Perang biasanya
identik dengan kebencian, darah, dan kematian. Tapi “Perang Topat” di Lingsar,
justru menjadi simbol persaudaran dan kebersamaan antar umat Islam dan Hindu di sana. Perang
yang dilaksanakan pada Purnama Kenem atau sekitar bulan Desember perhitungan
kalender ini dilaksanakan sebagai rangkaian dari acara piodalan yang
berlangsung di Pura Gaduh Lingsar. Pada malam Purnama itu, umat Hindu merayakan
odalan atau ulang tahun Pura Lingsar, dengan melaksanakan upacara Pujawali.
Sedangkan umat muslim melaksanakan napak
tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari
Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan
Islam di Lombok pada abad 15. Perang memang dilaksanakan pada sore hari,
tetapi sejak siang masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar. Di
Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau sesaji untuk persembahyangan Pujawali, sedangkan
di Kemaliq umat Muslim Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek
(Bumi Kecil) yang juga sesaji berupa
buah-buahan dan hasil bumi. Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja
topat atau ketupat, nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa
sebesar tinju orang dewasa. Topat-topat
itu disiapkan warga dari masing-masing dusun di Desa Lingsar, baik dusun yang
berpenghuni umat Hindu maupun dusun yang
dihuni umat Muslim.
Setelah umat
Hindu ngaturang bakti dan ngelungsur amertha prosesi perang topat mulai
dilaksanakan diawali dengan mengelilingi sarana persembahyangan-sebagaimana
layaknya mepurwadaksina. Prosesi ini dilaksanakan didalam area Pura Kemaliq
Sebagian besar pesertanya berasal dari suku Sasak. Tokoh-tokoh dari kedua suku Sasak
dan Bali, turut serta dalam prosesi ini. Mereka mengitari area dalam Kemaliq sekelompok
tarian batek baris-tarian khas sebagaimana layaknya prajurit Belanda jaman dulu
lengkap dengan bedilnya juga beraksi selama upacara itu. Ada juga kesenian
tradisional gendang beleq. Purwadaksine dilakukan sebanyak 9 kali. Setelah itu sarana
ditaruh pada tempat yang telah disediakan didalam Pura Kemaliq. Di sini kembali
ada prosesi yang dipimpin langsung pemangku dari suku Sasak. Dan bertepatan
dengan roro kembang waru atau gugurnya bunga pohon waru , yaitu sekitar jam
lima sore, Perang topat dimulai. Ketopat pertama biasanya dilemparkan oleh
orang tertentu atau dipilih, kita sebut saja disini Komandan Korem Kolonel
Iping Soemantri dipercaya sebagai pelempar pertama ketopat, dan diikuti para
warga. Perang topat pun dimulai sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti
layak berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk melainkan ketopat
yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketopat dilempar-lemparkan kesiapa saja
dan tak ada yang terluka. Dengan penuh kegembiraan peserta upacara terlibat
dalam peperangan yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai peperangan,
ketopat yang dijadikan peluru lalu dipungut
kembali untuk dibawa pulang. Ketopat sisa perang diyakini sebagai berkah
dan kemudia ditebar disawah-sawah penduduk karena dipercayai dapat menyuburkan
tanaman padi dan pohon-pohon lainya.
Analisis Nilai
Kebudayaan:
Dari uraian singkat mengenai tradisi
perang topat yang dilakukan secara rutin dan turun tumurun di desa Lingsar
dapat diuraikan beberapa inti dari unsur-unsur kebudayaan tradisi tersebut.
1.
Sistem
Religi
Tradisi Perang
Topat yang dilaksanakan secara turun tumurun di Lingsar tentunya tidak dapat
dilepaskan dari nilai Religi (Agama), sebagaimana sudah saya paparkan bahwa
pelaku dari perang topat adalah dari kubu umat Hindu dan kubu umat Muslim Wetu
Telu yang ada di Lingsar. Tradisi masih dilangsungkan karena umat percaya akan
dampak yang akan diberikan dari tradisi yang mereka gelar yang tentunya tumbuh
dari agama yang mereka anut.
2.
Peralatan
dan Perlengkapan Hidup
Perang topat menggunakan topat sebagai amunisi, dan topat
ini merupakan nasi yang dibungkus dengan anyaman janur. Melihat kenyataan bahwa
topat juga merupakan salah satu jenis makanan yang biasa kita konsumsi dalam
keseharian menunjukkan bahwa tradisi ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat. Keberadaan topat sebagai amunisi dalam perang ini tentunya tidak
dapat digantikan dengan barang /alat yang lain. Dan topat ini sudah menjadi
satu pembeda antara tradisi ini dengan perang sesungguhnya yang menggunakan
amunisi berbahaya.
3.
Mata
Pencaharian Hidup dan sistem Ekonomi
Tradisi perang topat masih berlangsung sampai detik ini
karena masyarakat percaya akan terjadi sesuatu yang abnormal nantinya bila
tradisi tidak dilangsungkan. Mengingat kembali bahwa topat bekas perang
dipungut kembali untuk ditebar di masing-masing sawah dengan harapan agar padi
atau tanaman lain yang ditanam menjadi subur. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi
berlangsung tidak terlepas dari faktor mata pencaharian masyarakat Lingsar yang
banyak berprofesi sebagai petani. Semakin bagus hasil pertanian di Lingsar maka
ini akan memperbaiki kehidupan perekonomian masyarakat Lingsar pula.
4.
Sistem
Kemasyarakatan
Perang topat yang melibatkan dua umat berbeda agama
menunjukkan bagaimana rasa toleransi yang tinggi dianut oleh maasyarakat
Lingsar. Masyarakat mampu menciptakan sistem kemasyarakatan yang efektif dalam
rangka menjaga persatuan serta kerukunan. Dengan masih berlangsungnya tradisi
sampai sekarang juga menunjukkan bahwa ada sinergi antara umat Hindu dan Muslim
disana, mereka rasa saling bahu dalam membangun Lingsar yang baik ke depannya.
5.
Bahasa
Antara umat Muslim yang bersuku sasak dan umat Hindu yang
bersuku Bali memang ada perbedaan bahasa yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Warga sasak biasanya memakai bahasa sasak, sedangkan orang Bali
memakai bahasa Bali, namun dalam tradisi ini
komunikasi biasanya lebih dominan menggunakan bahasa sasak, karena umat
Hindu sebagai pendatang mau menerima bahasa sasak sebagai media komunikasi.
Disamping itu juga, bahasa Bali yang digunakan oleh umat Hindu Bali di Lombok
ini disebut bahasa Balok (Bali Lombok), karena banyak kata-kata yang digunakan
mengadopsi dari bahasa sasak.
6.
Kesenian
Tradisi perang topat bisa disebut sebagai salah satu
kesenian, hal ini bisa terlihat dari adanya pementasan beberapa tarian selama
proses murwa daksina dilangsungkan. Tarian ini tentunya memiliki nilai seni
yang tersaji lewat gerak tubuh berirama dan mengandung makna yang ingin
diungkapkan. Selain itu, kesenian juga bisa terlihat dengan pembuatan upakara
yang digunakan disamping pembuatan topat yang juga membutuhkan ketrampilan
dalam menganyam janur.
7.
Sistem
Pengetahuan
Dari tradisi perang topat di Lingsar menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menjaga hubungan sosial dan
solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka juga memahami bahwa perbedaan
agama bukanlah pembeda untuk melakukan suatu tradisi secara bersama-sama.
Sistem pengetahuan masyarakat tentang agama juga tidak sempit, mereka mampu memandang
bahwa semua agama pada intinya sama yaitu mengajarkan kebaikan kepada umatnya,
perbedaan satu sama lain hanya terletak pada cara mewujudkan bhakti kepada
tuhan. Mereka juga paham bahwa di tengah perbedaan yang ada akan menciptakan
suatu keharmonisan layaknya suasana suka cita yang mereka rasakan ketika
melangsungkan tradisi perang topat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar