
Pembahasan kali ini bukanlah tentang
perbandingan antar agama atau agama mana yang paling baik, melainkan merujuk
pada konsep korelasi Agama, tradisi dan budaya. Ketiga hal ini menjadi satu
kesatuan yang saling melengkapi (complement)
dalam konteks kehidupan beragama. Karena saya adalah seorang Hindu, maka kali
ini saya akan mencoba menguraikan terkait ketiga konsep tersebut dalam sudut
pandang saya sebagai Hindu.
Korelasi Agama, Budaya
dan Tradisi
Agama merupakan kepercayaan kepada
Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan itu. Dalam konsep Hindu
secara etimologi dijelaskan Agama berasal dari kata “A” berarti tidak dan “Gam”
berarti pergi. Jadi Agama adalah sesuatu yang tidak pergi, dalam artian
keberadaannya selalu masih ada dan diturunkan secara turun tumurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Perwujudan orang beragama biasanya dilakukan
melalui sembahyang (beryadnya), dan
melaksanakan ajaran yang tertuang dalam ajaran agama.
Sementara tradisi adalah adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Ada juga yang menyebutkan, tradisi dipahami sebagai sesuatu yang
sudah dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu,
atau agama yang sama. Dan saya teringat dosen saya Prof. Duija sempat
mengutarakan bahwa dalam arti sempit, suatu kegiatan yang sudah dilakukan minimal
selama lima kali berturut-turut akan bisa disebut sebagai tradisi.
Kemudian, berbicara mengenai Budaya,
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi, dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang,
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi
ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Budaya juga menjadi penciri atau kekhasan dari suatu daerah ataupun suatu
suku, olehnya sebagai negara yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika,
Indonesia memiliki begitu banyak kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Pada hakikatnya tujuan beragama
dalam hindu adalah mencapai kemanunggalan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Moksa;
yang berarti bebas, lepas). Untuk mecapai hal
tersebut, dalam ajaran Hindu disebutkan ada empat cara yang bisa ditempuh, yang
dikenal dengan Catur Marga Yoga. Catur
Marga Yoga adalah empat jalan atau
cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keempat jalan itu adalah Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Beragama dalam Hindu
tidak melulu dilakukan dengan jalan bhakti/sembahyang (Bhakti Marga Yoga), tetapi juga bisa dilakukan dengan bekerja
dengan sungguh-sungguh, terlebih melakukan pelayanan baik pada sesama umat
maupun kepada Tuhan sebagai realisasi konsep ngayah (Karma Marga Yoga).
Kemudian bisa pula dilakukan dengan berbagi pengetahuan secara sungguh-sungguh
untuk mencerdaskan para generasi penerus (Jnana
Marga Yoga), dan jalan tertinggi adalah dengan menerapkan disiplin Tapa
Brata Yoga Semadhi (Raja Marga Yoga).

Kembali pada pemikiran, bahwa
beragama dalam Hindu tidak hanya direalisasikan melalui sembahyang (beryadnya). Hal ini membuat keberadaan budaya
memiliki tempat tersendiri dalam pelaksanaan kehidupan beragama Hindu. Dalam
agama Hindu, terlebih Hindu yang berkembang di Bali keberadaan budaya begitu
kental adanya. Sulit untuk menemukan kehidupan beragama orang Hindu Bali yang
tidak diinternalisasi dengan nilai budaya. Setiap perayaan hari besar keagamaan
selalu menonjolkan budaya. Hal ini tentunya sejalan dengan 7 unsur kebudayaan
yang dikemukakan Koentjaraningat (Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem
Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi,
Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi , dan Kesenian) terkhusus pada
unsur sistem religi.
Sistem religi ini terinternalisasi
dalam tradisi yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah. Tradisi yang
dilaksanakan secara turun temurun bahkan oleh oknum tertentu dipandang sebagai
satu kesatuan dengan kehidupan beragama. Padahal sesungguhnya tradisi itu
menunjang eksistensi budaya masyarakat dan sebagai perekat kehidupan sosial
masyarakat. Tradisi kebanyakan bersifat tradisional, artinya banyak filosofi
yang terkandung dari pelaksanaan suatu tradisi, bukan karena agama yang
mengharuskan itu, tetapi kesepakatan dan nilai historis tertentu dari suatu
daerah. Terlebih era modern ini, banyak
pihak yang selalu berbicara melestarikan tradisi, tetapi tidak mengetahui
esensi dasar pelaksanaan tradisi tersebut. Olehnya, saya memandang tradisi
sangat perlu dilestarikan, tetapi lebih perlu dan penting untuk mengetahui
esensi dan nilai filosofis pelaksanannya. Tidak cukup dengan jawaban “mula keto (Memang begitu)”.
Agama, Budaya, dan
Tradisi dalam Perayaan Nyepi
Bukan merupakan pengetahuan baru
lagi jika perayaan hari raya dalam agama Hindu Bali, didasarkan pada sasih dan
pawukon. Yang berdasarkan perhitungan sasih (bulan) dilaksanakan setiap setahun
sekali, sementara yang dilaksanakan berdasarkan pawukon dilaksanakan setiap
enam bulan sekali. Salah satu hari yang
dilaksanakan setiap setahun sekali adalah perayaan hari raya Nyepi. Nyepi
dilaksanakan pada Pinanggal Apisan Sasih
Kedasa (Tanggal 1 bulan ke sepuluh). Dan rangkaian pelaksanaan Nyepi adalah
Pengrupukan (Tawur Agung Kesanga) sehari sebelumnya, dan Ngembak Geni sehari setelahnya.
Pelaksanaan Tawur Agung Kesanga merupakan salah satu wujud pelaksanaan konsep Tri Hita Karana pada bagian Palemahan (hubungan yang harmonis
manusia dengan alam). Namun pelaksanaan tawur agung ini tentu saja sudah
berintegrasi dengan nilai budaya, sehingga masing-masing daerah punya cara
tersendiri dalam pelaksanaannya sesuai desa,
kala, dan patra. Hal paling
mengesankan dalam Tawur Agung Kesanga
ini, biasanya sering hadir sosok Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah karya seni patung
dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu, Bhuta
Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu)
alam semesta dan waktu (Kala) yang
tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta
Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud
Raksasa.
Keberadaan Ogoh-ogoh dalam sudut
pandang saya lebih pada nilai budaya dan tradisi. Sementara posisi agama dalam
ogoh-ogoh saya kira kecil adanya. Mengapa? Karena seringkali Tawur Agung Kesanga (pengerupukan) tidak disertai ogoh-ogoh,
toh juga tetap terlaksana, tidak ada mengurangi pelaksanaanya dalam sudut
pandang agama. Ada ataupun tidak ada Ogoh-ogoh, Tawur Agung tetap terlaksana, dan tujuan mengharmonikan alam
semesta dapat dilaksanakan. Ketika Nyepi, juga tetap boleh melaksanakan catur brata penyepian (Amati Geni, Amati Lelanguan, Amati
Lelanguan, Amati Karya) meskipun tidak membuat ogoh-ogoh.
Apakah hal ini berarti saya tidak
setuju dengan pembuatan ogoh-ogoh? Tentu saja tidak. Saya mendukung adanya Ogoh-ogoh
dalam perayaan Nyepi. Hal ini akan mengajeggan budaya dan tradisi umat Hindu
Bali dimanapun berada, yang pada akhirnya akan memperkokoh keberadaan Agama
Hindu sebagai agama tertua. Keberadaan Ogoh-ogoh akan semakin meningkatkan daya
kreatifitas dan nilai estetik generasi muda hindu. Terbukti dengan begitu
indah, menawan dan menakjubkannya berbagai karakter Ogoh-ogoh yang dibuat oleh
generasi muda Hindu. Melalui pembuatan Ogoh-ogoh ini pula persatuan antar
pemuda (menyama braya) semakin
terjalin. Mereka bersatu, berbagi ide, bekerja sama sehingga ogoh-ogoh yang
didesain bisa dihasilkan dengan nilai kepuasan tinggi.
Namun kembali lagi, Ogoh-ogoh ini
bukanlah syarat mutlak untuk merayakan hari raya nyepi. Agama Hindu tidak akan
membatalkan perayaan Nyepi tanpa hadirnya Ogoh-ogoh. Budaya dan tradisilah yang
tidak jalan, budaya dalam berkesenian, dan tradisi ngarak ogoh-ogoh pada malam pengrupukan. Saya teringat pula dengan
tulisan Emile Durkheim dalam bukunya The
Elementary Form of Religious Life menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dasar
agama meliputi: 1 Pemisahan antara “yang suci” dan “yang profan”, 2) Permulaan
cerita-cerita tentang dewa-dewa, dan 3) Macam-macam bentuk ritual.
Merujuk pada bentuk dasar yang
pertama, pemisahan antara antara “yang suci” dan “yang profane”. Ini berarti
dalam beragama, kita harus mampu membedakan mana yang suci “Sacred” yang keberadaan/pelaksanaan
wajib dalam beragama dan mana yang sifatnya hiburan “Profan”, sehingga tidak
bias dalam pelaksanaan kehidupan beragama. Beragama adalah perihal sesuatu yang
“sacred” jadi keberadaan yang “profan”
itu sifatnya tidak wajib. Sama dengan perayaan Nyepi, tawur agung, caru, dan lainnya adalah “sacred” ini tidak bisa ditunda di hari lain, tetapi keberadaan
ogoh-ogoh adalah “profan” tidak wajib adanya, dan bisa ditunda di hari lain.
Nyepi di Tengah Badai
Covid-19
Ada yang berbeda dengan perayaan
Nyepi tahun 2020 ini. Nyepi jatuh pada tanggal 25 Maret 2020 dan Pengrupukan
pada tanggal 24 Maret 2020 dirayakan tepat di tengah badai Covid-19. Pandemi
Global yang sudah mewabah ke sebagian besar belahan dunia ini menjadi sesuatu
yang mengerikan bagi kehidupan global. Kesehatan adalah asset yang utama, ya
benar sekali. Olehnya, sebagai antisipasi penularan virus yang begitu cepat
pemerintah menghimbau agar seluruh masyarakat mengurangi aktivitas yang
melibatkan banyak orang.
Hal ini berdampak pada Parade
Ogoh-Ogoh yang biasa dilaksanakan oleh sebagian besar umat hindu Bali. Banyak
ogoh-ogoh sudah selesai dibuat dengan menghabiskan dana jutaan rupiah. Tetapi
dengan himbauan pemerintah agar menghindari keramaian, terlebih melalui
Instruksi Gubernur Bali Nomor 267/01-B/HK/2020 tentang Pelaksanaan Rangkaian
Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 di Bali pada instruksi point Kedua yang
berbunyi “Tidak Melaksanakan Pengarakan Ogoh-Ogoh, dalam bentuk apapun dan
dimanapun” menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Satu sisi masyarakat setuju, guna
mengurangi resiko penyebaran Virus Corona. Di sisi lain mereka kecewa ogoh-ogoh
yang sudah digarap dan siap diarak justru hanya akan menjadi pajangan belaka.
Berbagai wujud ekspresi ketidakpuasanpun muncul. Menanggapi hal ini, saya
kembali ke konsep awal terkait Agama, Budaya dan Tradisi. Ogoh-ogoh ini adalah
tradisi yang tentunya bisa dilakukan lagi tahun depan. Sekarang marilah kita
ikuti instruksi gubernur untuk kebaikan kita bersama. Bukankah kesehatan adalah
asset yang utama?
Terkait dengan tradisi, dalam film
Serial Mahabharata ada percakapan yang cukup menggelitik antara Krishna dan
Bhisma, yang isinya begini, “Tradisi itu sama dengan buah manga Bhisma. Ketika
mereka muncul rasanya pahit sekali, tak lama kemudian rasa meraka akan asam.
Hanya mereka yang suka asam yang bisa menerimanya dengan baik. Dan setelah
beberapa waktu kemudian, rasanyapun berubah jadi manis. Mereka menjadi makanan
kesukaan banyak orang. Tetapi setelah beberapa waktu kemudian mereka berubah
menjadi busuk. Merekapun menjadi sangat mengganggu. Orang yang memakannyapun
bisa sakit, dan akhirnya yang tersisa hanyalah bagian kering dari bijinya”.
Petikan percakapan ini, memberikan gambaran
pada kita, bahwa janganlah terlalu mendewakan sebuah tradisi. Karena tradisi
akan eksis pada masanya, dan akan gugur pula pada waktunya. Tradisi adalah
ciptaan manusia, kepuasan tradisi ada pada kepuasan yang dirasakan oleh
sebagian besar manusianya. Jangan pernah memaksa menjalankan tradisi apabila
dirasa malah akan merugikan kehidupan manusia itu sendiri.
Pengarakan Ogoh-ogoh menjelang Nyepi
tahun 2020 ini hendaknya mengikuti
instruksi gubernur, yaitu tidak dilaksanakan. Untuk saat ini, hal ini adalah
yang terbaik untuk kelangsungan hidup bersama. Agama kita (Hindu) akan tetap
melaksanakan perayaan Nyepi tanpa mengurangi esensinya, tetapi mari kita
turunkan ego dalam kaitannya dengan budaya dan tradisi, yaitu ogoh-ogoh. Agama
akan dikuatkan dengan keberadaan budaya dan tradisi, tetapi akan tetap
diwariskan dari generasi ke generasi meskipun tradisi dan budaya telah mati
termakan waktu. Mari cerdas dalam beragama, karena agama mengajarkan kita untuk
cerdas, baik cerdas intelektual, cerdas emosional maupun cerdas spiritual.
Oleh:
I
Wayan Rudiarta
Sumber
rujukan:
id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar