Hallo para sahabat Blogger.. lama saya belum bisa posting sudah lebih dari sebulan. Nah sekarang saya berbagi makalah yang telah saya selesaikan pada mata kuliah seni sakral. Langsung aja ya..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era Globalisasi ini ditandai dengan
adanya perubahan yang mengglobal (menyeluruh) pada aspek kehidupan. Perubahan
terus terjadi seiring dengan daya kreasi manusia yang terus berkembang.
Perubahan memang terus terjadi baik itu mengarah ke hal yang positif maupun hal
yang negatif, karena sebagaimana orang bijak mengatakan bahwa yang paling abadi
adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini menunjukkan bahwa manusia mampu
berkreasi, berinovasi dan berkembang. Berkreasi tidak hanya terbatas pada satu hal, tetapi setiap orang
memiliki tempatnya masing-masing untuk berkreasi sesuai dengan bakat yang
dimiliki. Begitu pula dalam hal berinovasi, inovasi akan muncul seirama dengan
kreasi yang muncul dalam benak manusia yang nantinya semua ini akan membuat
kehidupan manusia semakin berkembang.
Menukik pada kreasi, bahwa
sesungguhnya setiap insan manusia terlahir dengan kemampuan berkreasi yang
berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi karena faktor keturunan maupun karena
faktor lingkungan dimana manusia tumbuh dan berkembang. Kreasi yang bisa
dituangkan manusia bisa saja mencakup kesenian, sastra, teknologi, komunikasi,
atau hal lainnya yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Akan tetapi
kesan di masyarakat, ketika berbicara mengenai kreasi maka hal pertama yang
terbayang dalam benak adalah mengenai kesenian. Mengapa demikian? Karena selama
ini kreasi yang lebih mudah diterima oleh masyarakat adalah di bidang kesenian.
Kesenian yang bisa dikreasi oleh manusia seperti seni tari, seni musik, seni
patung, seni lukis, seni tabuh, dan seni lainnya yang mampu menimbulkan rasa
senang dan nyaman bagi para penikmatnya.
Kesenian bagi umat Hindu bukanlah
sesuatu yang asing terutama Hindu Bali, karena pada dasarnya pelaksanaan
kegiatan keagamaannya tidak bisa terlepas dari kesenian yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat. Kesenian yang ada memang budaya, dan Hindu adalah
agama yang tidak akan menghilangkan budaya lokal dimana Hindu berkembang. Atas
alasan inilah kesenian dijadikan sebagai pengiring, pelengkap atau bahkan pemuput (syarat keberhasilan) dalam
suatu upacara keagamaan. Memang tidak semua kesenian sifatnya seperti itu,
karena secara umum kesenian dalam umat Hindu apabila dikaitkan dengan upacara
keagamaan dibedakan menjadi tiga, yaitu seni Wali (Sakral), seni Bebali (Semi
sakral-profan) dan seni Bebalihan (Profan). Dan dari ketiga jenis itu yang
biasa dipentaskan dalam kegiatan keagamaan adalah seni Wali atau terkadang seni
Bebali, sedangkan untuk seni Profan hanya berfungsi sebagai hiburan belaka.
Namun yang akan penulis ulas dalam
makalah ini bukanlah mengenai kesenian secara umum, melainkan mengkhusus pada
seni sakral yang sangat erat kaitannya dengan suatu upacara keagamaan. Hal ini
berawal dari rasa keingintahuan penulis mengapa harus ada seni sakral dan apa
yang membedakan dengan seni pada umumnya. Terlebih lagi seni sakral ini bukan
hanya terbatas pada seni tari, tabuh, musik, dan yang lain tetapi banyak
ditemui di pura-pura tertentu yang bahkan menyungsung sesuatu yang disakralkan
yang merupakan karya seni manusia yang kemudian disebut "sesuwunan". Sesuwunan ini juga terkadang dipentaskan ketika pelaksanaan
Pujawali, dan hal ini tentunya semakin menimbulkan rasa keingintahuan dalam
benak penulis, mengapa harus ada sesuwunan?
Dan apa konsekuensi yang akan terjadi apabila tidak diadakan.
Berkaca dari latar belakang
tersebut, maka penulis memiliki objek yang sekiranya apabila diteliti lebih
dalam akan memberikan pengetahuan serta kebenaran bagi penulis terkait dengan
seni sakral, yaitu mengambil lokasi di Tanah Embet yang mana disana ada pura
yang menyungsung Barong (Due) dan
juga Rangda. Dan mengenai hal tersebut, penulis akan mencoba menguraikan dalam
sebuah makalah yang berjudul "Nilai Sakral Sesuwunan Barong dan Rangda di
Pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat, banjar Rojong, dusun Tanah Embet Barat"
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
penulis paparkan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalah yang akan menjadi
acuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
a. Apakah
pengertian seni Sakral?
b. Apakah
Pengertian Sesuhunan dikaitkan dengan
"Barong" dan "Rangda"?
c. Apakah
arti penting keberadaan sesuhunan "Barong"
dan "Rangda" di pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat bagi masyarakat banjar
Rojong, dusun Tanah Embet Barat?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang penulis harapkan
dapat dicapai dengan penulisan makalah seni sakral ini adalah sebagai berikut:
a. Agar
Pembaca dan Penulis mengetahui pengertian seni Sakral.
b. Agar
Pembaca dan Penulis mengetahui Pengertian Sesuhunan
dikaitkan dengan "Barong" dan "Rangda".
c. Agar
Pembaca dan Penulis mengetahui arti penting keberadaan sesuhunan "Barong" dan "Rangda" di pura
Pemaksan Tanah Embet Barat bagi masyarakat banjar Rojong, dusun Tanah Embet
Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Seni Sakral
Seni Sakral kadang-kadang diberi
istilah estetika. Yang mana kata seni sakral berasal dari dua kata yakni seni
dan sakral, kata “seni” artinya karya manusia yang mengandung unsur indah serta
menarik perhatian orang lain yang melihatnya, sedangkan kata “sakral” didalam
Bahasa Inggris yang disebut “sacred”
yang artinya suci, tenget, angker, dan pasupati. Jadi berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa “Seni Sakral” merupakan suatu karya seni yang disucikan
oleh pendukungnya, pemeluknya, maupun penyungsungnya untuk dipersembahkan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Yang biasanya hanya
dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu Yajna dan disesuaikan dengan
keperluannya. Dimana seni sakral tersebut tidak dapat dipentaskan pada
sembarang tempat, waktu atau media. (https://catatantugaskampus.wordpress.com/2015/01/16/seni-sakral/,
01 Desember 2015)
Secara umum perbedaan antara
Seni Sakral dengan Seni Profan dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Seni
Sakral tidak disewakan, tetapi Seni Profan sebaliknya.
2. Seni
Sakral berfungsi sebagai pelaksanaan atau pemuput karya, tetapi Seni Profan
untuk menghibur.
3. Seni
Sakral dipasupati dengan tujuan sebagai alat pelaksanaan upacara, tetapi Seni
Profan dipasupati agar bisa menarik minat penonton.
4. Seni
Sakral menggunakan alat perlengkapan upacara yang khas, sedangkan Seni Profan
tidak.
Adapun beberapa
ciri-ciri yang menujukkan bahwa suatu karya seni merupakan seni sakral dapat
diuraikan seperti berikut:
1. Ungkapan
tariannya meniru gerak ritmis gerak
alam.
2. Ritmis
gerak dilakukan dangan spontanitas pencurahan jiwa penarinya.
3. Dalam
penampilannya dirasakan adanya suasana mistik, magis dan religius.
4. Ekspresi
tarian erat kaitannya dengan peristiwa yang menjadi tujuan yang ingin dicapai.
5. Biasanya
dilakukan oleh banyak orang.
6. Istrumen
musik vokal sangat sederhana tetapi dapat menggugah alam rasa yang sangat
dalam.
7. Biasanya
sering terjadi pengulangan gerak dan musik dengan tujuan mempercepat
terciptanya mistik dan magis. (http://rakawidian.blogspot.co.id/2015/03/budaya-hindu.html,
01 Desember 2015-12-01)
2.2 Pengertian Sesuhunan
dikaitkan dengan "Barong" dan "Rangda"
Secara tradisi masyarakat Hindu
terkhusus Hindu Bali meyakini dan memperlakukan Barong serta Rangda sebagai
sesuhunan, yaitu sebagai sesuatu yang disakralkan. Kata Sesuhunan sendiri secara sederhana berasal dari kata Bahasa Bali
yaitu asal kata "suhun"
yang berarti cara membawa sesuatu yang ditempatkan di atas kepala. Dan istilah Sesuhunan ini kemudian semakin nyaman
digunakan oleh masyarakat untuk menyebut sesuatu yang disakralkan dan diyakini
nilai spiritual serta kesuciannya. Secara logika saja, ketika meletakkan
sesuatu di atas kepala, yang dalam Bahasa Bali Alusnya disebut "Prabhu", dan Kata Prabhu berarti raja maka kepala ini
adalah rajanya tubuh manusia. Apabila meletakkan sesuatu di atas raja organ
tubuh maka sudah pasti manusia sangat menyucikan benda tersebut. Dari konsep
sederhana ini dapat didefinisikan bahwa Sesuhunan
adalah suatu benda yang disakralkan dan diyakini nilai spiritual serta
kesuciannya oleh umat manusia dan diyakini akan memberikan perlindungan dalam
menjalankan kehidupan ini.
Berkenaan dengan pembahasan mengenai
Sesuhunan, maka akan sangat berkaitan
dengan pembahasan mengenai Barong dan Rangda, olehnya perlu diulas
pengertiannya masing-masing.
2.2.1 Pengertian Barong
Barong adalah karakter dalam
mitologi Bali, sedangkan di Jawa disebut "Barongan". Ia adalah raja
dari roh-roh serta melambangkan kebaikan. Ia merupakan musuh Rangda dalam
mitologi Bali. Banas Pati Rajah adalah roh yang mendampingi seorang anak dalam
hidupnya. Banas Pati Rajah dipercayai sebagai roh yang menggerakkan Barong.
Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa. Sendratari
tradisional di Bali yang menggambarkan pertempuran antara Barong dan Rangda
sangatlah terkenal dan sering dipertunjukkan sebagai atraksi wisata. (https://id.wikipedia.org/wiki/Barongan_(mitologi),
09 Desember 2015)
Dalam dimensi pemikiran yang berbeda
Barong dapat didefinisikan sebagai salah satu dari tari Bali peninggalan
kebudayaan pra Hindu selain tari Sangyang. Kata barong berasal dari kata
bahruang berarti binatang beruang, seekor binatang mitologi yang mempunyai
kekuatan gaib, dianggap sebagai binatang pelindung. Tarian ini menggunakan
boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki
kekuatan magis. Tetapi di Bali pada kenyataannya Barong tidak hanya di wujudkan
dalam binatang berkaki empat akan tetapi ada pula yang berkaki dua. Topeng
Barong (Tapel) dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti
kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan
oleh masyarakat Hindu Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon,
selalu diawali dengan demonstrasi pertunjukan yang diiringi dengan gamelan yang
berbeda-beda seperti gamelan Gong Kebyar, gamelan Babarongan, dan gamelan
Batel. (http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/882/tari-barong,
09 Desember 2015)
Disamping itu, ada sumber lain yang
menyatakan bahwa Secara etimologi, kata barong berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu kata b(h)arwang yang dalam bahasa melayu atau bahasa indonesia sejajar
dengan kata beruang, yaitu nama seekor binatang yang hidup di Asia, Amerika dan
Eropa. Kata b(h)arwang sangat dekat maknanya dengan bahasa belanda
"beer" yang artinya juga binatang beruang. Istilah binatang beruang
untuk mengidentifikasikan wjud barong tidak lebih sebagai binatang mythology yang sering juga kita jumpai
dalam cerita Tantri. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua jenis
pertunjukan yang akan menggunakan Barong sama sekali tidak sesuai dengan apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan perkataan Barong. Pendapat lain juga
mengartikan kata Barong berasal dari urat kata ba-ru-ang . dalam bahasa
Indonesia huruf u dan a berasimilasi menjadi o , ru dan a(ng) menjadi ro(ng)
yang berarti dua. Rong mengandung makna
ruang, jadi dua rong yang dimaksud adalah dua ruang. Pengertian inipun dapat
diterima karena pada umumnya barong punya dua ruang sebagai tempat penarinya
atau tempat mundutnya, kecuali barong jenis blas-blasan. (https://murniasihmu.wordpress.com/2011/12/28/mengenal-barong-dan-rangda/,
15 Desember 2015)
Dari sekian definisi mengenai
barong, maka penulis menyimpulkan bahwa barong adalah hasil karya seni yang
terspesifikasi menjadi seni sakral maupun seni profan sesuai dengan prosesi
pembuatannya yang dibuat dalam bentuk beruang (berongga) dengan jumlahnya ada
dua dengan umumnya mengambil bentuk binatang, kecuali untuk barong blas-blasan
dan barong landung yang terdiri dari 1 ruang.
2.2.2 Pengertian Rangda
Menurut etimologinya, kata Rangda
yang kita kenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa
yang berarti janda (L. Mardiwarsito, 1986:463). Rangda adalah sebutan janda
dari golongan Tri Wangsa yaitu, Wesya, Ksatria dan Brahmana. Sedangkan dari
golongan Sudra disebut Balu. Kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda.
Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar,
karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang
'aeng' (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu
kiri (pengiwa). Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan
cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu
bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak). Sesungguhnya pengertian di atas
lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur
Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.
Ada juga cerita
yang lain, namun itu hanyalah kreasi para seniman seperti: Lakin Kunti Srya,
Nang Aprak, Celedu Nginyah, Men Muntregan, Balian Batur, Campur Taluh (Talo)
dan Kaki Tua. Juga cerita-cerita mythologi dan sejarah seperti Kalikek,
Jayapati dan Sudarsana. Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di
Bali amat sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama.
Memang dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung,
Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya lebih
banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan wujud Rangda
adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :
1. Bentuk
Nyinga
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan
sedikit menonjol ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.
2. Bentuk
Nyeleme
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia
dan sedikit melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat
yang berwibawa dan angker.
3. Bentuk
Raksasa
Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa
seperti yang umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini
menyeramkan.
(https://id-id.facebook.com/notes/cerita-dunia-ghaib/asal-usul-rangda-aaj/196082113804188/,
12 Desember 2015)
2.2.3 Proses Sakralisasi Barong Dan Rangda
Tidak setiap
benda yang berwujud seperti Barong dan Rangda disebut Barong dan Rangda. Hal
ini berdasarkan ada tidaknya proses sakralisasi melaui upacara. Proses
sakralisasi itu penting, karena perwujudan barong dan rangda akan menampakkan
nilai magisnya sehingga masyarakat penyungsungnya makin merasa dekat dengan
barong agar tapel barong dan rangda mendapat kesucian serta kehidupan secara
rohani. Walaupun tapel dan pepayasannya sudah dipasang, namun belum dikatakan
sebagai benda suci. Dia adalah benda mati, sedangkan sekarang benda mati itu
akan dihidupkan melalui upacara Utpeti (disucikan).
Tingkatan upacara
utpeti diantaranya:
1. Tingkat
Prayascita dan Mlaspas
Tujuan upacara ini adalah untuk menghapus noda ( leteh,
papa klesa) baik yang bersifat sekala atau niskala yang ada pada kayu untuk
pembuatan barong dan rangda.
2. Tingkat
Ngatep dan Pasupati
Upacara ngantep adalah upacara penyambungan tapel atau
punggelan dengan tubuhnya atau penyambungan bagian tubuh yang lain seperti
gelungan dengan busana yang lain. dengan upacara ini terjadilah proses utpeti
terhadap barong dan rangda dan mulai saat itu dapat difungsikan sebagai
personifikasi dari roh dan kekuatan gaib .
3. Tingkat
mesuci dan ngererehin.
Ini merupakan tahan terakhir agar barong dan rangda menjadi
suci dan keramat. Tujuan upacara ini adalah untuk emasukkan kekuatan gaib dari
tuhan. Dengan demikian barong dan rangda mampu menjadi pelindung yang aktif. (https://murniasihmu.wordpress.com/2011/12/28/mengenal-barong-dan-rangda/,
15 Desember 2015)
2.2.4 Beberapa Arti Simbol Pada Barong Dan Rangda
1.
Arti Simbol Pada Barong
Kekuatan terbesar ada pada mata dan jenggotnya. Berdasarkan
keyakinan, Barong dalam cerita sebagai wakil kebenaran. Kekuatan dharma ini
terdapat pada punggelannya (muka) yang dipusatkan pada mata dan jenggot yang
bahannya dari rambut manusia. Apabila ada salah satu desa yang diserang
penyakit sampar atau wabah, maka pemangku akan cepat-cepat merendam jenggot Barong
tersebut pada segelas air bersih kemudian dijadikan air suci. Air itu diyakini
mempunyai kekuatan magis.( AA. Ngr. Made Agung, Bias Bali, Bali Post).
2.
Arti Simbol Pada Rangda
Bagian – bagian
rangda yang mengandung arti adalah:
a. Lidah
yang panjang sampai di perut mempunyai arti lapar yang terus – menerus, yang
selalu ingin membunuh dan memakan mangsanya.
b. Lidah
yang keluar api adalah lambang dari pembakaran yang berarti tidak ada sifat
ampun, segala yang masuk pasti dibakar.
c. Mata
yang mendelik dan melotot adalah sifat marah, kejam dan bengis, mementingkan
diri sendiri dan tidak percaya kekuatan orang lain.
d. Taring
yang panjang adalah symbol kebinatangan dari sifat-sifat binatang buas dan
penuh kekejaman.
e. Lidah-lidah
api yang terdapat di atas kepala adalah symbol sinar kesaktian. Ragam hiasan
lidah-lidah api itu juga menyimbolkan huruf gaib yang bersembunyi OM yang
mempunyai kesaktian ( I ketut Ginarsa, 1984:59 ). (https://murniasihmu.wordpress.com/2011/12/28/mengenal-barong-dan-rangda/,
15 Desember 2015)
2.3 Sesuhunan "Barong"
dan "Rangda" di pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat
Di banjar Rojong, dusun Tanah Embet
Barat terdapat sebuah pura yang dinamai pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat.
Berbeda dengan pura Pemaksan lainnya yang ada di Lombok, di pura ini memiliki
keunikan yaitu menyungsung sesuwunan "Barong" dan "Rangda".
Ketika masuk ke dalam pura yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan ini maka
akan terlihat ada dua areal pura dan setelah penulis mencari informasinya
diketahui bahwa disana ada pura Saraswati yang letaknya di dalam areal pura
Pemaksan. Rasa penasaran semakin membesar ketika ingin mengetahui dimana
sesuwunan dilinggihkan, dan setelah
meminta izin, akhirnya dibukakanlah tempat pelinggihan sesuwunan, yaitu
"Barong" melinggih
(bertempat) pada areal pura Pemaksan, dan "Rangda" melinggih (bertempat) di pura Saraswati.
2.3.1 Sejarah Barong dan Rangda di
pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat
Di Pura yang memiliki luas ± 900 m2
inilah kedua sesuwunan yang biasa mesolah
(ditarikan) sebanyak tiga kali dalam setahun ini berstana. Dari informasi yang
penulis peroleh dari bapak Wayan Dalang selaku ketua Banjar, disebutkan bahwa Barong
dan Rangda yang diamong sekarang awalnya adalah milik pribadi. Awalnya Barong
dan Rangda dibuat adalah untuk kepentingan pementasan yang berkaitan dengan
profesi sang pemilik pertama yaitu sebagai seniman. Namun ternyata Barong dan
Rangda yang dibuat oleh para seniman tersebut bukanlah hanya untuk diprofankan,
melainkan dibuatkan suatu ritual khusus untuk mensakralkan Barong dan Rangda
yang dibuat. Setelah disakralkan, akhirya Barong dan Rangda tersebut
dilinggihkan di sanggah yang tentunya dalam waktu yang berkala memerlukan suatu
upacara.
Seiring berjalannya waktu, Barong
dan Rangda yang tadi disimpan di merajan dihaturkan ke Banjar, dan kepemilikan
diberikan kepada Banjar karena pihak keluarga pemilik asli (sang pembuat sudah
meninggal) merasa tidak sanggup dalam pelaksanaan upacara secara sendiri.
Banjarpun ternyata menerima dengan senang hati dan segera dibuatkan tempat
untuk mensthanakan Barong dan Rangda tersebut. Selain berita tersebut, pak
Dalang juga menyebutkan bahwa awalnya di Tanah Embet Barat ada tiga rangda,
yang mulanya milik pribadi. Namun karena suatu hal satu Rangda telah dijual dan
kini masih ada dua Rangda. Dari dua Rangda tersebut satu diserahkan kepada
Banjar yang kini dilinggihkan di areal pura Saraswati dan yang satunya lagi
masih disthanakan di Merajan Bapak Ketut Kantor.
Semua sesuwunan disolahkan sebanyak
tiga kali dalam setahun, yaitu pada Budha Umanis wuku Julungwangi, Redite
Umanis wuku Ukir dan Tilem sasih kapat. Memang dalam perhitungannya, Budha
Umanis wuku Julungwangi dan Redite Umanis wuku Ukir masing-masing datang 2 kali
dalam setahun, tetapi untuk Penyolahan (ditarikan) sesuwunan disana hanya
masing-masing 1 kali. Untuk Budha Umanis wuku Julungwangi, Barong dan Rangda
disolahkan berkenaan dengan Pujawali di pura Pemaksan, yang mana Pujawali di
pura digelar selama tiga hari dengan penyolahan hanya 1 kali yang bertempat di
jaba Pura Pemaksan. Sedangkan untuk Redite Umanis wuku Ukir, sesuwunan
disolahkan di Pura Melasa, hal ini bersamaan dengan pujawali di pura Melasa.
Tujuan dari penyolahan sesuwunan ini adalah agar warga di Tanah Embet Barat
terhindar dari petaka dan bisa hidup dengan harmonis.
Untuk penyolahan sesuwunan pada
tilem sasih kapat dilaksanakan di perempatan Banjar yang tujuannya adalah untuk
memohon Hujan. Hal ini bermula dari keadaan di Tanah Embet yang kekeringan, dan
karena ada pawisik akhirnya diperintahkan untuk nyolahan Barong dan Rangda di
perempatan Banjar, yang mana kemudian hingga sekarang terus dilestarikan.
Berbeda dengan pujawali di pura pemaksan, pada saat Tilem ini, rangda milik
pribadi yaitu yang dimiliki Bapak Ketut Kantor, yang dinamai "Ratu
Ayu" ikut disolahkan. Menurut penuturan dari Bapak Wayan Dalang dan Ibu
Budi Kartika, Ratu Ayu terkesan lebih tenget dan perwujudannya lebih besar.
Ketika disolahkan di perempatan jalan ini, biasanya memakai cerita (lelampahan) seperti layaknya calonarang.
Dan dalam pementasan ini beberapa tahun silam dilengkapi dengan kejadian
"Trans"/kerauhan yang juga berisi metebekan,
namun tahun-tahun belakangan sesuai penuturan Bapak Wayan Dalang, masyarakat
mulai mengubah teknis pelaksanaan (barangkali karena kesibukan) yaitu hanya
ditarikan begitu saja tanpa pernah ada lagi yang "Trans". Namun
menurut penuturan Bapak Wayan Dalang, hal ini tidak mengurangi makna dari
pelaksanaan ritual.
Menurut Penuturan Ibu Budi Kartika,
bahwa Barong dan Rangda hanya boleh diadakan di Tanah Embet Barat, sementara di
Tanah Embet Timur sama sekali tidak diperbolehkan niskala. Rangda dan Barong
yang ada sekarang, awalnya adalah milik pribadi, dan dari informasi yang
diperoleh, Barong yang disungsung di pura sekarang awalya adalah kepemilikan
Kaki Tucem, yang kemudiann karena sesuatu dan lain hal (informasi belum
diproleh) Barong diaturkan ke Banjar. Lain halnya dengan Rangda, Rangda ini
awalnya adalah kepemilikan dari keluarga suami Ibu Budi juga, yang mana
terdahulu maksud pembuatannya adalah sesuai profesi (sesuai penjelasan
sebelumnya), kemudian setelah yang bersangkutan meninggal, para keluarga yang
ditinggalkan merasa tidak sanggup untuk melakukan berbagai ritual untuk Rangda
secara pribadi, yang kemudian oleh tetua pada saat itu yang bernama Mangku
Pucak diaturkan ke banjar pula. Barong dan Rangda diaturkan di Pura menurut penuturan
ibu Budi berlangsung kurang lebih pada tahun 70-an. Keunikan lain yang dimiliki
oleh sesuwunan ini adalah tabuhnya yang berbeda dengan tabuh Barong pada
umumnya. Tabuh ini dibuat oleh tetua terdahulu dana masih diterapkan sampai
sekarang walaupun yang menarikan Barong dan Rangda bukanlah seniman, melainkan
warga laki-laki yang berminat untuk ngayah yang sebelumnya telah melalui
prosesi penglukatan.
Terkait penjelasan Ibu Budi, penulis
mencoba mencari informasi ke Tanah mebet Timur, benar apa tidak disana tidak
boleh ada Barong. Akhirnya bertemulah penulis dengan seorang Pemangku senior
yang berasal dari Tanah Embet Timur yang kini ngayah di pura Batu Bolong,
pemangku tersebut adalah Pemangku Mita Dharma. Menurut penuturan Mangku bahwa
Barong dan Rangda di Tanah Embet Barat sudah ada semenjak beliau mulai ingat
dengan kehidupan di dunia ini, yang mana meurut beliau bahwa adanya Rangda di
sana dikaitkan dengan Ratu Mas Mecaling yang ada di Dalem Peed. Menukik pada
keadaan di Tanah Embet Timur yang tidak diperbolehkan membuat barongpun
dibenarkan oleh Pemangku. Disampaikan bahwa ada sekumpulan anak-anak yang
membuat barong-barongan yang kemudian digunakan untuk ngelawang (ditarikan berkeliling) tiba-tiba kerauhan, dan
disampaikan bahwa di Tanah Embet Timur tidak boleh ada Barong. Petuah itupun
dipercayai oleh warga hingga sekarang. Dan Barong serta Rangda hanya ada di
Tanah Embet Barat saja.
2.3.2 Upakara dalam Penyolahan
Barong dan Rangda di pura Desa Pemaksan Tanah Embet Barat
Upakara ialah semua yang termasuk
banten, sesajen, dan perlengkapan yang digunakan dalam suatu upacara yadnya.
Begitupula halnya dengan di Tanah mebet Barat, dalam pelaksanaan ritual "mesolah" untuk Barong dan Rangda
melalui serangkaian prosesi yang membutuhkan upakara.
a.
Pada saat
Budha Umanis wuku Julungwangi
Pada hari Budha
Umanis wuku Julungwangi, sesuwunan ditarikan dalam rangka pujawali di Pura
Pemaksan. Proses mesolah dilakukan setelah upacara persembahyangan bersama
seluruh warga Tanah Embet Barat, yang mana dalam prosesnya upakara yang
digunakan adalah Banten Pengambean untuk arepan Pemangku dan Pejati atau
apabila memungkinkan menggunakan suci 1 soroh untuk arepan Barong serta Rangda.
Untuk seluruh upakara yang digunakan itu dibuat di Banjar dengan prosesnya
dibuat secara bersama-sama. Disamping itu, upakara pelengkap dalam ritual
penyolahan menggunakan caru ayam hitam mulus. Disamping juga di arepan
sesuwunan disuguhkan segehan kepel putih berisi telur ayam kampung sebagai
simbol tadahan.
b.
Pada
saat Redite Umanis wuku Ukir
Pada rerainan
ini sesuwunan mesolah sebanyak dua kali, pertama di Pura Melasa (karena awalnya
pura Melasa diamong oleh masyarakat Tanah mebet Barat) yang kemudia malamnya
setelah kembali dari Melasa kembali sesuwunan mesolah di dalam areal pura
sebelum dilinggihkan di gedong. Untuk upakara yang digunakan pada rerainan ini
sama dengan ketika pujawali di Pura Pemaksan. Pada rerainan ini, akan
diketemukan sesuwunan melancaran dari pura Pemaksan hingga di Pura Melasa, yang
mana hal ini dilangsungkan sebagai salah satu prosesi pujawali di pura Melasa.
c.
Pada
saat Tilem Kapat
Pada saat Tilem
ini, tujuan penyolahan adalah untuk memohon hujan yang dilaksanakan di
perempatan banjar dan disertai Ratu Ayu yang merupakan kepemilikan Bapak ketut
Kantor. Untuk upakara yang digunakan pada dasarnya sama dengan prosesi
penyolahan pada saat pujawali di pura Pemaksan dan pura Melasa, hanya saja
untuk Ratu Ayu, harus menggunakan banten suci asoroh. Sesuwunan juga biasanya
memargi menuju perempatan dan disana secara bersamaan Barong dan Rangda akan
disolahkan dengan menggunakan cerita seperti layaknya Calonarang, hanya saja
tidak ada yang kerauhan.
d.
Pada
saat hari-hari suci yang lain.
Untuk upakara
pada saat hari-hari suci, sesuwunan yang melinggih di pura Pemaksan biasanya
dihaturkan segehan kepel berisi telur ayam kampung setipa Purnama, Tilem,
Galungan, Kuningan dan hari besar lainnya. Sedangkan untuk Ratu Ayu disuguhkan
sesajen yang sama seacra rutin, bahkan setiap kliwon juga.
(Wawancara dengan
Ibu Budi Kartika, 2 Desember 2015)
2.3.3 Nilai Sakral Barong dan Rangda di pura Desa Pemaksan Tanah Embet
Barat
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya,
bahwa ciri-ciri seni sakral adalah:
1.
Ungkapan tariannya meniru gerak ritmis gerak alam.
2.
Ritmis gerak dilakukan dangan spontanitas pencurahan
jiwa penarinya.
3.
Dalam penampilannya dirasakan adanya suasana
mistik, magis dan religius.
4.
Ekspresi tarian erat kaitannya dengan peristiwa
yang menjadi tujuan yang ingin dicapai.
5.
Biasanya dilakukan oleh banyak orang.
6.
Istrumen musik vokal sangat sederhana tetapi
dapat menggugah alam rasa yang sangat dalam.
7.
Biasanya sering terjadi pengulangan gerak dan
musik dengan tujuan mempercepat terciptanya mistik dan magis.
Maka dapat
dipastikan bahwa Barong dan Rangda yang ada di pura Desa Pemaksan Tanah Embet
Barat memiliki nilai sakral, alasannya:
1.
Tarian yang digunakan adalah sepontanitas dari
para penari yang dengan ikhlas mau ngayah dan mengikuti irama gambelan yang
disampaikan memiliki tabuh yang unik.
2.
Dengan adanya berbagai upakara sebagai pelengkap
maka nuansa magis dan religius yang dipancarkan oleh Barong dan Rangda semakin
terasa.
3.
Tujuan menarikan Barong adalah untuk mohon
keselamatan pada saat pujawali dan untuk memohon hujan ketika dipentaskan pada
tilem kapat.
4.
Prosesi menarikan Barong dan Rangda tidak hanya
melibatkan satu dua keluarga, melainkan seluruh warga Tanah Embet Barat.
5.
Gamelan yang digunakan sangat khas, hal ini
disesuaikan dengan tujuan yang ingin diproleh dari upacara nyolahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis
paparkan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Seni
Sakral merupakan suatu karya seni yang disucikan oleh pendukungnya, pemeluknya,
maupun penyungsungnya untuk dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa. Yang biasanya hanya dipentaskan pada saat pelaksanaan
suatu Yajna dan disesuaikan dengan keperluannya. Dimana seni sakral tersebut
tidak dapat dipentaskan pada sembarang tempat, waktu atau media.
b. Sesuhunan
adalah suatu benda yang disakralkan dan diyakini nilai spiritual serta
kesuciannya oleh umat manusia dan diyakini akan memberikan perlindungan dalam
menjalankan kehidupan ini. Sementara wujud sesuwunan bisa saja berwujud barong
dan Rangda. Barong adalah hasil karya seni yang terspesifikasi menjadi seni
sakral maupun seni profan sesuai dengan prosesi pembuatannya yang dibuat dalam
bentuk beruang (berongga) dengan jumlahnya ada dua dengan umumnya mengambil
bentuk binatang, kecuali untuk barong blas-blasan dan barong landung yang
terdiri dari 1 ruang. Sedangkan Rangda yang kita kenal di Bali berasal dari
Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti janda.
c. Sesuhunan
"Barong" dan "Rangda" di pura Desa Pemaksan Tanah Embet
Barat awalnya adalah milik pribadi yang kemudian diserahkan kepada banjar untuk
mengamong. Sesuwunan ditarikan sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada
saat Budha Umanis wuku Julungwangi, Redite Umanis wuku Ukir dan Tilem kapat.
Untuk pementasan pada saat Tilem Kapat bertujuan untuk memohon hujan. Upakara
yang digunakan biasanya berupa pejati atau suci asoroh kemudian caru ayam hitam
mulus sebagai tadahan dilengkapi pula dengan segehan kepel putih berisi telur
ayam kampung.
3.2 Saran-saran
Dari pembahasan yang telah
diuraikan, dapat disampaikan beberapa saran terkait keberadaan Barong dan
Rangda di Tanah Embet Barat, yaitu:
a. Kepada
mahasiswa Agama agar menjadi generasi yang peduli dengan keberadaan benda-benda
sakral yang tentunya akan semakin memperdalam kepercayaan terhadap keberadaan
Tuhan yang Maha Esa.
b. Kepada
masyarakat pengamong agar selalu melestarikan tradisi yang ada terkait dengan
keberadaan benda sakral, jangan sampai anak cucu kita tidak akan mengetahui hal-hal
yang bersifat magis, religius semacam ini.
c. Kepada
tokoh-tokoh umat Hindu agar lebih peduli dengan keberadaan benda-benda sakral
sehingga akan semakin mudah untuk dilestarikan guna menjaga tradisi yang
dititipkan oleh para leluhur terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet:
Hasil wawancara dengan Narasumber:
1. Pemangku Mita Dharma
2. Bapak I Wayan Dalang
3. Ibu Budi Kartika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar