CANANG BUKAN UNTUK SEMBAHYANG!!!!

Canang adalah sarana persembahyangan yang sudah tidak asing bagi umat Hindu di Indonesia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa canang merupakan istilah yang diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti sirih, yang mana awalnya sirih ini merupakan suguhan yang diberikan kepada tamu yang dihormati. Menurut keyakinan juga, sirih ini benar-benar bernila tinggi, sehingga menjadi unsur penting dalam upacara agama. Lain di Jawa lain di Bali, di Bali sendiri canang sudah akrab dengan upakara, dan apabila dikaitkan dengan pendefinisian canang di Jawa, maka bisa dilihat pula bahwa inti dari canang itu adalah sirihnya yang disebut "Porosan".
            Canang merupakan syarat utama yang harus ada dalam membuat upakara baik dalam ukuran
besar maupun kecil, ibaratnya upakara tanpa canang tidak akan lengkap (kurang maknanya). Namun yang akan penulis ulas pada kesempatan ini bukanlah tentang makna dan fungsi canang, melainkan mencoba untuk menguraikan benang kusut terkait pernyataan bahwa "tidak boleh sembahyang menggunakan canang". Tidak boleh sembahyang menggunakan canang bukan artinya melarang penggunaan canang untuk Yadnya. Penulis sedikit pertegas bahwa menghaturkan dengan sembahyang dalam sudut pandang penulis berbeda. Kalau mengahaturkan canang memang benar adanya karena canang itu merupakan simbol alam semesta yang dijadikan ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Akan tetapi kalau sembahyang menggunakan canang dimaksudkan bahwa ketika melakukan Kramaning Sembah jangan menggunakan canang yang kemudian diambil bunganya, apa alasannya?
            Usut punya usut, masalah (fenomena) yang dianggap kecil ini menjadi diskusi yang sangat menarik dalam mata kuliah Pendidikan Seni Agama hari Selasa, 10 November 2015 yang diampu oleh Ibu Gusti Ayu Desy Wahyuni, S.Sn. M.Pd.H di STAHN Gde Pudja Mataram. Dalam diskusi ini diproleh kesimpulan bahwa canang yang menjadi simbol alam semesta dan sudah ditata sedemikian indah kenapa harus dibongkar lagi. Ini sama artinya dengan suatu simbolisasi merusak alam yang sudah ditata, dan hal semacam ini tentunya sangat tidak sesuai dengan etika dalam beryadnya.
            Lalu bagaimana solusinya apabila ketika maturan di tempat yang jauh hanya membawa canang dan dupa serta lupa membawa bunga? Bu Desy menyampaikan bahwa solusinya adalah dengan mengambil "Porosan" dari canang tersebut sebelum digunakan sembahyang. Hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa "Porosan" merupakan inti dari canang, olehnya dengan mengambil porosan di canang berarti canang yang tadi sudah tidak bisa disebut canang lagi dan itu hanya bunga biasa yang bisa digunakan untuk sembahyang.
            Disamping itu, hal lain terkait canang yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Jangan menggunakan canang lungsuran untuk sembahyang, maksudnya ketika ke Pura dan lupa membawa bunga, jangan mengambil bunga dari canang yang sudah selesai dihaturkan walaupun itu letaknya di pelinggih.
2.      Jangan mengambil bunga dari canang yang akan dihaturkan (walau sedikit) untuk digunakan sembahyang, karena hal ini sama artinya dengan memberikan tamu suguhan yang sudah kita cicipi.

Barangkali demikian yang dapat saya sharing-kan terkait canang pada kesempatan ini. semoga tulisan ni bermanfaat.

2 komentar: