I.
Makna
dan Fungsi
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya
menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga
berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan
di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi
artinya sama saja. Dari hal tersebut, bisa diperluas bahwa makna perayaan
Galungan adalah untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma. Namun dari
sisi lain Makna Filosofis Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan
kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari
adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam
diri manusia.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar
mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang
terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu
adalah wujud adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan
yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Perayaan Galungan ini dilakukan tidak lewat begitu saja,
tetapi ada fungsi yang diproleh setelah melaksanakan hari raya ini, antara
lain:
a. Untuk
menyadarkan semua umat agar selalu mengutamakan Dharma dalam setiap tindakan.
Sebagaimana simbolis perayaan Galungan, kemenangan Dharmalah yang dirayakan.
b. Untuk
membangkitkan kembali vibrasi kesucian di bumi ini, sebagaimana yang disaksikan
bahwa Galungan dirayakan serempak di semua tempat.
c. Secara
sosial untuk lebih meningkatkan keakraban antar sesama, yang mana pada hari
raya ini, semua keluarga besar akan berkumpul bersama di Sanggah Kemulan.
II.
Pelaksanaan
Hari raya galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap enam
bulan (210 hari) sekali berdasarkan perhitungan wuku, yaitu jatuh pada Buda
Kliwon Wuku Dunggulan. Peringatan Hari Raya Galungan sebenarnya sudah dimulai
beberapa hari sebelum Galungan dan berakhir beberapa hari setelah Kuningan.
Galungan minus enam, hari Kamis (Wrespati) Wage wuku Sungsang, disebut Sugimanek
(Sugihan) Jawa adalah hari kedatangan para Dewa ke Bumi. Pada hari ini umat
melakukan upacara ditujukan kepada para Dewa dan leluhur. Galungan minus lima,
hari Jumat (Sukra) Keliwon Sungsang disebut Sugimanek (Sugihan) Bali adalah
hari untuk membersihkan diri. Umumnya umat melakukan upacara di pura (matirtha
yatra), berdoa dan lebih menghayati ajaran dalam Kitab Suci Weda. Galungan
minus tiga hari Minggu (Redite) Pahing Dungulan adalah hari dimana umat
disarankan untuk melakukan semadi untuk menenangkan diri. Pada hari ini
biasanya disebut sebagai hari penyekeban, yang mana para umat mulai “nyekeb”
buah yang akan digunakan pada hari raya. Pada tiga hari sejak hari Minggu akan
datang tiga macam Bhuta yang akan menggoda pikiran kita yaitu Bhuta Galungan,
Bhuta Dungulan, and Bhuta Amangkurat. Dan salah satunya, yatu Butha Galungan
telah turun pada penyekeban ini.
Galungan minus dua, yakni Soma Pon Wuku Dunggulan, disebut
dengan hari penyajan. Pada hari ini turun Butha Dunggulan. Pada hari inilah
umat membuat berbagai jenis kue yang akan digunakan pada saat merayakan
galungan. Sedangkan, Galungan minus satu, hari Selasa (Anggara) Wage Dungulan
disebut Penampahan, biasanya umat melakukan pemotongan hewan untuk keperluan
upacara. Juga melakukan caru/segehan di halaman rumah ditujukan kepada Sang
Bhuta Galungan. Pada puncaknya yaitu Galungan, hari Rabu (Budha) Keliwon
Dungulan adalah hari kemenangan atas ujian mental selama 3 hari dari Sang Bhuta
Galungan sekaligus simbol kemenangan Dharma melawan Adharma. Persembahan
ditujukan kepada Tuhan dan leluhur yang turun ke dunia. Galungan plus satu,
hari Kamis (Wrespathi) disebut Umanis Galungan, adalah hari dimana umat bisa
menikmati hari kemenangan. Umumnya orang melakukan rekreasi ke tempat-tempat
wisata. Galungan plus lima, hari Senin (Soma) Keliwon Kuningan, disebut
Pamacekan Agung, adalah hari untuk berdoa untuk tujuan yang mulia dan
kebersihan. Galungan plus sepuluh, hari Sabtu (Saniscara) Keliwon Kuningan,
disebut Tumpek Kuningan, hari datangnya para Dewa dan luluhur ke dunia, namun
hanya sampai pukul 12 siang. Itulah sebabnya umat melakukan upacara sebelum
tengah hari berlalu. Galungan plus 35 hari, hari Rabu (Buda) Keliwon Pahang,
disebut Pegat Wakan, adalah hari terakhir dari rangkaian meditasi selama 42
hari sejak Sugimanek Jawa.
Namun dari semua rentetan upacara dalam Galungan, yang akan
saya uraikan hanya dari Penyekeban hingga Umanis Galungan saja.
III.
Perlengkapan
Upakara
Dari rentetan upacara dalam
memperingati Galungan, sudah pasti ada berbagai upakara yang diperlukan untuk
memperlancar prosesi upacara:
a.
Penyekeban
Hari ini jatuh pada Redite Pahing Dungulan, Butha
Galungan yang ingin memakan dan meminum dunia ini. Menjaga kesucian agar tidak
dimasuki unsur – unsur negatif. Dalam menjaga kesucian umat biasanya hanya
melakukan persembahyangan biasa di pemerajan masing-masing. Kalau di rumah saya
sudah cukup dengan hanya menghaturkan canang.
b.
Penyajan
Hari ini jatuh pada Soma Pon Dungulan, hari untuk
melaksanakan yoga semadi manunggal dengan para Batara – Batari, turun Butha
Dunggulan yang berusaha mengganggu keseimbangan pikiran manusia. Pada hari ini
juga biasa dilakukan penangkapan (Pengejukan) binatang yang akan dipotong pada
saat penampahan. Dan Kalau di rumah saya sarana upakara pada hari ini tidak ada
yang spesial, sudah cukup hanya dengan menghaturkan canang.
c.
Penampahan
Hari ini jatuh pada Anggara Wage Dungulan, upakaranya:
segehan warna 3 sinasah (tandinganya manut urip), iwak olahan bawi (jejeron),
saha tetabuhan, segehan agung satu. Upakara itu digunakan pada saat memotong
binatang, sedangkan upakara lain berupa nasi cacah yang dihaturkan disetiap
pelinggih sanggah maupun penugu karang. Serta ada dibuatkan Sodaan untuk para
leluhur agar juga turut hadir dalam perayaan hari raya Galungan.
d.
Galungan
Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon Dunggulan dirayakan
serentak diseluruh daerah, yang mana sarana upakaranya berbeda di masing-masing
daerah sesuai desa kala patra. Kalau berkaca dari upakara yang digunakan dalam
perayaan Galungan yang dilakukan di rumah saya, menggunakan:
1. Pesucian,
yang disebut Peningan dengan anak 7 berisi Gamongan, Kunyit, Jajan gina
dibakar, Cendana, Minyak Goreng, Pandan arum, dan daun pucuk.
2. Banten
pelinggih, berisi beras dan uang bolong sejumlah 200 (pis satakan).
3. Tigasan
4. Banten
Rayunan, yang berisi takir sejumlah empat. Masing-masing berisi daging, bawang
goreng, air, dan kacang. Kemudian di tengah-tengah diisi nasi kepel
(telompokan).
5. Jerimpen
sejumlah 2, satu jerimpen berisi jajan gina, beras, dan porosan. Jerimpen yang
lagi satu berisi jajan gine, tumpeng, dan tangkih lengkap isi.
6. Pada
saat galungan juga dibutuhkan api takep sejumlah 4 (kalau di rumah saya, 2 di
pemerajan, 1 di halaman, dan 1 di gerbang rumah)
7. Banten
ajuman Putih Kuning, yang nanti ada disebut banten celeng, dan banten selam.
Perbedaan hanya terletak pada daging yang digunakan di banten. Banten ini
diunggahkan di semua prlinggih baik di sanggah maupun penugun Karang. Serta di
plankiran rumah juga.
8. Tipat
Kelanan untuk diuggahkan di Pelinggih Ngelurah.
9. Cenigan,
sebagai alas ketika menghaturkan banten dimanapun.
10. Banten
Bayuhan
11. Munjungan,
yakni sejenis Sesodaan yang dihaturkan untuk para leluhur yang belum diaben.
e.
Umanis
Galungan
Umanis Galungan jatuh pada Wraspati Umanis Dunggulan,
pada saat ini tidak ada upakara yang terlalu mencolok, di rumah saya hanya
memakai canang ajuman putih kuning biasa dengan mengganti canang beberapa
banten inti seperti pesucian, Banten Pelinggih, Rayunan, dan banten Bayuhan.
IV.
Tata
Cara Pelaksanaan
Sesuai dengan Upakara yang
berbeda di setiap daerah, tata cara pelaksanaannyapun juga berbeda, kalau di
rumah saya, tata caranya sebagai berikut:
a.
Penyekeban
Pada saat ini persembahyangan dilaksanakan pada sore
hari, yaitu pertama-tama nguggahang canang di setiap pelinggih dilanjutkan
dengan persembahyangan.
b.
Penyajan
Pada saat ini persembahyangan dilaksanakan sama dengan
pada saat penyekeban, yakni pada sore hari, yaitu pertama-tama nguggahang
canang di setiap pelinggih dilanjutkan dengan persembahyangan.
c.
Penampahan
Pada saat ini urutan upacara yang dilakukan:
1. Ngaturang
segehan, iwak olahan bawi (jejeron), saha tetabuhan, segehan agung satu di
halaman rumah, memohon agar Butha Amngkurat tidak mengganggu.
2. Ngaturang
Nasi Cacah di semua pelinggih, kemudia Sodaan di Pelinggih Pesimpangan Yang,
dengan harapan Hyang Bethara Guru serta para leluhur hadir dalam upacara.
3. Sembahyang.
d.
Galungan
Pada saat Galungan, tata cara pelaksanaannya adalah:
1. Memasang
Cenigan di semua Pelinggih
2. Ngunggahan
Banten yang telah dibuat disemua pelinggih, termasuk banten yang di kamar
masing-masing.
3. Ngunggahan
Munjungan di Bale Dangin.
4. Ngaturang
Api Takep, 2 di sanggah, 1 di halaman rumah, dan 1 di gerbang.
5. Ngayab
Banten, sekaligus Ngacep Bhatara-Bhatari yang dipuja, lalu sembahyang.
6. Nunas
Wangsuh Pada.
7. Ngayab
Banten yang di Tugu Karang, kamar dan tempat lainnya.
8. Ngayab
Munjungan.
9. Sembahyang
Keliling ke Sanggah Kemulan, Pura, dan lainnya.
e.
Umanis
Galungan
Pada saat Umanis Galungan tata cara pelaksanaannya
adalah:
1. Nganyarin
Canang bebantenan
2. Ngunggahan
Banten ajuman Putih-Kuning di semua pelinggih
3. Ngayab
Banten, sekaligus Ngacep Bhatara-Bhatari yang dipuja, lalu sembahyang.
4. Nunas
Wangsuh Pada.
5. Acara
bebas (biasanya berekreasi, mesima krama, dan lainnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar