung:
Gabesa Exact.
Zimmer, H. 2003. Sejarah
Filsafat India. (Agung Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar