Sumber atau asal Hukum yaitu
peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia
baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana hidup
yang serasi dan harmonis, berdaya guna dan tertib. Hukum ini ada yang tertulis dan ada yang
tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan Undang-Undang, manusia di dalam
pergaulan menjalankan kehidupan mereka diatur oleh Undang-Undang yang dibuat oleh
lembaga pembuat Undang-Undang. Dibuat oleh manusia karena itu Undang-Undang adalah
buatan manusia. Disamping Undang-Undang itu, ada pula Undang-Undang yang
bersifat murni, yaitu Undang-Undang yang dibuat oleh Tuhan juga disebut Wahyu
Tuhan. Wahyu inilah yang dihimpun dan dikodifikasi menjadi “KITAB SUCI”. Jadi
kitab suci adalah semacam Undang-Undang yang pembuatnya adalah Tuhan, bukan
manusia (apauruseya).
Didalam negara, Undang-Undang dari
semua Undang-Undang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu
mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara
dan dari Undang-Undang Dasar itu dibuat Undang-Undang pokoknya. Seperti halnya dengan Undang-Undang Dasar itu, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terperinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam kitab suci itu. Tingkah laku manusia baik yang menjadi tujuan didalam pengaturan kehidupan ini disebut Dharmika adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (Dharma dharayate prajah).
dan dari Undang-Undang Dasar itu dibuat Undang-Undang pokoknya. Seperti halnya dengan Undang-Undang Dasar itu, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terperinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam kitab suci itu. Tingkah laku manusia baik yang menjadi tujuan didalam pengaturan kehidupan ini disebut Dharmika adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (Dharma dharayate prajah).
Untuk memperoleh kepastian
tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum
(Dharma), artinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang menguasainya. Dalam hal ini bagi umat
beragarna yang juga merupakan warga Negara mereka harus tunduk pada dua
kekuasaan hukum yaitu: Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara
seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pokok, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya,
serta hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai menurut agamanya. Bagi umat
Hindu atau kelompok masyarakat yang beragama Hindu maka kitab suci yang menjadi
sumber hukurn bagi mereka adalah Weda. Ketentuan mengenai Weda sebagai sumber
hukum dinyatakan dengan tegas didalam berbagai kitab suci, antara lain:
a)
Manawadharmacastra.
1) MDs.
II. 6. Weda’khilo dharma mulam smrti sile
ca tad widäm, acãrasca iwa sadhunama atmanastustirewaca. (Artinya : Seluruh
Weda merupakan sumber utama dharma (Agama
Hindu) kemudian barulah Smrti disamping Sila (kebiasaan-kebiasaan yang
baik dan orang-orang yang menghayati Weda) dan kemudian, acara tradisi-tradisi
dan orang-orang suci) serta akhirnya atmanastusti (rasa puas diri sendiri).
Dari pasal ini, kita mengenal sumber-sumber buku sesuai urut-urutannya adalah
seperti istilah berikut : 1) Weda (Sruti), 2) Smrti, 3) Sila, 4)
Acara (Sadacara) dan, 5) Atmanastusti).
Untuk lebih menegaskan tentang kedudukannya sumber-sumber hukum itu.
lebih Ianjut dinyatakan didalam pasal berikut. Manawadharmaçastra II. 10
menyebutkan : “Çrutistu Wedo wijneyo
dharma-çastram tu wai smrtih, te sarwarthawam
imamsye tãbhbyãm dharmohi nirbabhau. (Artinya: Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Weda
demikian pula Smrti itu adalah dharmasastra,
keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya
adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu (Dharma). Dari pasal ini
ditegaskan dua dari kelima jenis sumber hukum Hindu, Sruti dan Smrti, merupakan
dasar utama yang kebenarannya tidak boleh dibantah). Kedudukan pasal II.10 dan
II.6, merupakan dasar yang harus dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya
perbedaan pengertian mengenai penafsiran hukum yang terdapat didalam berbagai
kitab agama rnaka yang pertama lebih penting dari yang berikutnya. Ketentuan
ini ditegaskan lebih lanjut di dalam Manawa-dharmasastra II. 14. sbb : 1).
Dharma adalah nama asal agama Hindu, yang juga disebut Sanatana Dharma. Nama
Hindu baru-baru saja dimaksud untuk menyebutkan agama dan kepercayaan termasuk semua
kebudayaan yang berkembang dilembah sungai Indus (Pakistan dan India Utara)
yaitu agama yang bersumber pada Wedà.
2) MDs.
II. 14. Çrutidwaidham tu yatrasyattatra
dharmawubhau smrtau, ubhawapi hi tau
dharmau samyaguktau manisibhih. (Artinya: Bila dua dan kitab Sruti bertentangan satu dengan yang
lain, keduanya diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh
orang-orang suci sebagai hukum. Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan
yang membenarkan adanya pasal yang satu harus dihapuskan oleh pasal yang lain
melainkan keduanya harus diterima sebagai hukum.
3) MDs.
II. 12. Wedah smrtih sadacarah swasya ca
priyamatmanah. etaccaturwidham prahuh
saksad dharmasya laksanam. (Artinya: Weda, Smrti, sadacara dan atmanastusti
mereka nyatakan sebagal empat tingkat usaha untuk mendefinisikan dharma. Dari
Bab II pasal 12 ini menyederhanakan pasal 6 dengan meniadakan “Sila” karma Sila
dan Sadacara, artinya juga kebiasaan. Sila berarti kebiasaan, sedangkan
sãdãcãra adalah tradisi. Tradisi dan kebiasaan adalah kebiasaan pula.
b)
Sarasamuccaya
Kitab ini hanya memberi
penjelasan singkat mengenai status Weda dimana dalam ps. 37 dan 39 kita jumpai
keterangan berikut:
1) SS.
37. Çrutirwedah samakhyate dharmaçastram
tu wai smrti, te sarwathe-swamimamsye
tabhyam dharmo winirbhrtah. Artinya:
Ketahuilah olehmu cruti itu adalah Weda (dan) Smrti itu sesungguhnya
adalah dharmacastra: keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurnalah
dalam menjalankan dharma itu. Penjelasan dan terjemahan didalam kitab
Sarasamuccaya yang diterbitkan oleh Departemen Agama hanya mendasarkan
terjemahan bahasa kuno Jawa kunonya, dimana menurut terjemahan Jawa kunonya itu
telah diperluas artinya seperti istilah Weda diterjemahkan dengan catur Weda,
walaupun demikian pengertian semula tidak merobah maknanya. Yang menarik
perhatian dan perlu dicamkan ialah bahwa baik Manawadharmaçastra maupun
Sarasamuccaya menganggap bahwa Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber pokok dari
pada Dharma.
2) SS.
39. Itihãsapurãnãbhyãm wedam
samupawrmhayet, bibhetyalpaçrutãdvedo mãmayam pracarisyati. (Artinya: Hendaknya Weda itu dihayati dengan sempurna
melalui mempelajari itihasa dan Purana karena pengetahuan yang sedikit itu
menakutkan (dinyatakan) janganlah mendekati saya. Penjelasan Sloka ini dan ayat
terdahulu telah pula diperluas artinya sehingga dengan demikian akan jelas
artinya. Yang terpenting dapat kita pelajari dan ketentuan itu ialah penambahan
ketentuan ilmu bantu yang dapat dipelajari dan kitab Itihãsa dan Purna.
Kitab-kitab Itihsa ini adalah kitab-kitab Mahbharata dan Ramayana sedangkan Purana
adalah merupakan kitab-kitab kuno, misal babad-babad, yang memuat sejarah
keturunan, Dinasti raja-raja Hindu. Jadi secara ilmu hukum modern kedua jenis
buku ini merupakan buku tambahan yang memuat ajaran-ajaran hukum yang bersifat
dokrinair, memuat sumber keterangan mengenai Jurisprudensi dalam bidang hukum
Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar