Menggali sejarah Desa Pakraman Apuh sangat sulit sekali,
penyebab utamanya adalah tidak adanya sumber yang tertulis secara pasti dan
bernilai sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi karena keadaan yang menghendaki,
maka menggunakan cerita dari warisan turun temurun dan cerita dari orang suci,
dicoba untuk menyusun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Berdasarkan
tradisi dan pelaksanaan upacara yang dilaksanakan di Desa Pakraman Apuh
mengikuti pelaksanaan Upacara di Desa Pakraman Sebatu, Maka diperkirakan bahwa
Desa pakraman Apuh merupakan serpihan atau bagian dari Desa Pakraman Sebatu.
Berdasarkan
cerita dari orang suci dan tokoh masyarakat secara turun temurun, seorang tokoh
masyarakat Sebatu yang diikuti oleh pengikutnya berjalan menuju ke Utara untuk
memperluas tanah pertanian merambah hutan dijadikan pertanian lading, sehingga
sebgaian pengikutnya tinggal di wilayah Desa Pakraman Apuh.
Berdasarkan
bukti sejarah di wilayah Desa Pakraman Apuh dan Desa Pakraman Sebatu hampir
sama, banyak ditemukan peninggalan kuno seperti: Lingga, Yupa (batu besar
berdiri) peti batu yang berisi alat pertanian di beberapa pura dan pelaksanaan
upacaranya sebagaian besar di puput oleh pinandita (pemangku). Dengan ditemukan
banyak peninggalan berupa batu di wilayah pura Desa Pakraman Sebatu dan wilayah
Desa Pakraman Apuh maka disimpulkan Desa Pakraman Apuh termasuk Desa Kuno.
Mengenai nama Desa Sebatu dan Apuh dikaitkan dengan cerita Mayadanawa padan
Lontar Usana Bali. Dalam prasasti Bali memang nama Mayadanawa tidak pernah
dijumpai, namun masalah nama bisa saja terjadi. Adapun cerita singkatnya
sebagai berikut:
Mayadanawa
adalah seorang raja besar yang menguasai beberapa daerah seperti: Sasa,
Sumbawa, Makasar, Bugis, Madura, Blambangan dan tentu saja Bali. Beliau
bertahta di Bedahulu dan mempunyai Patih yang sangat sakti dan setia yaitu
Kalawong. Karena mabuk akan kekuatannya maka wataknya menjadi sombong dan “Nyapa
kadi aku” (egois), menganggap dirinya paling super bahkan lebih dari itu, yaitu
menganggap dirinya sebagai Dewa. Tidak jarang beliau membenarkan perbuatan yang
tidak benar. Pada suatu ketika tatkala beliau sedang dihadap oleh Patihnya
Kalawong maka beliau bersabda menginginkan untuk mencegat masyarakat Bali yang
bermaksud akan menghaturkan sembah widi wedana
kepada para Dewa di pura Besakih. Sabdanya ini mendapat dukungan sepenuhnya
dari Ki Patih Kalawong. Oleh karena itu berangkatlah beliau bersama dengan
Patihnya ke Besakih, dan tiba di Pura Manik Mas. Setelah itu dilihatnya
masyarakat Bali datang berduyun-duyun hendak melaksanakan widiwedana.
Dengan
sifat dan sikapnya yang angkuh, Mayadanawa memanggil masyarakat serta menanyakan
apa maksud dan tujuan mereka datang dengan membawa sarana widiwedana ke Besakih. Yang ditanya dengan lugu menjawabnya, yaitu
mereka mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah bertujuan untuk menghaturkan
sembah bhakti dan widiwedana
kehadapan para Dewa di Pura Besakih, agar berkenan melimpahkan urip waras gemuh landuh dan dirghayusa.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Mayadanawa menjawab dengan congkaknya, dimana
dikatakan bahwa tiada Dewa terkecuali dirinya sendiri dan dijelaskan pula bahwa
pengertian masyarakat Bali itu salah. Sedangkan yang benar adalah dirinya
sendiri Dewa sejati yang wajar disembah dengan menghaturkan widiwedana. Kata-kata itu diucapkan
sambil melontarkan ancaman, seandainya berani menentang tentu akan dibutuh.
Melihat kejadian itu masyarakat tidak ada yang berani datang ke Besakih untuk
menghanturkan widiwedana, sehingga
Pulau Bali menjadi kering, dimana-mana penyakit merajalela, tanaman tidak dapat
tumbuh. Pendek kata masyarakat Bali ditimpa kesengsaraan lahir dan bathin. Hal
ini segera dapat diketahui oleh Bhatara Putrajaya atau Bhatara Mahadewa, maka
beliau segera memanggil para Dewa lainnya untuk diajak berunding, untuk
mengatasi problem yang menimpa Pulau Bali. Dalam pertemuan itu telah
disimpulkan bahwa ulah Sang Mayadanawa tersebut perlu dilaporkan kepada Bhatara
Pasupati di Gunung Mahameru. Tujuannya adalah agar Mayadanawa segera
dilenyapkan dari bumi ini. Selanjutnya diceritakan Bhatara Mahadewa telah tiba
dihadapan Bhatara Pasupati dan setelah menghaturkan sembah lalu diceritakan
maksud kedatangannya,yaitu untuk membunuh Mayadanawa, karena akibat ulahnya
menyebabkan masyarakat Bali ditimpa malapetaka. Bhatara Pasupati tidak
keberatan sehingga beliau meminta bantuan kepada Bhatara Indra. Demikian pula
Bhatara Indra tidak merasa keberatan untuk membantu Bhatara Mahadewa dalam
memerangi Sang Mayadanawa, maka segeralah pasukan Bhatara Indra disiap-siapkan
ke Besakih.
Melalui
mata-mata yang tersebar luas dimana-mana Sang Mayadenawa segera mengetahui
maksud dari Bhatara Mahadewa, dimana diketahui pula bahwa Bhatara Indra telah
siap-siap tempur dan berkumpul di Besakih. Sang Mayadanawa pun tidak tinggal
diam dan segera disiapkan pasukannya untuk menangkis seranagan pasukan Bhatara
Indra jauh lebih unggul sehingga pasukan Mayadanawa menjadi porak-poranda
seperti belukar dilanda air bah, dan mengakibatkan Mayadanawa lari
terbirit-birit ketakutan dikejar pasukan Bhatara Indra. Karena kesaktiannya
dalam ilmu “maya” (berubah rupa) maka Sang Mayadanawa dalam pelariannya
seringkali merubah dirinya menjadi pohon, binatang dan lain sebagainya. Namun
itupun diketahui pula dan terus dikepung oleh pasukan Bhatara Indra. Ketika
Sang Mayadanawa lari bersembunyi pada pohon timbul maka tempat tersebut
sekarang dinamakan Desa Timbul, ketika bersembunyi pada janur (busung), Desa
itu sekarang dinamakan Belusung. Didalam persembunyiannya Sang Mayadanawa
dengan tipu dayanya menciptakan air beracun (tirta cetik) yang akhirnya diminum oleh pasukan Bhatara Indra
sehingga semuanya menemu ajalnya. Melihat pasukannya semua meninggal, maka
Bhatara Indra segera membawa senjata umbul-umbul dan ditancapkan didekat air
beracun itu sehingga muncul mata air yang besar mengepul dari tanah. Air
tersebut kemudian dipergunakan untuk memerciki semua mayat pasukan Bhatara
Indra, maka ajaib semuanya hidu kembali. Mata air tersebut sekarang disebut
Tirta Empul.
Pengejaran
oleh pasukan Bhatara Indra dilanjutkan kembali dan Sang Mayadanawa lari kearah
barat menjadi seekor ayam jago, sekarang disebut Desa Manukaya. Selanjutnya
Sang Mayadanawa lari sambil bersembunyi kembali pada beberapa tempat dan ketika
dia lari diatas sebuah batu maka tergelincirlah (sauh) kakinya pada sebuah batu
itu, sehingga tempat itu disebut Sauhbatu yang berarti tergelincir pada batu
dan kini disebut Desa Sebatu. Untuk seterusnya Sang Mayadanawa lari dan tibalah
di Pangkung patas bersama patihnya Kalawong, disana keduanya merubah dirinya
menjadi batu padas. Batu tersebut kemudian dipanah oleh pasukan Bhatara Indra,
maka keluar darah dan mengalir hingga sampai pada sungai Petanu. Akhirnya
matilah Sang Mayadanawa dengan Patihnya (Profil Pembangunan Desa Sebatu Tahun
2013).
Jadi
berdasarkan urainan tersebut, kata Sebatu berasal dari dua kata yaitu kata
“sauh dan batu”. Sauh berarti tergelincir dan batu berarti batu. Jadi Sauhbatu
artinya tergelincir pada batu. Dari kata sauhbatu lambat laun masyarakat
mengucapkan menjadi Sebatu.
Menurut tokoh masyarakat dan orang suci di Apuh bahwa
nama Desa Pakraman Apuh, diperoleh dari kedatangan seorang tokoh dari Sebatu
dan pengikutnya menuju ke Utara untuk memperluas wilayah pertanian ladang. Pada
saat merambah hutan pertama ditemukan tanah yang berwarna putih disebut tanah
kapur, dalam bahasa bali oleh orang tua disebut pamor atau Apuh. Maka sampai
saat ini Desa Pakraman ini dinamakan Desa Pakraman Apuh. Untuk memuja kebesaran
Sang Hyang Widhi di wilayah Desa Pakraman Apuh ini didirikan sebuah tempat suci
yang disebut Pura Abiyan. Demikianlah secara singkat asal mula nama Desa
Pakraman Apuh.
Sumber: Penglingsir Adat Sebatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar