Canang adalah
sarana persembahyangan yang sudah tidak asing bagi umat Hindu di Indonesia.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa canang merupakan istilah yang diambil dari
bahasa Jawa Kuno yang berarti sirih, yang mana awalnya sirih ini merupakan
suguhan yang diberikan kepada tamu yang dihormati. Menurut keyakinan juga,
sirih ini benar-benar bernila tinggi, sehingga menjadi unsur penting dalam
upacara agama. Lain di Jawa lain di Bali, di Bali sendiri canang sudah akrab
dengan upakara, dan apabila dikaitkan dengan pendefinisian canang di Jawa, maka
bisa dilihat pula bahwa inti dari canang itu adalah sirihnya yang disebut
"Porosan".
Canang merupakan syarat utama yang
harus ada dalam membuat upakara baik dalam ukuran
besar maupun kecil, ibaratnya upakara tanpa canang tidak akan lengkap (kurang maknanya). Namun yang akan penulis ulas pada kesempatan ini bukanlah tentang makna dan fungsi canang, melainkan mencoba untuk menguraikan benang kusut terkait pernyataan bahwa "tidak boleh sembahyang menggunakan canang". Tidak boleh sembahyang menggunakan canang bukan artinya melarang penggunaan canang untuk Yadnya. Penulis sedikit pertegas bahwa menghaturkan dengan sembahyang dalam sudut pandang penulis berbeda. Kalau mengahaturkan canang memang benar adanya karena canang itu merupakan simbol alam semesta yang dijadikan ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Akan tetapi kalau sembahyang menggunakan canang dimaksudkan bahwa ketika melakukan Kramaning Sembah jangan menggunakan canang yang kemudian diambil bunganya, apa alasannya?
besar maupun kecil, ibaratnya upakara tanpa canang tidak akan lengkap (kurang maknanya). Namun yang akan penulis ulas pada kesempatan ini bukanlah tentang makna dan fungsi canang, melainkan mencoba untuk menguraikan benang kusut terkait pernyataan bahwa "tidak boleh sembahyang menggunakan canang". Tidak boleh sembahyang menggunakan canang bukan artinya melarang penggunaan canang untuk Yadnya. Penulis sedikit pertegas bahwa menghaturkan dengan sembahyang dalam sudut pandang penulis berbeda. Kalau mengahaturkan canang memang benar adanya karena canang itu merupakan simbol alam semesta yang dijadikan ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Akan tetapi kalau sembahyang menggunakan canang dimaksudkan bahwa ketika melakukan Kramaning Sembah jangan menggunakan canang yang kemudian diambil bunganya, apa alasannya?
Usut punya usut,
masalah (fenomena) yang dianggap kecil ini menjadi diskusi yang sangat menarik
dalam mata kuliah Pendidikan Seni Agama hari Selasa, 10 November 2015 yang
diampu oleh Ibu Gusti Ayu Desy Wahyuni, S.Sn. M.Pd.H di STAHN Gde Pudja
Mataram. Dalam diskusi ini diproleh kesimpulan bahwa canang yang menjadi simbol
alam semesta dan sudah ditata sedemikian indah kenapa harus dibongkar lagi. Ini
sama artinya dengan suatu simbolisasi merusak alam yang sudah ditata, dan hal
semacam ini tentunya sangat tidak sesuai dengan etika dalam beryadnya.
Lalu bagaimana solusinya apabila
ketika maturan di tempat yang jauh hanya membawa canang dan dupa serta lupa
membawa bunga? Bu Desy menyampaikan bahwa solusinya adalah dengan mengambil
"Porosan" dari canang tersebut sebelum digunakan sembahyang. Hal ini
sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa "Porosan" merupakan inti
dari canang, olehnya dengan mengambil porosan di canang berarti canang yang
tadi sudah tidak bisa disebut canang lagi dan itu hanya bunga biasa yang bisa
digunakan untuk sembahyang.
Disamping itu, hal lain terkait
canang yang perlu diperhatikan adalah:
1. Jangan
menggunakan canang lungsuran untuk sembahyang, maksudnya ketika ke Pura dan
lupa membawa bunga, jangan mengambil bunga dari canang yang sudah selesai
dihaturkan walaupun itu letaknya di pelinggih.
2. Jangan
mengambil bunga dari canang yang akan dihaturkan (walau sedikit) untuk
digunakan sembahyang, karena hal ini sama artinya dengan memberikan tamu suguhan
yang sudah kita cicipi.
Barangkali
demikian yang dapat saya sharing-kan
terkait canang pada kesempatan ini. semoga tulisan ni bermanfaat.
Mantap luar biasa....ini keren.
BalasHapusSuksma Bli :)
Hapus