A.
Wewenang para diksa secara umum
Seperti diketahui, upacara diksa
berfungsi untuk meningkatkan status orang dari welaka menjadi sulinggih atau
dwijati. Pandita disebut dwijati artinya telah lahir dua kali.pertama dari gru
nabhe, melalui suatu proses penyucian, pendidikan dan upacara ritual tertentu.
Welaka artinya anak.meskipun sudah dewasa bahkan sudah tua dalam tingkatan
rohani. Sedangkan yang boleh didiksa adalah orang yang telah mencapai tingkatan
rohani yang tinggi.
Adapun wewenang diksa secara umum yaitu memimpin umat – umat dalam
bidang hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahiriah batiniah di dalam
melaksanakan upacara yadnya di masyarakat. Selain dari hal tersebut juga ada
diuraikan beberapa wewenang para diksa sebagai berikut :
1. Berbuat kerti : berarti melakukan
pertolongan terhadap semua makhluk terutama manusia.
2. Taat dengan brata : artinya taat
melakukan puasa sebagai pantangan seorang sulinggih termasuk Yama brata dan
Nyamabrata.
3. Samadi : yaitu sering melatih diri
dalam ajaran yoga antara lain Asana, Pranayama, Darana, Dyana, Pratiara, Yama,
Nyama dan Samadi. Samadi dalam pengertian ini berarti memusatkan pikiran
sehingga dapat bersatu dengan Tuhan.
4. Aji adyatmika : adalah belajar untuk
mengetahui ilmu kebatinan.
5. Aji tarka : berarti tekun
mempelajari tentang huruf suci yang terdapat dalam badan.
6. Tri kaya parisudha : yaitu tiga
perbuatan yang patut disucikan.
7. Sojaring manu : adalah mengetahui
sekalian ajaran – ajaran orang suci terutama Manawa Dharmasastra dan ajaran
tata tertib kesusilaan serta pengetahuan hukum.
8. Kamoksan : artinya harus mempunyai
tujuan hidup bersatu dengan asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
9. Asta brata : artinya delapan
tindakan yang baik / dharma :
- Akrodha : artinya tidak pernah marah.
- Satyam : artinya berbicara yang benar atau tepat
pada janji.
- Samwibaga : artinya bersifat adil
dan jujur.
- Arjawam : artinya berpendirian teguh.
- Sekapraya : artinya senang membantu dan menolong sesama
makhluk.
- Awyawahara : artinya menghindari
semua macam pertengkaran.
- Wakparusya : artinya berbudi
bahasa yang baik.
- Saputram : artinya mempunyai keturunan yang sah.
10. Bhuana rwa : yaitu harus mempunyai
pengetahuan filsafat makrokosmos dan mikrokosmos atau Bhuana Agung dan Bhuana
Alit.
11. Desa pakraman : yaitu harus
mengetahui dan menghayati tata tertib aturan adat dari desa.
12. Panyupatan mahayuning rat : yaitu
segala pengetahuan menyucikan, menyelamatkan alam beserta isinya.
13. Tattwa jnana : yaitu agar mengetahui
dan memiliki pengetahuan tentang hakekat kebenaran yang hakiki, terutama
hubungan jiwa dengan Tuhan.
B. Wewenang para diksa secara khusus
Berdasarkan ucap dari beberapa sastra-sastra yang ada para
diksa berhak muput segala upakara / yadnya baik yang rutin ( nityam eka yadnya)
maupun yang bersifat suatu karya
( anityam eka yadnya). Jadi muput yang di maksudkan adalah dapat menyelesaikan
yadnya di dalam upacara keagamaan dari tingkat kecil ( nista) sampai tingkat
besar ( uttawa), seperti misalnya ngarga tirtha yang artinya membuat atau “
member” dengan puja wedanya untuk upacara itu.
Dalam melaksanakan suatu upacara yang besar, seperti Tawur
Kasanga, Panca Walikrama, Eka Dasa Rudra biasanya yang muput adalah Sang Tri
Sadaka. Sang Tri Sadaka yang dimaksud adalah Sulinggih Siwa, Buddha atau sering
juga diucapkan Sang Resi, Siwa Sogata. Ketiga Sulinggih ini mempunyai wewenang
khusus sebagai berikut :
1. Sang Sulinggih Siwa : sebagai
pembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa. Melalui pujanya Sang Sulinggih
Siwa berwenang menghaturkan munggah ke sanggar surya yang maksudnya
mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari
mazab Siwa. Artinya Sang Sulinggih Siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas
dan menurunkan kekuatan dari Sang Hyang Widhi.
2. Sang Sulinggih Buddha :
mempersembahkan atau mengaturkan yadnya pada alam tengah atau awang – awang.
Sang Sulinggih Buddha berasal dari mazab Buddha yang memiliki keahlian
menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan suci Hyang Widhi dengan
kekuatan Bhuta – kala yang telah disomya di alam bawah.
3. Sang Sulinggih Resi, Bhujangga,
Sengghu : beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau menyucikan alam bawah
( bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian menyucikan alam bawah dan untuk
nyupat Bhuta – kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta – kala sehingga
menjadi somya.
SÃSANA DIKSA
A. S ã s a n a.
Sãsana adalah bahasa Sanskerta artinya tempat duduk,
peraturan, hukum. Jadi sasana berarti peraturan – peraturan dalam pengendalian
diri baik lahiriah maupun batiniah. Sehubungan dengan “ diksa”, sasana dapat di
artikan tingkah laku atau norma – norma kesusilaan yang luhur dari para
Sulinggih (Wiku). Di dalam Silakrama ditekankan pada ajaran Yamabrata dan
Nyamabrata atau Panca Yamabrata dan Panca Nyamabrata.
1.
Yamabrata ( Panca Yamabrata)
Yamabrata berarti brata pengendalian diri untuk mencapai
kesempurnaan rokhani dan kesucian bathin berupa Dharma dan Moksa. Panca
Yamabrata (Yamabrata) itu terdiri dari Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawaharika,
Asteya sebagai berikut :
a. Ahimsa : artinya tidak menyakiti,
tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa makhluk apapun. Namun
Himsa (menyakiti/pembunuh) itu boleh dilakukan untuk keperluan Dharma,
keperluan agama, bersedekah, untuk Dewapuja, Pitrapuja, Astithipuja ( untuk
disuguhkan kepada tamu). Bila penjahat telah dating dan mengancam nyawa anak
atau istrinya yang tidak berdosa, wiku boleh melakukan Himsa.
b. Brahmacari : artinya bergerak di
dalam ilmu pengetahuan suci Weda atau berkecimpung di dalam ajaran suci
kerokhanian.
c. Satya : artinya benar setia atau
jujur. Satya yang berarti benar setia atau jujur memegang peranan yang penting
di dalam ajaran sastra kerokhanian untuk mencapai kesempurnaan rokhani
kebahagiaan akhirat, penjelmaan yang baik dan kelepasan atau Moksa. Wiku
hendaknya satya dalam pikiran, perkataan, perbuatan serta jujur dan satya
terhadap teman, terhadap janji.
d. Awyawahara atau Awyawaharika :
artinya peraturan hidup atau undang – undang. Para Wiku hendaknya melakukan
usaha – usaha yang selalu mengacu pada kedamaian dan ketulusan. Juga disebutkan
Awyawahara berarti tidak terlibat atau terikat akan gelombang hidup sehari –
hari atau pasang surut hidup keduniawian. Jika seorang sulinggih dalam
kehidupan sehari – harinya masih terikat akan hal – hal keduniawian, maka
beliau akan terganggu ketentramannya termasuk pikiran dan kesucian batinnya.
e. Asteya artinya tidak mencuri atau
berpantang terhadap perbuatan mencuri memperkosa hak milik orang lain.
Mengambil hak milik orang lain, mencuri dan memaksa disebut steya atau staiya.
2.
Niyamabrata ( Panca Niyamabrata)
Selain dari Yamabrata seorang Wiku hendaknya berpegang teguh
pada ajaran Niyamabrata. Nyamabrata berarti pengendalian diri untuk mencapai
kesempurnaan dan kesucian bathin berupa Dharma dan Moksa. Naskah – naskah Jawa
Kuna seperti Wrhaspati Tattwa, Pancasiksa dan Silakrama, ketiga – tiganya
menyebut Niyamabrata sama.
sembarangan
makanan yang dimakan, apramada namanya tidak segan – segan membiasakan ajaran
kependetaan ( kerokhanian), kelima itu bermakna Niyamabrata sabda Bhatara Siwa.
Selanjutnya
Panca Niyamabrata itu diuraikan sebagai berikut :
a. Akrodha : artinya tidak marah atau
tidak dikuasai oleh kemarahan.
b. Guru śuśrusa : artinya mendengarkan
atau menaruh perhatian terhadap ajaran - ajaran dan nasehat - nasehat Guru.
Guruśuśrusa itu bertalian erat dengan Gurubhakti atau sujud terhadap Guru dan
Asewaka guru yaitu mengabdi kepada Guru.
c. Ṥauca : berarti kebersihan,
kemurnian atau kesucian lahir bathin. Dalam Wrhaspati Tatwa dan Panca siksa ada
diuraikan :
“ Ṥauca ngaranya nitya majapa
maradina sarira”.
Artinya :
Ṥauca namanya tetap berdoa dan
membersihkan tubuh.
d. Aharalaghawa : artinya makan serba
ringan tidak semau - maunya saja. Oleh karena itu disarankan hendaknya orang -
orang yang ingin mencapai kesempurnaan, harus berbadan sehat, karena sehat
jasmani bias mempengaruhi keadaan rokhani. Makan yang melebihi batas kemampuan perut
untuk mencernanya akan membawa penyakit
e. Apramada : artinya tidak bersifat
ingkar atau mengabaikan kewajiban. Dapat pula diartikan taat tanpa ketekeburan mempelajari dan
mengamalkan ajaran suci. B. Pantangan.
Para Sulinggih atau Wiku dalam kehidupan sehari - hari
memiliki wewenang dan sasana tertentu. Selain daripada itu para Sulinggih atau
Diksa memiliki aturan - aturan tertentu yang merupakan pantangan atau larangan
bagi seorang akan dapat dibedakan atas dua bagian sebagai berikut :
1.
Pantangan atau larangan dalam hubungan dengan perilaku Wiku sehari-hari.
Dalam
kehidupan sehari - hari para Wiku atau Diksa, patut menjauhi pantangan atau
larangan yang dapat menodai dan mengurangi kesucian, kesempurnaan bathin
seorang Wiku antara lain :
a. Pantangan atau larangan perilaku
Wiku dalam pergaulan sehari-hari :
v Tidak membunuh.
v Tidak berdusta.
v Tidak suka bertengkar.
v Tidak menunjukkan kecakapan.
v Tidak mencuri atau memperkosa hak
milik orang lain.
v Tidak mengambil milik orang lain
bila tidak dapat persetujuan kedua belah pihak.
v Tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai
atau tidak mengambil nyawa apapun.
v Tidak berkata - kata yang tidak selayaknya.
v Tidak boleh berhasrat jahat terhadap
orang lain.
v Tidak boleh mengadakan hubungan sex, bila
bukan istrinya.
v Tidak boleh mengadakan pertemuan
dengan istri pada hari-hari yang terlarang.
v Tidak mengucapkan ucapan-ucapan yang
tidak sopan.
v Tidak boleh berkata-kata yang pedas
dan menyakiti telingga.
v Tidak boleh berkata-kata sambil memaki-maki
sumpah serapah.
v Tidak boleh berjual beli atau berdagang (
Adolawiya).
v Tidak boleh terlihat utang-piutang ( Rnarni).
v Tidak boleh segala usaha untuk
mencari keuntungan (terlarang).
v Tidak boleh mengambil hak milik
orang lain dengan memaksa.Tidak boleh mencopet, merampok.
v Tidak boleh marah atau bersifat
pemarah (dikuasai kemarahan).
c.
Pantangan atau larangan yang lainnya :
- Tidak boleh mengendarai sepeda
motor, mobil.
- Tidak boleh terlibat tindak pidana
( pengadilan).
2.
Pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman dan tempat.
Para Diksa atau Wiku untuk kesempurnaan dan kesucian bathin
dalam kehidupan sehari-hari patut menjauhi aturan-aturan yang menyangkut
pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman, dan tempat tinggal sebagai
berikut :
a.
Pantangan terhadap makanan dan minuman.
v Tidak boleh makan daging babi
peliharaan ( celengwanwa).
v Tidak boleh makan daging ayam yang
terdapat di desa (ayamwanwa).
v Tidak boleh makan daging anjing,
kucing, tikus, ular, harimau (macam), rasi ( rase), kera ( wre), kera
hitam ( lutung), tupai (wut), semacam kadal yang suaranya besar (
wiyung), kade (dingdang kadal), dan binatang-binatang yang tidak dikenal
serta binatang yang berkuku satu, berjari lima ( pancanaka).
v Seorang Wiku tidak boleh makan
binatang kecil-kecil yang hidup di dalam tanah, belut ( kutisa), ulat yang
berumah di dalam tanah dan binatang yang kecil-kecil lainnya ( pramikrini)
seperti lalat ( laler), nyamuk ( namuk), pijat-pijat, kutu putih (tuma),
kutu anjing ( limpit).
v Seorang Sulinggih atau Wiku tidak
boleh memakan daging kuda, unta ( konta), keledai ( gardobha), dan daging sapi
(gomangsa).
v Tidak boleh makan daging burung buas
yang memakan sesamanya (kurapaksi) seperti burung hantu, burung elang
(rajawali), burung yang berwarna hitam (nilapaksi), seperti burung gagak,
burung jalak, burung cangkilung, burung yang dapat berbicara manusia seperti
burung kakak tua (atat), burung beo ( siung), burung jalak.
v Seorang Wiku atau Diksa tidak boleh
makan daging burung bangau ( baka), jenis burung-burung yang waktu makan
mematuk-matukkan paruhnya, burung berkaki jarang (koyasyhi), unggas
penyelam yang hidup dari memakan ikan.
v Seorang Wiku atau Sulinggih tidak
boleh memakan jenis tumbuh-tumbuhan seperti bawang putih, bawang bakung, bawang
merah, cendawan dan semua tumbuh-tumbuhan yang berasal dari bahan-bahan busuk,
semuanya itu tidak cocok dimakan oleh seorang Wiku.
v Ikan yang tak boleh dimakan oleh
Wiku adalah ikan yang terlalu besar ( awak atyanta ring gong) dan ikan yang
buas (minarodra).
v Seorang Wiku atau Sulinggih tidak
boleh makan makanan yang tidak suci dan minuman keras yang terlarang.
v Tidak boleh makan sisa-sisa makanan
yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau terletak di bawah benda-benda
yang dipandang tidak suci.
v Tidak boleh makan, makanan yang
telah dapat dimakan oleh binatang seperti anjing, ayam dan babi, hal yang
demikian terlarang.
v Makanan yang diragukan kesuciannya
tidak boleh dimakan.
v Tidak boleh makan nasi-nasi yang dimasak
dengan biji wijen, gandum dicampur mentega, susu dan gula, nasi campur, susu
dan kue tepung yang tidak dibuat untuk upacara, bias dimakan setelah untuk
upacara atau diperciki tirtha ( air suci).
v Seorang Wiku tidak boleh minum
minuman keras seperti tuak atau nira dan sejenisnya.
v Tidak boleh minum semua jenis susu
dari binatang buas dan susu sapi atau kerbau yang telah berubah atau rusak.
v Tidak boleh minum cairan merah dari
kayu dan getah dari takikan ( torehan pada batang pohon), susu kental dari sapi
yang merupakan sisa telah sapi itu menyusui.
b.
Tempat yang terlarang bagi seorang Wiku
atau Diksa :
v Tempat yang terlarang adalah tempat
tanah atau pekarangan yang pernah ditempati Wiku tidak boleh ditempati, setelah
lewat 24 tahun boleh.
v Seorang Wiku tidak boleh tinggal di
tanah yang dikerjakan oleh petani biasa.
v Seorang Wiku tidak boleh mengunjungi
rumah orang yang mempunyai pekerjaan hina, misalnya rumah tukang potong
(jagal), lebih-lebih makan di rumahnya.
v Seorang Wiku atau Sulinggih tidak
boleh duduk di tempat perjudian, segala macam permainan bertaruh-taruhan tidak
boleh dikunjungi.
v Seorang Sulinggih atau Diksa tidak
boleh mengadakan perjudian.
Demikianlah jenis-jenis pantangan atau larangan
yang patut diindahkan atau dijauhi oleh para Sulinggih atau Wiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar