A.
Pengertian

Dan terkait
problema kuantitas pendidikan dapat dimaknai sebagai ketidakmampuan
lembaga-lembaga pendidikan formal menampung seluruh calon peserta didik.
B.
Daya
Tampung Pendidikan Formal
Sejak
kemerdekaann tahun 1945 M dari cengkeraman kekuasaan bangsa penjajah,
sebenarnya daya tampung lembaga-lembaga formal di Indonesia telah mengalami
peningkatan. Rasio antara jumlah murid usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk
usia yang sama untuk sekolah dasar periode 1968-1991 M terus mengalami
peningkatan. Hal ini berarti daya tampung sekolah dasar secara kuantitatif
terus bertambah besar.
Sejak semula,
tidak tertampungnya sebagian warga negara usia 7-12 tahun pada sekolah dasar di
tanah air ini merupakan masalah yang harus ditangani secara serius dan
berkesinambungan. Mengabaikan masalah ini akan menimbulkan masalah-masalah baru
yang lebih sulit diatasi, suatu misal tidak tertampungnya anak-anak usia
sekolah pada sekolah dasar akan mencetak manusia-manusia buta huruf yang tidak
mungkin dapat berpartisipasi aktif dalam membangun diri dan bangsanya. Kemudian
masalah lain adalah jenjang pendidikan menengah dan tinggi akan
kehilangan/kekurangan basisnya yang baik sebagai calon peserta didik.
Sejak Pelita I
sampai V, pemerintah secara terus-menerus berusaha mengatasi masalah kuantitas
pendidikan pada sekolah dasar, diantaranya dengan jalan:
1. Mendirikan
sekolah dasar yang baru (SD Inpres sejak tahun 1973 M) untuk menambah gedung
sekolah dasar yang telah ada.
2. Merehab/memperbaiki
gedung sekolah dasar.
3. Menerapkan
wajib belajar enam tahun terhadap anak usis sekolah 7-12 tahun tahun sejak 2
Mei 1984 M. Dan sekarang wajib belajar ini diperpanjang menjadi sembilan tahun
sejak 2 Mei 1994, terhadap penduduk usia 7-15 tahun.
4. Memberi
kesempatan pada masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah dasar swasta.
5. Mendirikan
SD kecil di daerah-daerah terpencil.
6. Mendirikan
SD pamong untuk menampung anak-anak yang droup-out belum tamat SD.
7. Menggalakkan
kelompok belajar (kejar) paket A dan B guna memberantas buta huruf yang
meliputi tributa: buta aksara, buta angka, dan buta bahasa.
8. Menggalakkan
usaha pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui program KB (keluarga
Berencana), penyebaran penduduk melalui program Transmigrasi.
Belum
tertampungnya lulusan SD yang akan melanjutkan studi ke SLTP merupakan masalah
kuantitas pendidikan yang berkelanjutan dan upaya mengatasinya juga belum
final. Sejak Pelita I, pemerintah tidak pernah berhenti berusaha mengatasi
masalah kuantitas pendidikan SLTP tersebut, misalnya:
1. Membangun
SLTP baru untuk menambah gedung yang telah ada, minimal dalam satu kecamatan
ada satu SLTP negeri.
2. Memperbaiki/merehab
gedung SLTP yang dipandang perlu.
3. Membangun
ruang kelas baru.
4. Membangun
ruang laboratorium IPA.
5. Membangun
ruang ketrampilan.
6. Membangun
ruang perpustakaan.
7. Memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan SLTP swasta.
Kalau dilihat
juga, jumlah lulusan SLTP yang melanjutkan studi ke SLTA sejak periode
1968-1969 sampai dengan periode 1990-1991 mengalami peningkatan secara terus-menerus.
Kalau diambil enam periode terakhir, maka dapat diketahui bahwa lulusan SLTP
yang melanjutkan studi ke SLTA setiap tahun ajaran baru rata-rata mencapai 80%.
Berarti, setiap tahun masih terdapat 20% lulusan SLTP yang tidak melanjutkan
SLTA.
Untuk menambah
daya tampung SLTA ini, sejak Pelita I pemerintah berusaha:
1. Membangun
SLTA yang baru untuk menambah yang telah ada.
2. Merehab
gedung SLTA yang dipandang perlu.
3. Membangun
ruang kelas baru.
4. Membangun
ruang laboratorium IPA.
5. Membangun
ruang ketrampilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar