
a. Panca
Yama Brata merupakan ajaran tentang lima cara pengendalian keinginan tingkat
dasar bagi pemangku. Ada pula definisi lain yang menyebutkan bahwa Panca Yama
Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan
untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin. Adapun bagian-bagian
dari Panca Yama Brata antara lain:
1) Ahimsa
(tidak menyakiti atau membunuh)
Seseorang yang sudah memiliki kedudukan sebagai pemangku
diharapkan dan tidak dibenarkan menyakiti terlebih membunuh orang atau makhluk
hidup lain tanpa memiliki tujuan yang jelas sesuai dengan sastra. Pembunuhan
terhadap binatang dibenarkan apabila digunakan untuk Yadnya (Dewa Puja) yang
dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
2) Brahmacari
(berpikir suci, bersih dan jernih)
Pemangku selayaknya selalu berpikiran positif, suci, dan
jernih sehingga akan mampu mencerminkan keadaan pikiran dengan pakaian serba
putih yang digunakan. Tidak dibenarkan apabila pemangku selalu berprasangka
buruk terhadap orang lain apalagi bersikap dengki, iri terhadap orang lain.
Pola pikir, prilaku dan ucapan dari pemangku seyogyanya mencerminkan orang yang
sarat akan ajaran Weda sebagai kebenaran tertinggi di dalam Hindu.
3) Satya
(Menjaga kebenaran, kesetiaan dan kejujuran)
Pemangku harus selalu berada di garis terdepan di dalam
mempertahankan kebenaran menurut Weda. Kejujuran dan kesetiaan harus selalu
menyelimuti diri pemangku sebagai panutan dan teladan bagi umat beragama.
Sebagaimana berbicara tentang satya, lebih luas berbicara tentang Panca Satya
(lima macam kebenaran dan kesetiaan) yang meliputi Satya Wacana (Setia pada
perkataan), Satya Hrdaya (Setia pada kata hati), Satya Laksana (setia pada
perbuatan atau prilaku), Satya Semaya (Setia pada janji yang telah dibuat), dan
Satya Mitra (Setia dan jujur kepada teman atau sahabat). Memang Ajaran satya di
jaman sekarang mengalami sebuah degradasi yang sangat tajam dimana sebagian
besar orang-orang susah untuk berpikir, berkata dan berbuat yang jujur dan
mereka cenderung tidak satya karena suatu tujuan yang sifatnya keduniawiaan seperti
kekuasaan, pendidikan, harta dan popularitas. Namun pemangku semestinya luput
dari hal ini untuk mampu menjadi contoh bagi umat yang lain.
4) Awyawahara
(tidak terikat dengan keduniawian)
Pemangku sedapat diharapkan melepaskan diri dari segala
bentuk ikatan keduniawian, karena dengan melepaskan diri dari ikatan
keduniawianlah pamangku akan mampu memproleh kedamaian dalam pikiran serta
menemukan kedamaian. Bagaimana tidak, pemangku tidak akan lagi menemukan rasa
iri dalam dirinya, egois, rakus dan lainnya. Pemangku akan mampu fokus pada
tugasnya sebagai manggala upacara yang akan memimpin umat.
5) Asteya
atau Astenya (tidak mencuri)
Pemangku sangat tidak dibenarkan apabila mencuri, tidak
memandang apa jenis barang tersebut. Dalam hal ini lebih mengkhusus pada duwe
pura yang diamongnya. Walaupun jumlah duwe yang ada melebihi standar kecukupan,
pemangku tetap tidak dibenarkan apabila mengambil barang tersebut. pemangku
harus menjadi oknum yang menjaga duwe yang ada di pura tersebut sehingga tetap
ada dalam kondisi apapun.
b. Panca
Niyama Brata merupakan lima cara pengendalian tahap lanjut setelah menguasai
ajaran Panca Yama Brata. Ada pula definisi lain yang menyebutkan bahwa Panca
Niyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk
mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Adapun bagian-bagiannya adalah:
1) Akroda
(tidak marah)
Seorang pemangku diharapkan untuk tidak maran dalam
kondisi dan situasi apapun. Karena dengan marah, emosi pemangku akan meledak,
dan hal ini dapat membuat pikiran menjadi kacau serta tidak fokus. Jika pikiran
pemangku sudah tidak fokus, bagaimana pemangku bisa memusatkan diri pada
kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa. Disamping itu, pemangku yang menjadi
panutan umat akan terlihat sangat tidak bijaksana apabila marah-marah kepada
orang lain walaupun orang itu salah.
2) Guru
Susrusa (hormat kepada guru)
Pemangku sebagai tokoh umat tidak hanya dihormati oleh
umat, tetapi pemangku sendiri juga harus hormat dan bhakti kepada gurunya.
Dalam hal ini guru yang dimaksud adalah catur guru, yaitu guru rupaka (orang
tua sendiri, baik ayah maupun ibu), guru pengajian (dalam hal ini bisa saja
termasuk guru nabe yang mengajari pemangku tentang aji kepemangkuan dan para
guru di sekolah), guru wisesa (pemerintah yang membuat kebijakan) dan tentunya
guru Swadhayaya (Ida Sanghyang Widhi Wasa)
3) Sauca
(bersih lahir bathin)
Melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat menurunkan
kualitas kebersihan bathin atau kesucian diharapkan dihindari oleh para
pemangku. Pemangku hendaknya selalu bersih lahir dan bathin, tubuh dibersihkan
dengan air, pikiran dengan kebenaran, kesetiaan dan kejujuran serta
kebijaksanaan selalu menjadi busananya.
4) Aharalagawa
(makan makanan yang sederhana)
Bagian ini mengajarkan kepada pemangku agar tidak
bersikap rakus (makan serba besar). Pemangku hendaknya mengonsumsi makanan yang
ringan-ringan yang tentunya mampu memberikan kecemerlangan pada pikiran dan
memberi kemurnian dalam menjalankan swadharmanya sebagai hamba Tuhan.
5) Apramadha
(tidak mengabaikan kewajiban)
Pemangku hendaknya tidak melalaikan tugasnya sebagai manggala
upacara serta panutan umat. Kepentingan umat harus menjadi proritas bagi
seorang pemangku, jangan sampai pemangku tidak menjalankan swadharmanya karena
kepentingan politik, bisnis atau lainnya yang tidak sejalan dengan
swadharmanya.
Disamping kelima bagian Panca Niyama
Brata di atas, dalam ajaran Asthangga Yoga, disebutkan bahwa bagian-bagian dari
Panca Niyama Brata sebagai berikut:
1) Sauca,
kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan
mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu
yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut. Di Bali sebelum
menjadi rohaniawan (Sulinggih) mereka harus disucikan dengan upacara, namun
dalam prakteknya masih banyak yang mengingkari akan hal tersebut, misalnya
seorang sulinggih yang berbisnis banten sedangkan itu sudah merusak kesucian
secara lahiriah dari seorang rohaniawan. Dewasa ini banyak orang yang ingin
menjadi seorang rohaniawan, ini menunjukkan bahwa ajaran sauca menjadi hal yang
begitu diharapkan oleh banyak orang dan tidak terlepas dari keinginan untuk
menjadi pelayan Tuhan.
2) Santosa
atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang
tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan
transendental. Kepuasan atau Atmanastuti merupakan hal yang tidak kita pisahkan
dalam kehidupan spiritual. Kepuasan lahir dan bathin dalam melayani Tuhan
adalah paling utama sehingga tidak menimbulkan rasa beban dan berat dalam melaksanakan
pelayanan.
3) Tapa
atau mengekang melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan
terbebas dari noda dalam aspek spiritual. Ajaran ini lebih menekankan aspek
pengendalian diri dalam segala bidang. Di jaman sekarang banyak orang berusaha
mencari tempat-tempat yang menyediakan ketenangan, keheningan untuk mendapatkan
ketenangan akibat kepenatan hidup yang cukup berat.
4) Svadhyaya
atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan
nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya persatuan dengan apa yang dicita-citakannya.
Di jaman sekarang orang-orang sudah mulai enggan untuk mempelajari kitab-kitab
suci karena kesibukan sehingga orang-orang mulai melupakannya. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang mempelajari khusus lewat pendidikan
formal di perguruan tinggi merupakan jalan yang cukup bagus khusunya bagi
generasi muda yang ingin mendalami ajaran agama. Jadi ada pasang surut terhadap
aplikasi swadhyaya di jaman globalisasi ini.
5) Isvarapranidhana
atau penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang
kepada tingkatan samadhi. Dalam hal ini kita dituntut untuk menjadi pelayan
Tuhan dan selalu mepersembahkan hasilnya kepada Beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar